Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

KBH2; Untuk Apa, Untuk Siapa?

5 Oktober 2013   14:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:57 255 0

Keputusan Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang pengembangan produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2) atau low cost and green car/LCGC, menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Menjadi isu hangat yang mengundang perhatian banyak kalangan beberapa pekan belakangan. Salah satunya datang dari Kepala Daerah DKI Jakarta, Joko Widodo, akrab dipanggil Jokowi, yang dengan tegas menyatakan penolakannya.

KBH2 Untuk Apa?

Jika kehadiran KBH2 pemerintah maksudkan untuk memudahkan mobilitas masyarakat ekonomi menengah, meningkatkan industri otomotif lokal, dan menambah lapangan kerja baru dalam rangka mengurangi angka pengangguran, tentu kebijakan tersebut tak hanya berhenti sampai di situ. Melainkan pemerintah lengkapi dengan kebijakan-kebijakan turunan dalam rangka menghindari tumpang tindih dan ketidak-sinkronan program dengan instansi-instansi terkait.

Misal, kebijakan turunan yang (kiranya) diperlukan adalah pembatasan wilayah pemakaian KBH2 hanya di daerah-daerah dengan tingkat kepadatan kendaraan bermotornya masih kurang. Hal ini diperlukan agar padatnya kendaraan bermotor sebagai salah satu variabel penyebab kemacetan, selain variabel infrastruktur, disiplin berlalu-lintas dan lainnya, bisa diminimalisir. Memang bukan jaminan bahwa tanpa dipakainya KBH2, kota-kota besar akan terhindar dari kemacetan. Namun bisa dipastikan kehadiran KBH2 akan menambah beban kemacetan perkotaan.

Ambil contoh di Jakarta. Kehadiran KBH2 tak hanya menambah beban kerja pemerintah provinsi DKI Jakarta. Malah amat terasa hal itu merupakan bentuk ketumpang-tindihan kebijakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Di saat pemerintah provinsi DKI Jakarta sedang giat-giatnya membangun sistem transportasi publik yang murah, aman dan nyaman –di antaranya program MRT (Mass Rapid Transit), justru pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan baru, KBH2, yang menegasikan program-program pemerintah provinsi DKI Jakarta tersebut. Langkah pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengajak masyarakat beralih ke moda transportasi publik guna mengatasi kemacetan terancam tak berjalan optimal. Kehadiran KBH2 jadi biang persoalan baru. Kencenderungan yang sama juga dialami kota-kota besar lainnya di Indonesia. Upaya mereka mengatasi kemacetan mendapat tambahan beban akibat beredar bebasnya KBH2.

KBH2 Untuk Siapa?

KBH2 yang akrab disebut mobil “murah” dengan bandrol sekitar Rp. 100an juta, sebetulnya masih bersifat relatif. Dengan hitungan kasar, predikat murah hanya relevan bagi yang berpenghasilan sekitar Rp. 5 jutaan per bulan, atau lebih dari itu. Dengan asumsi biaya hidup Rp. 2 juta per bulan, maka kemampuan mengangsurnya bisa sekitar Rp. 3 juta per bulan selama kurang lebih 4 tahun. Padahal pada tahun 2015 saja, penduduk Indonesia dengan penghasilan Rp. 2,25 juta per bulan diprediksi baru sekitar 100 juta orang [1], hanya 40 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada 2013 ini yang diperkirakan 250 juta orang [2].

Melihat fakta demikian, menarik menyelidik dari perspektif politis, untuk siapa sebenarnya KBH2 pemerintah luncurkan. Setidaknya ada 2 kepentingan yang patut diduga melatarbelakangi kebijakan KBH2. Pertama, untuk menghantam potensi Jokowi sebagai Capres 2014. Sebab popularitas dan elektabilitas Jokowi dalam banyak survei sampai hari ini masih paling tinggi di banding nama-nama yang lain. Secara politik, bagi lawan-lawannya, hasil survei tersebut jelas sebuah sinyal darurat untuk mencapai kemenangan. Butuh strategi tertentu untuk menghadapinya.

Sebagai kepala daerah, salah satu pintu masuk untuk menghantam potensi Jokowi adalah dengan membangun opini kegagalannya mengelola daerah yang dikepalainya, DKI Jakarta. KBH2 jadi satu amunisi. Kemacetan sebagai isu klasik ibu kota yang selalu menjadi perhatian banyak orang amat memungkinkan dikapitalisasi. Tentu dipadukan dengan isu-isu yang lain. Misal, isu pemindahan ibu kota. Isu pemindahan ibu kota yang (lagi-lagi) dilotarkan pemerintah pusat sedikit banyak mencuri konsentrasi Jokowi.

Kedua, KBH2 adalah “mahar” menteri perindutsrian, MS Hidayat, kepada sang presiden, dalam upaya menduduki kursi ketua umum Partai Golkar pascaARB. Kedudukan strategis ketua umum parpol adalah magnet politik yang amat luar biasa. Bangunan koalisi pemerintahan hasil pemilu 2014 salah satu dari sekian banyak agenda-agenda strategis yang jadi domain ketua umum parpol. Di sinilah persinggungan MS Hidayat dengan SBY; ingin membangun “koalisi” kepentingan. Pengusaha-pengusaha yang meraup untung dari lahirnya KBH2 akan jadi sponsor. Meski analisis ini masih sumir, namun juga terlalu gegabah untuk diabaikan.

Daftar Bacaan

[1]. http://finance.detik.com/read/2011/09/22/172639/1728489/4/pendapatan-60-orang-indonesia-rp-75-juta-bulan-tapi diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 10.25 WIB

[2]. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/07/17/mq2oy6-2013-penduduk-indonesia-diperkirakan-250-juta-jiwa diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 10.28 WIB

Foto di ambil dari: http://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil/13/10/03/mu3gj0-ini-siasat-pedagang-mobil-bekas-hadapi-lcgc diakses pada 5 Oktober 2013 pukul 14:15 WIB

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun