Pada zaman kerajaan-kerajaan dahulu, jabatan kepala desa biasanya merupakan penunjukkan langsung dari adipati. Seseorang yang menjabat sebagai kepala desa memang benar-benar orang pilihan yang punya digdaya linuwih. Disamping memiliki kecakapan memimpin, punya ilmu kanuragan, secara politik juga harus dekat dengan adipati atau pimpinan diatasnya.
Istilah panepuluh adalah seorang kepala desa yang mengepalai 1o kepala keluarga, penatus mengepalai 100 kepala keluarga, dan penyewu seorang kepala desa yang mengepalai 1000 kepala keluarga. Panepuluh bisa disebut Danyang jik ia adalah orang yang pertama dituakan di desa tersebut.
Pada zaman Belanda, pemilihan kepada desa sudah mulai diatur oleh pemerintahan pada waktu itu. Menurut cerita orang-orang tua, pemilihan kepala desa pada waktu itu juga dilakukan secara langsung, namun dilakukan dengan cara sederhana. Rakyat dikumpulkan di sebuah tanah lapang atau lapangan desa. Calon-calon kepala desa duduk di tempat yang lebih tinggi. Kemudian rakyat akan memilih dengan cara jongkok di depan calonnya. Siapa yang memperoleh pengikut paling banyak dialah pemenangnya.
Hmm bisa dibayangkan betapa riuh rendahnya pilkades pada waktu itu. Apalagi jika banyak rakyat yang punya sifat plin-plan, mungkin akan beralih jongkok dari satu calon ke calon lainnya.
Pemilihan dengan model terbuka ternyata banyak menimbulkan konflik horizontal pada waktu itu. Lantas munculah aturan pemilihan menggunakan biting (lidi) dan bumbung sebagai medianya. Setiap pemilih mendapat satu biting yang harus dimasukkan ke dalam bumbung yang tersedia dalam bilik. Masing-masing bumbung telah ditandai dengan simbol hasil palawija seperti padi, jagung, kelapa dan lainnya. Simbol-simbol tersebut merupakan representasi dari calon kades yang akan dipilih. Setelah selesai, biting-biting yang masuk dalam bumbung akan dihitung. Calon yang memperoleh biting paling banyak dialah pemenangnya.
Setelah kemerdekaan pemerintah lantas mengatur dengan berbagai peraturan daerah sebagai pelaksanaannya. Saya masih ingat pemilihan kepala desa berpuluh tahun silam. Pada waktu itu juga masih menggunakan tanda gambar hasil bumi, bisa jadi karena banyak orang yang buta huruf. Di era reformasi tanda gambar tersebut diganti dengan foto calon kepala desa. Pemilih tinggal mencontreng calon yang tertera dalam kertas suara.
Pilkades di Kebumen
Di Kabupaten Kebumen, sebanyak 404 kepala desa di Kebumen akan habis masa jabatannya pada Juli 2013. Menurut Kabang Tata Pemerintahan Sekda Kebumen Subagyo S. Sos MM, pilkades harus dilaksanakan dua bulan sebelum masa jabatannya habis. Bantuan untuk penyelenggaraan Pilkades masih sama seperti tahun-tahun sebelumya yakni Rp 10 juta per desa.
Yusuf Haryadi Pjs. Kepala Desa Karang Reja Kec. Petanahan Kab. Kebumen saat saya temui mengatakan, wilayahnya akan menggelar pilkades pada Sabtu, 29 Juni 2013. Ada tiga calon kontestan yang akan mengikuti pilkades yakni Y. Anifudin (incumbent), Suratin, dan Nanang Budi Suroso. Yusuf menambahkan warga Desa Karangreja yang sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih tetap lebih dari 3.400 jiwa. Calon yang terpilih akan memimpin desa di pesisir pantai selatan itu selama enam tahun kedepan. Kita lihat saja siapa yang akan memimpin desa berpenduduk 3.600 jiwa tersebut. Yang jelas tidak ada lagi pemenang dengan gambar jagung, padi, ketela, atau glugu seperti dulu lagi. (din).