Air langit jatuh ke bumi siang ini. Menemaniku ke suatu tempat di mana aku akan bertemu dengan seseorang yang masih teramat kucintai. Ah, aku lega karena airmata yang sulit untuk kubendung ini dapat disamarkan oleh hujan. Aku yakin tangisanku tak akan terlihat oleh dia. Jangan sampai aku terlihat rapuh di depannya. Bukankah dulu aku yang meminta kami untuk berpisah? Aku harus menjadi wanita yang kuat di hadapannya! Aku pasti bisa untuk baik-baik saja.
Perlahan kulangkahkan kaki dengan gemetar; dengan penyesalan. Kuatur napas dan rasa gugupku. Kuseka airmata yang tak henti-hentinya keluar dari pelupuk mata. Sekali lagi kutanamkan dalam hati jika aku akan baik-baik saja. Kini kuteruskan langkah dengan hati dan niat yang mantap. Akan tetapi kurasakan tubuhku kaku seketika saat kulihat dia berada di sana. Ramai. Hampir semuanya aku kenal. Hujan terasa lebih dingin sekarang dan suaraku tertahan di tenggorokan. Aku hanya berkata lirih memanggilnya, “Arion....”
***
Lima minggu sebelumnya.
Entah apa yang ada di pikiran Arion sampai-sampai dia memutuskan untuk menjadi relawan di Palestina. Ya, aku mengerti. Posisi kekasihku sebagai presiden kampus kami mengharuskannya untuk selalu bergerak sesuai kebijakan-kebijakan yang ada. Apakah menjadi relawan di negeri rawan seperti Palestina merupakan kebijakan yang harus dijalaninya juga? Seingatku, di lembar tugas dan tanggung jawab presiden kampus tidak ada kewajiban untuk itu.
“Memang bukan kewajiban, Ra. Aku hanya mengikuti suara hati nuraniku,” ucap Arion lembut seperti biasanya.
Aku masih cemberut. “Kamu gak takut ke sana?” tanyaku sembari menatap dalam mata Arion.
Arion tertawa kecil. Dipegangnya kedua pundakku dan dibalasnya tatapanku. “Apa yang harus ditakutkan, Sayang? Palestina sedang membutuhkan bantuan kita saat ini. Aku yakin ada Allah yang akan melindungiku. Ada doa dari kamu, dari semua teman kita, dari orangtua dan keluarga. Aku pasti baik-baik saja. Percayalah!”
“Aku takut kamu gak kembali lagi ke sini, Rion. Aku takut kehilangan kamu. Sudah banyak contoh di berita kalau para relawan yang ke sana ternyata ikut jadi korban juga dan ma...,”
Belum selesai kuutarakan kekhawatiranku, jemari Arion sudah mendarat lembut di bibirku. “Aku akan kembali, Lyra. Gwaenchanha.”
Aku tahu. Kali ini aku sudah tak bisa meggoyahkan pendiriannya. Aku menyerah.
Seminggu kemudian aku berada di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II untuk mengantar Arion dan enam mahasiswa lainnya, yang juga merupakan anggota BEM kampus kami. Entah perasaan apa yang mengganjal di hatiku. Rasanya aku masih ingin berusaha menghentikan kepergian Arion.
“Sayang, kamu masih punya waktu untuk membatalkan keberangkatan ini,” bisikku di dekat telinga Arion.
Arion hanya tersenyum mendengarnya. Senyumnya yang selalu indah di pandanganku, selalu menghangatkan relung hatiku. Kini kusimpan baik-baik di memoriku, karena aku pasti akan merindukan senyuman Arion selama kepergiannya satu bulan ke depan.
“Jaga dirimu baik-baik. Sehabis shalat dan mengaji jangan lupa berdoa untuk kita ya, Bidadariku!”
“Aku akan selalu berdoa untuk kalian. Jaga dirimu baik-baik juga ya!”
Arion mengusap kepalaku sebentar lalu masuk ke dalam tanpa menoleh lagi. Tiba-tiba airmata perlahan mengaliri pipiku.
Sagitta menggenggam tanganku erat, “Sekarang kita hanya bisa berdoa untuk mereka, Ra.” Aku mengangguk lalu memeluk sahabat dekatku itu untuk menumpahkan airmata yang sejak tadi tertahan.
Satu minggu, dua minggu, tiga minggu. Tidak ada kabar yang kami dapatkan dari Arion maupun enam orang teman lainnya. Hingga sampai di minggu ke empat, pihak kampus mendapatkan kabar dari pemerintahan Palestina jika ada tiga orang mahasiswa yang akan dipulangkan besok.
Keesokan harinya aku dan teman-teman anggota BEM bersama beberapa orang dosen menuju rumah sakit. Ya, tiga orang yang dipulangkan terlebih dahulu ternyata menjadi korban dan terluka. Salah satunya telah meninggal di perjalanan. Ya Allah, dadaku rasanya sesak saat menyaksikan kekasihku terbaring dengan tangan kanan yang sudah diamputasi akibat terkena ledakan bom. Ketakutanku telah menjadi nyata sekarang. Melihat kondisi Arion seperti ini saja aku sudah tak sanggup, apalagi jika Arion sampai kehilangan nyawanya.
“Ly...ra, maafkan aku ya!” ucap Arion terbata saat aku berdiri di samping ranjang tempatnya berbaring.
“Ini yang aku takutkan, Arion! Coba kamu turuti permintaanku untuk tidak ke sana!” teriakku marah dan menangis. “Kamu gak pernah menghubungiku selama di sana membuat hari-hariku dipenuhi ketakutan dan kekhawatiran. Sekarang dengan mudahnya kamu cuma bilang maaf?”
Arion diam.
“Aku sadar sekarang, kamu gak pernah menganggap aku berarti untukmu. Kamu lebih mementingkan ego dan keinginan kamu sendiri. Sepertinya kata pisah adalah hal yang terbaik untuk kita!” Aku segera beranjak pergi meninggalkan Arion.
“Lyra!”
Panggilan Arion menjadi sia-sia karena aku tidak akan menoleh dan kembali. Hatiku sakit sekali. Sakit karena perkataanku sendiri. Sesungguhnya aku bukan marah padanya, tapi marah dengan kelemahanku yang tidak mampu mencegah kepergiannya ke sana. Seandainya Arion tidak ke sana, tentu hari ini aku tidak akan menyaksikan Arion kehilangan tangan kanannya.
“Ayolah, Ra. Jenguk Arion! Keadaannya hari ini makin memburuk. Ternyata luka Arion akibat bom di Palestina itu lambat ditangani, Ra. Meski sudah diamputasi, nyatanya masih membuat tubuh Arion melemah,” ujar Sagitta terus membujukku.
Aku terus berjalan dengan cepat sementara Sagitta berusaha mengikuti langkahku. “Untuk apa, Git? Aku bukan siapa-siapa dia lagi sekarang.”
“Kamu jangan egois seperti ini, Lyra! Kamu akan menyesal jika terus-terusan egois,”
Aku berhenti. Kupandang Sagitta tajam. “Aku atau Arion yang egois?!”
“Maafkan Arion, Ra. Temui dia dulu. Kalian berbicara lagi biar tidak ada yang terluka.”
“Percuma! Dia sudah terluka kehilangan tangan kanannya, kehilangan impiannya. Dan aku, hatiku yang terluka. Aku terluka karena penderitaannya, Git. Kamu tahu ‘kan jika aku teramat mencintainya. Dulu. Sekarang. Selamanya.”
“Maka dari itu, jenguk Arion, Ra.”
Aku menggeleng lalu berbalik arah, meninggalkan Sagitta yang bingung dengan sikapku.
Di suatu malam, kusaksikan di langit sana ada sebuah bintang yang amat terang. Dibandingkan bintang-bintang lain di sekitarnya, satu bintang itu amat memukau. Akan tetapi setelah kutinggalkan beberapa saat untuk mengerjakan tugas kuliah, bintang itu sudah tidak ada lagi di sana. Aku teringat pada sebuah artikel yang pernah kubaca, katanya bintang yang duluan mati (menghilang) adalah bintang yang paling terang di antara bintang lainnya. Tiba-tiba aku teringat Arion, bagiku Arion adalah bintang yang paling bercahaya di hidupku. Ah, jangan memikirkan yang tidak-tidak, Lyra! Suara hatiku memberontak.
Drrtt.... Smartphone-ku bergetar.
“Halo, Git. Ada apa nelpon malam-malam? Tugas kelompok kita sudah selesai. Besok sudah bisa kita kumpulkan.”
“Ra, ini bukan tentang tugas. Ini tentang Arion....”
***
19 Agustus 2014.
Kini aku sudah mampu berjumpa dengan Arion, namun bukan di rumah sakit lagi. Arion sudah sembuh dan bisa meninggalkan ranjang tempat berbaringnya. Aku berjumpa dengan mantan kekasihku itu di suatu tempat yang tak pernah kuduga sebelumnya, atau yang tak pernah ingin kubayangkan. Hujan sudah mulai berhenti tepat di saat aku sudah berada di hadapan Arion. Orang-orang yang tadi bersama Arion memutuskan untuk membiarkan kami berdua saja di sini.