Dia selalu hadir di tengah kami ketika kami berkumpul, berbincang, bercengkerama, dan bahkan ketika kami dengan khusuk mengumandangkan doa-doa. Jika perbincangan kehabisan tema, dia bisa memecah kebisuan. Jika perbincangan tak sengaja berubah menjadi perselisihan, dia tampil untuk melerai. Dia punya cara unik untuk menghentikan mulut kami yang berkata pedas ditengah perselisihan itu. Kulitnya yang putih kendati tak ideal bentuk tubuhnya, sangat pas - kami sepakat - tampil di depan, di tengah, dan di belakang sekalipun. Ketidakhadirannya, jika itu terjadi, akan membuat suasana kisruh. Anak-anak menangis dan orang tua menjerit diselingi gunjing miring. Bukan dia yang dipergunjingkan, tetapi pihak-pihak yang diduga terlibat dalam ketidakhadirannya.
Saya tidak sekalipun rela dia disebut "haram jadah" Kami menerimanya dengan kesungguhan kesadaran dan sepenuh niat. Saya memang tak ingin mendengar kisah keharamannya, jikapun itu ada. Dan jikapun ada kisah itu, saya tak mau mempercayainya. Dia telah menemani saya pada satu penggalan kehidupan.
*****
Tanggal 30 Ramadhan, satu hari menjelang Idul Fitri beberapa tahun lalu, seperti biasa rumah kami dipakai oleh panitia zakat fitrah. Rumah kami memang cukup besar seperti layaknya rumah-rumah di kampung kami. Posisi rumah yang strategis - maksudnya di tengah kampung - adalah alasan utama terpilihnya sebagai tempat pengumpulan dan pembagian zakat fitrah.
Yu Sarmi mencuci ketan tiga liter. Setelah bersih dikukusnya ketan itu. Mengukusnya perlu waktu sekitar 20 menit, waktu yang cukup untuk menyiapkan santan dan mendidihkannya. Dua puluh menit kemudian ketan diangkat dari dandang, diaduk perlahan-lahan dengan ditambahi santan kental bergaram dan berdaun jeruk. Sejumput ketan yang telah tercapur diicipi oleh Yu Sarmi, memastikan kecukupan rasa garam. Kemudian berikutnya dikukus lagi selama 30 menit. Yu Sarmi menata daun pisang di tampah 'nampan dari bambu'. Begitu ketan matang, dituang ditampah, diratakan sambil ditekan-tekan supaya padat. Dibiarkannya sejenak sampai agak dingin. Terakhir ketan yang dipadatkan itu dipotong-potong kotak 3 x 4 senti, kira-kira.
Itulah makanan yang dinamakan "jadah", yang di Banyumas disebut "tetel", dan di Jakarta dan Bogor disebut "uli". Makanan tradisonal itu pada satu penggalan waktu setia menemani saya. Tak satupun alasan yang saya temukan, yang mengakibatkan Jadah ini Haram.