"Kamu punya uang?" tanya Abik kepada Endi
"Kosong", jawab Endi singkat. "Kenapa, lapar? Sama dong!"
"Hidup susah bener ya, kapan merasakan enak".
"Sabar kawan, suatu saat pasti berubah. Akan indah pada waktunya hehehehe..."
"Ah, teori! Sok tahu. Kalimat itu cuma bisa menenangkan hati, tapi nggak bisa mendiamkan musik keroncong".
"Hidup adalah misteri", Endin mengutip kata aneh lagi.
"Tapi perut lapar rasanya nyeri, tau!"
Mengobrol terbukti ampuh untuk menunda rasa lapar. Hanya menunda sih. Saat mulut jeda bicara, suara perut menggema memecah kesunyian.
Disaat kesunyian pecah, datanglah seorang wanita menghampiri mereka. Wanita itu dikenalnya sebagai seorang karyawati restoran siap saji. Tidak seperti restoran lain yang membuang sisa makanan yang tidak terjual, restoran tempatnya bekerja memperbolehkan karyawannya membawa makanan sisa itu pulang. Terserah mau diberikan kepada siapa. Yang penting penerima harus dikasih tahu terlebih dahulu bahwa makanan itu bukan makanan segar walaupun tidak basi. Biar penerima tahu bahwa makanan yang disajikan di restorannya rasanya jauh lebih enak saat masih segar. Jadi jangan sampai ada kesimpulan bahwa makanannya tidak begitu enak hanya berdasarkan fakta rasa makanan sisa itu.
"Sudah makan?"
"Belum, Mbak", jawab mereka mantap serentak.
"Kebetulan aku bawa makanan. Malam ini restoran tidak begitu rame, jadi ada sisa agak banyak".
"Terimakasih, Mbak. Sering-sering begini juga nggak apa-apa", kata Endi
"Kamu mengharapkan restoran bangkrut?"
"Ralat ding!"
Wanita itu menyerahkan semua bawaannya kepada mereka berdua. Rupanya benar-benar banyak, bisa untuk sarapan sekalian esok hari.
"Tuh kan apa kubilang, Mbak Indah datang pada waktunya".