Saya bertemu dengan teman ini setelah sekian lama berpisah. Obrolan mengalir lancar seperti lazimnya orang yang lagi kangen-kangenan.
"Apa yang kamu kerjakan selama ini", tanya saya di sela-sela obrolan santai.
"Dari dulu hanya itu-itu saja yang saya kerjakan. Aku sadar aku orang bodoh, tidak banyak yang saya tahu tentang bidang-bidang kerja di luar sana. Yang aku tahu ya cuman ini, ya sudah pasrah saja, jalani saja".
Saya terdiam menyimak kata-katanya. Itukah kata kunci keberhasilan dia? Betulkah dia tidak memiliki banyak pilihan? Bukankah pilihan itu ribuan jumlahnya di dunia ini? Mengapa dia menutup mata betapa banyak peluang ada di luar sana?
Setelah direnungkan, benar juga yang dikatakan teman saya ini. Kelimpahan pilihan membuat orang bingung. Banyaknya orang sukses di setiap bidang pilihan membuat orang tergoda untuk pindah haluan. Kalimat andalan orang-orang yang mudah tergoda itu adalah : jika tidak berhasil di sini, masih banyak peluang di sana, yang kesemuanya pasti mampu dilakoni. Darinya saya mulai belajar bahwa merasa bodoh itu lebih baik daripada merasa pintar. Perasaan bodoh mendorong orang untuk memilih hanya salah satu hal yang paling mungkin dilakukan. Sementara perasaan pintar menghalangi orang untuk membuat satu pilihan.
Kenapa saya bilang saya belajar soal itu? Ternyata saya termasuk orang yang "merasa pintar" dalam berbagai hal. Perasaan ini menghalangi saya untuk menetapkan hanya satu pilihan saja. Ada saja yang saya angankan untuk dicapai. Ada saja hal-hal yang menawarkan harapan. Pikiran jadi selalu bercabang, pijakan tidak menancap kokoh karena merasa suatu waktu akan melompat.
Tanpa sadar kalender dinding cepat usang diluar dugaan. Sudah saatnya menyadari kebodohan.
Catatan tambahan : Teman saya itu merasa "hanya" bisa menjadi seorang peternak ayam potong. Populasi ayam yang dimiliki saat itu sejuta ekor.