Memasuki SP (satuan permukiman) rumah-rumah berjejer rapi di sepanjang jalan khas wilayah transmigrasi. Berbagai usaha ekonomi rumah tangga mulai tumbuh dan berkembang. Berkat keuletan transmigran, Subaim kini menjadi sentra pertanian untuk setidaknya Kabupaten Halmahera Timur dan daerah di sekitarnya. Beberapa usaha ekonomi yang terlihat jelas kemajuannya adalah komoditas pertanian seperti padi dan kopra. Padi ditanam dengan pengolahan tanah yang baik dan irigasi yang cukup. Sementara dari kebun-kebun kelapa, dihasilkan kopra setiap saat. Kelompok Ibu-ibu juga mengolah minyak kelapa untuk kebutuhan lokal. Kedelai diusahalan menjadi tempe dan tahu. Ayam kampung juga sangat banyak di wilayah ini. Hampir setiap rumah tangga memelihara ayam.
Ditengah kerasnya alam dan lingkungan barunya, transmigran berusaha mengembangkan berbagai usaha ekonomi agar dapat mencukupi kehidupan sehari-hari. Suparman (45), transmigran asal Banyuwangi ini memelihara bebek. Setiap hari dari sekitar 80 bebeknya, tidak kurang dari 50 butir telur dipanennya dalam kandang berukuran 12 m x 75 m. Telur bebek sangat digemari sehingga selalu laku di pasar. Parman menjual telur bebeknya dengan harga Rp. 2000 per butir. Setelah memanen telur, Parman menghampiri sepuluh sapinya untuk dipindahkan tali ikatnya agar mendapatkan rumput. Kebanyakan sapi tidak dikandangkan, melainkan diikat di lokasi tertentu yang banyak rumput. Parman juga membuat kopra dari kebun kelapa yang tidak terlalu luas. "Kebun kelapa saya hanya seperempat hektar, saya bisa menghasilkan lebih dari satu kuintal setiap panen empat bulan sekali. Lumayan buat tambahan makan" kata Parman. Harga kopra saat ini sekitar Rp. 750 per kg. Pada saat senggang, Parman menjaring udang atau memasang jaring untuk menangkap rajungan. Sementara istrinya membuat roti untuk dijual ke toko-toko kecil di sekitar rumahnya. Sebenarnya Parman punya 2 hektar lahan lainnya yang pernah diusahakan untuk padi, namun sayang karena keterbatasan modal, lahanya belum diolah kembali. " Lahannya ditumbuhi rumput. Untuk mengolah menjadi sawah butuh modal setidaknya Rp. 4 juta ".
Berbeda dengan Hardjo (30), ayah satu anak ini memulai usaha bengkel sepeda motor. Hardjo sebenarnya bukan transmigran. Ia datang lima tahun silam menemui sanak keluarganya di Desa Tutuling Jaya. Akhirnya dengan modal seadanya, Hardjo mulai membuka bengkel tambal ban. Sekarang usaha tambal bannya makin pesat. Hardjo membuka bengkel motor juga melayani perbaikan mobil. "Saya tidak bawa modal apapun, namun saya melihat peluang otomotif" kata Hardjo. Awalnya, menurut cerita Hardjo, dia datang dengan membawa uang Rp. 800 ribu hanya untuk tiket kapal dari Surabaya dan biaya transportasi menuju Desa Tutuling Jaya. Berkat bantuan dari keluarga yang ditemuinya, Hardjo membuka kios tambal ban di depan rumah saudaranya tersebut. Selama satu tahun, dia bergelut dengan keterbatasan dan kesulitan hidup di tempat barunya. Sekarang bengkelnya sudah ramai, diapun sudah dapat menghidupi anak istrinya, membeli tanah dan membangun rumah.
Sektor jasa sudah mulai berkembang, seperti transportasi, rumah makan dan penginapan serta telah tersedia layanan bank. Sarana pendidikan dan kesehatan juga mulai tersedia dengan baik. Namun demikian ketersediaan listrik masih terbatas untuk penerangan malam. Sebenarnya, Subaim merupakan daerah strategis karena lokasinya tepat tengah-tengah jalur menuju pusat kekuasaan, yaitu Ibu Kota Provinsi di Sofifi, Ibu Kota Kabupaten di Maba dan Kota Tobelo. Namun demikian keterbatasan sarana jalan dan angkutan pelayaran membuat Subaim masih terisolasi, segalanya menjadi jauh. Hasil pertanian dari Subaim justru lebih banyak dijual ke Kota Tobelo yang merupakan ibu kota Kabupaten Halmahera Utara melalui kapal. Di sisi yang lain untuk mengurus KTP di kabupaten ongkosnya terlalu mahal, warga setidaknya harus mengeluarkan biaya Rp. 300.000 hanya untuk biaya transportasi. Tidak ada jaminan prosesnya akan selesai dalam satu hari. Subaim menjadi bagian kecil potret pergulatan dari kabupaten yang sedang berkembang setelah pemekaran delapan tahun silam (Maba, 13 Juni 2011).