SATU
Dira mematikan api kompor dan langsung menuang oatmeal rasa strawberry dari panci ke mangkuk kecil. Susu kedelai vanilla-coklat berkadar gula rendah sudah tersaji 5 menit lalu. Itu resep Amanda Wilde, mega bintang Hollywood yang mengajarkan rahasia dari kenikmatan susu paling enak sedunia –demikian selalu Benjamin Siagian memuji—dengan kebanggaan seorang chef di istana maharaja. Benjamin tak berlebih. Feisal, ayah mertuanya –entah apakah sebutan itu masih pantas sejak Badru minggat 7 tahun lalu tanpa pamit, tak berkirim kabar, hilang bak disedot lumpur maha ganas di hutan Amazone— juga terbelalak sambil mengacungkan 2 jempol tangan sehabis menghirup tuntas minuman itu.
Dia rindu pada kejenakaan Badru. Dulu, semasa mereka duduk di bangku SMA I PSKD, lelaki itu menggampangkan segala. Kadang mereka berkendara motor tanpa helm, tanpa jas pelindung, dan dengan cekakakan menerobos hujan. Jika rencana sudah digelar, tak ada yang bisa batalkan. Lelaki itu tak percaya pada petanda buruk. Tantangan atau hambatan adalah ujian untuk menakar seberapa besar keinginanmu.
Bidadari lagi kangen main air dengan buana, teriak Badu membelah raungan motornya lalu memekik girang atas air hujan yang menampar wajah.
Bajuku pasti tembus pandang, keluh Dira. Memangnya kamu pakek BH warna apa? Hitam. Kita berhenti dulu? Untuk apa? Untuk memastikan sehitam apa warna BH-mu? Hitam ya hitam, sentak Dira sambil meninju bahu lelaki itu. Lho, kan ada hitam 80%. Itu abu-abu tua. Coklat yang paling coklat adalah hitam. Biru yang paling biru adalah hitam. Kenapa ada broken white? Putih memang bukan warna sempurna. Kesegalaan hanya bisa ditemukan pada warna hitam. Itu alasan kamu memakai BH warna hitam? Maksud kamu? Untuk menyatakan bahwa payudaramu sempurna? Aku menyatakannya kepada diriku sendiri, semacam self statement untuk memantik rasa percaya diri. Bukan untukku? Kalau tubuhku tak basah diguyur hujan, tak ada yang bakal tahu aku mengenakan BH berwarna hitam; kamu juga tidak.
Motor Badru meraung. Dira cekikikan.
Kita mau kemana? Ke TIM, nonton Matrix. Aku sudah nonton film itu 2 kali, kamu malah 3 kali. Aku mau nonton 5 kali lagi. Aku gak mau ikut-ikut. Aku gila, kamu harus ikut gila. Itu kalau kamu setuju bahwa kesempurnaan cuma ada dalam warna hitam.
Lelaki itu memang gila. Dia lelaki Arab yang beribukan perempuan blasteran Belanda-Betawi dan memilih untuk bersekolah di perguruan Kristen. Saban Senin, Badru tak canggung hadir dalam kebaktian awal pekan di aula. Dia tak ikut mendaraskan lagu pujian dan hanya tertunduk ketika seisi aula tenggelam dalam doa. Namun perhatiannya tertuju penuh kepada suara yang bergema dari mimbar khotbah. Seusai lonceng berdentang tanda jam pelajaran selesai, dia bergegas ke toilet sambil menenteng sajadah dan kemudian dengan sikap takzim berjalan ke arah aula. 10 menit kemudian dia sudah tenggelam dalam shalat yang bikin wajahnya sedamai telaga.
Mereka berpencar ketika masuk ke perguruan tinggi. Badru berkuliah di Sydney, Dira melanjutkan pendidikannnya di universitas swasta di Jakarta. Tapi jarak yang hampir mencapai 3500 miles kurang jauh untuk membunuh rindu. Dira habiskan akhir pekan dengan menulis surat panjang yang dia poskan saban Senin; Badru hanya menulis sekali sebulan tapi dengan gairah yang bikin semburat air mancur bundaran HI lebih mirip kran bocor.
5 tahun kemudian Badru pulang ke Jakarta dan bekerja. Dia ajak Dira kawin.
Kawin? Feisal terbelalak. Secara Islam? Kami mau nikah di Kantor Catatan Sipil. Perempuan itu gak mau pindah agama? Kenapa mesti pindah? Pempimpin keluarga cuma satu.Semua anggota kudu manut: ya istrimu, ya anak-anakmu. Sabdo pandito ratu. Trus, Kantor Catatan Sipil mana yang mau menerima pernikahan campur-agama? Wis ta, ojo ngawur. Kami mau kawin di Sydney. Orangtua perempuan itu setuju? Namanya Dira, Abi..., Dira. Aku tahu. Apa orangtua perempuan itu setuju? Nggak. Kenapa aku mesti setuju? Ana gak minta persetujuan, hanya sekadar ngasih tahu. Bambung kamu. Hidupmu blangsak, otakmu rusak.
Badru dan Dira terbang ke Sydney sepekan kemudian beriring teriakan Feisal yang membelah siang. Laknat Allah sedang menimpa rumah ini, katanya dengan suara mengguntur sambil melempar gelas berisi minuman kopi ke dinding rumah. Aminah Dehaan mengumpulkan keping-keping pecahan tanpa bersuara.
Papiku belanda tulen. Dia beragama Kristen sewaktu menikah dengan Mami dan tetap begitu sampai wafat 50 tahun kemudian. Mamiku panggil pendeta dan minta agar suaminya dikubur secara Kristen. Tapi kamu beragama Islam, kamu muslimah yang baik, ucap Feisal sambil menyemburkan asap cerutu. Aku memang sudah beragama Islam sebelum kawin sama kamu. Aku ikut agama Mami. Itu keputusan tepat. Menurut Mami, Papi juga bikin keputusan tepat dengan tetap beragama Kristen. Itu urusan Mami kamu. Anakku harus beragama Islam dan beristrikan perempuan Islam, punt. Bagaimana dengan Badru? Kamu pikir cerita ini sudah klaar? Dia boleh mabur ke Sydney, kawin campur dengan perempuan itu. Tapi ingat, Badru belum punya rumah, dia pasti tinggal di rumah ini karena aku gak bakal kasih uang sepeser pun buat dia beli rumah. Kita nasehati perempuan itu agar suatu saat jadi mualaf. Kita gak boleh capek. Perempuan itu bukan batu. Suatu saat dia bakal tahu mana yang pantas dan mana yang panas.
5 hari kemudian, Badru dan Dira tiba di rumah Feisal dengan tawa meriah. Aminah menyambut mereka, merangkul Dira ke dalam pelukannya yang hangat.
Lalu Dira hamil. Seisi rumah bersuka-cita. Buat Feisal, itu terlalu singkat, waktu berlari secepat kampret. Dia masih butuh tempo untuk mengubah keyakinan Dira. Kepalanya pening saban melihat wajah Badru sumringah ketika mengantar Dira ke Katedral untuk mengikuti misa minggu lalu cekakak-cekikik bersama para sopir yang menunggu tuan-tuan mereka di halaman parkir gereja termegah di Jakarta –gereja yang selalu mengingatkan Aminah akan kebelandaan dalam dirinya.
Feisal merasa upayanya sia-sia. Puluhan percakapan sudah digelar: pada jamuan malam di sebuah restoran mahal, di ruang tunggu praktik dokter ketika bersama Aminah menemani menantunya konsul bulanan, atau saat jalan pagi yang mereka lakukan saban hari, juga ketika bercakap-cakap di ruang keluarga berteman takbir yang menggema agung dan suara bedug yang dipukul bertalu-talu. Ya, itu lebaran terindah karena dia tak bisa ingkar: 2 bulan lagi dia bakal punya cucu.
Badru dan Dira sadar akan upaya-tak-henti Feisal. Tapi mereka tak terganggu dan malah yakin: kelak kehadiran sang cucu akan melembutkan hati Feisal. Anak selalu hadir jadi pembawa rahmat , kata Badru sambil mengerang seusai percintaan bermandi keringat di bulan ke-5 kehamilan.
6 hari sebelum taksiran hari persalinan, Feisal memerintah Aminah memasak makanan kesukaan Dira: ayam taliwang berteman rujak cingur. Malam itu, sambil menyuapi Dira, dia curahkan keinginan terdalam dengan kalimat benderang, tak berselaput sindiran maupun maksud tak terduga. Segala jelas. Badru adalah anak satu-satunya yang diharap membangun rumah tangga yang sakinah dan mawaddah.
Keinginan Abi sudah terwujud, ucap Dira setelah menelan 7 suapan. Aku perempuan yang menjaga ketat martabat dan kehormatanku. Aku juga sudah punya rencana untuk mendidik cucu-cucumu –mudah-mudahan lebih dari satu—untuk jadi anak yang cerdas dan tawakal. Rumahtangga yang kubangun bersama Badru sudah jadi rumahtangga yang sakinah dan akan terus mawaddah. Abi gak usah kuatir.
Sia-sia. Bahkan dengan kerendahan hati yang tak pernah terpikirkan dalam benak: menyuapi menantunya makan, keberubahan itu tak menampakkan tanda-tanda bakal maujud.
2 hari kemudian, ketika pagi muncul malu-malu, Feisal menelpon taksi. Dia menenteng koper ke serambi depan. Aminah tercengang. Mau kemana kamu, tanyanya. Aku mau umroh, ucap Feisal sebal. Taksi datang. Feisal terbang.
Badru meradang. Keesokan siang, sebelum berangkat ke rumah sakit bersama Dira dan Umi, dia telpon Feisal.
Aku anak Abi satu-satunya. Janin yang ada di rahim Dira adalah cucu Abi satu-satunya. Kenapa Abi minggat? Aku sedang umroh, mau berdoa khusyuk agar Allah membatalkan laknatnya kepada keluarga kita. Laknat apa? Feisal terdiam. Laknat apaaa? Badru berteriak kalap.
Air ketuban pecah. Badru membanting telpon. Dia bergegas memapah Dira masuk ke dalam mobil. Aminah memburu dengan wajah pucat pasi. Dalam perjalanan, air ketuban mengucur deras. Perjalanan dari jalan Sumenep ke rumah sakit Bunda terasa panjang. Dira memeluk leher Aminah. Selamatkan aku, Umi, erangnya. Aminah mengusap kening Dira dan mengecupnya sambil berbisik: kamu bakal selamat. Air matanya tumpah.
Dira selamat. Sang janin tidak. Air ketuban habis. Tali pusat terkompresi. Suplai oksigen terhenti. Sang janin megap tercekik.
Laknat apaaaa? Teriak Badru ketika menelpon Feisal untuk memberitakan kematian bayinya.
Dira merasa hari-harinya hancur. Tapi Badru melumurinya dengan cinta. Mendekapnya mesra, menyuapinya makan –selama 2 hari pasca-penguburan dia tak mau makan, membisikkan kalimat penguat: kadang dikutip dari Alquran, tak jarang diambil dari Alkitab. 3 bulan kemudian, Dira pulih. Kita bikin anak lagi, ajak Dira sambil berkedip nakal. Beberapa detik menjelang puncak, Badru berhenti dengan wajah tegang. Kalimat itu berdengung lagi: laknat apaaaa?
Dua lelaki di rumah ini punya kebiasaan buruk: minggat ketika pikiran sedang kusut. Dira menduga demikian karena Badru sudah 3 hari tak pulang. Persoalannya, dia tak tahu apa yang bikin pikiran lelaki itu kalut. Tak ada pertengkaran –baik yang jelas maupun yang samar. Berkali-kali dia desak Feisal untuk mengaku saja kalau-kalau ada perselisihan tajam di antara mereka akhir-akhir ini.
Gak ada, dengus Feisal. Sehari sebelum anak itu gak pulang, kami makan sate kambing di Pejompongan. Lho, kamu makan kambing lagi, selak Aminah. Kamu langgar pantangan dokter? Nanti tensimu jingkrak-jingkrak. Badru yang ajak aku. Mungkin dia memang kepingin aku cepat modar biar gak ada lagi yang merecok perkawinannya.
Badru menelpon orang-orang di rumah pada malam hari ketika semua sudah terlelap. Dia tinggalkan pesan di mesin penjawab: aku masih mengembara untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
Pengembaraan itu berlanjut dari hari ke hari, pekan ke pekan, bulan ke bulan tanpa kabar lanjutan. Dira merasa disepelekan. Di bulan kelima, dia angkat kaki, pulang ke rumah orangtuanya di Solo. Aminah meratap, memukul dada, dan mengerang bagai kehilangan anak kedua.
Hanya setahun di Solo, Dira rindu Jakarta. Dia ingin kembali bekerja dan langsung melayangkan surat lamaran ketika membaca lowongan kerja di surat kabar Jakarta yang beredar di Solo. 10 hari kemudian dia terima panggilan untuk mengikuti sesi wawancara.
selengkapnya di www.adagium-thequadrilogy.com