Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Dulu Dibanggakan, Kini Disangsikan

8 Juni 2011   08:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:44 181 1
Mat Soleh menghela nafas panjang ketika Sobri, anaknya, menagih janji.  Helaan nafas itu tidak menghentikan Sobri bicara.  Sobri belum begitu paham arti helaan nafas bapaknya itu.  Sobri menagih janji bapaknya, yang mau mengirim dirinya sekolah di pondok pesantren, selepas dirinya lulus SMP.  Pondok pesantren tempat kakaknya, Shoim, juga bersekolah.

"Sudah telepon ke Kang Shoim, Pak? Apa katanya? Terus kapan kita berangkat? Bawa baju yang banyak sekalian, kan?"

"Belum sambung. Tulalit terus", jawab Mat Soleh berbohong.  Mat Soleh masih belum punya jawaban.

Ah kenapa jadi kisruh begini! Mat Soleh mengeluh dalam batin.  Dua tahun bukanlah waktu yang terlampau lama, tapi situasi bisa berbeda sama sekali.  Menyekolahkan anak di pesantren adalah jalan satu-satunya bagi Mat Soleh untuk membuat dua anaknya, Shoim dan Sobri, menjadi orang terdidik.  Terdidik fikir dan dzikirnya, begitulah Mat Soleh memberi istilah.  Dua tahun lalu tekadnya menggelora kuat dan bicaranya berapi-api ketika menjanjikan Sobri untuk mengikuti jejak Shoim.  Shoim sudah masuk kuliah waktu itu.  Sobri tak kalah bersemangat dibanding bapaknya. Kakaknya yang selalu bersorban saat pulang kampung itu, adalah figur panutan bagi Sobri.  Dalam mimpipun Sobri bersurban seperti kakaknya.  Sangat berbeda kini bagi Mat Soleh, jangankan mimpi seperti Sobri, tidurpun susah.

Mat Soleh beberapa kali menghela nafas panjang. Dan Sobri masih belum mengerti bahwa sebenarnya bapaknya sangat bimbang.

"Bapak mau cari rumput dulu, keburu sore", Mat Soleh berkata kemudian melangkah ke luar rumah.

"Saya ikut, Pak", kata Sobri.  Mat Soleh termangu sejenak.  Sebenarnya dia ingin menyendiri di kebun, tapi jika melarang Sobri ikut apa alasannya.  Memang Sobri sering ikut ke kebun, entah di kebun membantu mencari rumput, ataupun asyik sendiri menangkap jangkrik dan belalang.  Jadilah mereka berdua berjalan beriringan ke kebun.  Mat Soleh lebih memilih diam tidak berkata-kata.  Sobri memilih menyanyi riang "Sholatullah Salamullah, 'Ala Thoha Rasulillah..." Sesekali dia bersorak ketika batu kecil yang terlontar dari ketapelnya mengenai pelepah pepaya di pinggir jalan.

Keranjang kosong di punggung Mat Soleh pastilah ringan, tapi Mat Soleh berjalan agak membungkuk karena kepalanya terlalu menunduk menarik tengkuk.  Langkahnya dihayati satu persatu. Setiap langkahnya mewakili penggalan waktu kebersamaannya dengan Shoim. Persis seperti perjalanan saat ini, Shoim berjalan mengiringinya pergi ke kebun. Dia tak henti-hentinya menceritakan harapannya untuk bersekolah di pesantren.  Harapan yang tentunya membanggakan Mat Soleh.  Belum setahun di pesantren, ketika Shoim pulang kampung sudah mumpuni memimpin Yasinan atau memimpin doa kenduri.  Dan ketika sudah mulai kuliah, Shoim sudah sangat mahir berceramah.  Sering dia sengaja diundang pulang kampung, untuk mengisi pengajian rutin di masjid.  Bukan hanya Mat Soleh yang bangga, warga kampungpun memujinya.  Sampai-sampai Pak Haji Tholib pernah terang-terangan meminta Shoim kelak menjadi menantunya.  Permintaan yang sampai sekarang, masih ragu untuk dijawabnya.  Hal itu belum ditanyakan kepada Shoim, bersedia tidaknya.

Berita televisi akhir-akhir ini membuat Mat Soleh menjadi sangsi, akankah Shoim juga menjadi sasaran perekrutan organisasi yang konon suka mencuci otak.  Istilah cuci otak itupun sebenarnya tak terlalu dipahami Mat Soleh.  Yang dia pahami adalah organisasi itu menjadi musuh negara.  Dan berhubungan dengan Densus 88 bukanlah hal yang pernah terlintas dalam bayangan. Ngeri. Takut.  Akankah Shoim sanggup menolak jika seandainya memang benar-benar dirayu? Ah, kenapa jadi kisruh begini! Kenapa hati ini mejadi sangsi?

****

Mat Soleh mulai membabat rumput.  Sebentar saja keranjang sudah penuh. Dan seperti biasa, Sobri asyik berlarian mengejar walang, jangkrik, serta gangsir.  Perolehannya nantinya kan dibakar bersama teman-temannya selepas sholat Magrib.

Maemunah, isterinya berpesan minta dipetikkan daun singkong.  Tadi pagi Maemunah dikirimi terasi udang oleh Bu RT, yang kebetulan rumahnya berdampingan.  Sambal terasi cabe ijo tak mungkin menemukan pasangan sepadan, selain daun singkong rebus.  Hati Mat Soleh tersentak saat memegang daun singkong.  Tiba-tiba Mat Soleh ingat gambar daun ganja yang tadi malam dilihatnya di televisi.  Memang tidak sama dengan daun singkong, tapi pikiran Mat Soleh menganggapnya mirip.  Seperti inikah daun ganja yang katanya dihisap oleh sebagian teman-teman Shoim, di warung pojok pinggir sawah tidak jauh dari hutan jati? Teman-teman bermain Shoim  waktu kecil, memang ada yang suka menghisap ganja. Sembunyi-sembunyi.  Untunglah Shoim pergi dari kampung bersekolah ke daerah lain. Jika tidak, tidak menutup kemungkinan akan bersama-sama mereka bergembira ria di warung pojok itu. Ngeri Mat Soleh membayangkannya.

"Subhanallah 'Maha Suci Allah', ampuni hamba-Mu ini yang sempat ragu-ragu!" tanpa sadar Mat Soleh berucap keras.

Dipanggilnya Sobri, disuruh membantu memetik daun singkong muda.  Daun singkong itu tampak segar, sesegar wajah Sobri yang gembira mendapatkan walang dan jangkrik dua renteng.

"Bri, ingatkan bapak ya. Nanti habis Isya bapak mau telepon kakangmu, Shoim. Biar kakangmu cepet pulang menjemput kamu", Mat Soleh berkata dengan mantap tanpa keraguan.

Sebentar kemudian mereka berjalan pulang.  Bagi Mat Soleh, keranjang yang berisi rumput itu tidaklah seberat keranjang kosong, seperti saat mereka berangkat tadi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun