Mungkin terlalu pagi saya menyimpulkan bahwa nasionalisme yang kita bangun sekaitan momentum kebangkitan sepakbola nasional kita melalui ajang piala AFF ini hanyalah sekedar pelarian dari ketidak mampuan kita bersatu dalam konteks politik. ketidak mampuan kita menyamakan persepsi dalam menghadapi tekanan-tekanan ekonomi global, atau kegagapan kita terhadap arus komunikasi budaya antar bangsa yang kita hadapi.
Garuda di dadaku, kalimat singkat namun sanggup membangkitkan semangat timnas berjuang mencapai kemenangan, meski tak sanggup membawa pulang gelar juara. Namun masihkah kita sanggup menjaga agar garuda tetap di dada ketika konflik-konflik politik berkelindan di sekitar? Akankah garuda itu kita ingat ketika harta menguasai jiwa dan raga hingga tak lagi peduli akan keterbelakangan di sekitar?