Eni NN, Mulyoto M
Sepasang merpati, tiba-tiba terbang melintas di depan titik fokus mata Flaura memandang, membelah pesona kemilau senja yang terus diperhatikannya secara rinci. Ia masih santai menggerakkan kuas di tangan kanannya, melukis sebuah sketsa suasana langit jingga di ufuk barat nan seminau adiwarna di atas kanvas. Bukan di pantai, tetapi ia kini berada di depan sepetak sawah yang membentang luas, tak ketinggalan jua gunung-gunung dengan pepohonan asri dari kejauhan sana yang ditutupi kabut awan sedang.
Saat malam bermandikan cahaya pun, Flaura kembali pada posisi tempat duduknya di depan rumah. Memandangi langit, melukis sinaran panorama malam, dan mencoba menyapa rembulan atas rasa rindu yang kerap mengamuk di dalam kalbu. Di samping menitip sapa yang entah tertuju ke mana, melalui sejuknya rangkulan sang bayu.
Flaura kini terhanyut oleh suasana di hadapannya, sedetik, dua menit, hingga bermenit-menit. Sebuah geratak dahsyat pun mengagetkannya. Flaura terkesiap lalu tersadar, “Chika..., iiih! Ngagetin Kakak aja,” gerutunya, bernada lumayan kesal, bercampur rasa bete, dan buru-buru kembali lanjut untuk melukis.
“Hayooo, Kakak lagi ngelamunin apa, siapa?” tegur Chika, yang rupanya adalah sang adik yang dengan sedikit usil menyudutkan Flaura sembari menyentil dagunya yang lancip.
Wajah Flaura seketika berubah menjadi merah, semerah tomat yang matang. Lesung pipitnya timbul-tenggelam di kedua pipinya, dipercantik dengan senyuman manis akibat gingsulnya yang menawan. Flaura berlari mengejar adiknya. Dua bersaudara itu berputar-putar di ruang tamu, tempat dimana papi dan maminya sedang asyik bercengkerama. Maklum saja, mereka berdua adalah anak yang sama-sama selalu dimanja dan disayangi oleh kedua orangtuanya.
“Ciye, ciye, ciyeee...” sambil berlari ria, Chika terus menggoda kakaknya.
Akhirnya Flaura berhasil menggapai adiknya―yang saat ini masih duduk di bangku kelas 5 SD. Flaura memeluk sambil menggelitik Chika puas-puasan. Pecah tawa Chika yang tak mampu berkutik lagi. Ia pun tak tahan akan geli yang menyiksa. Dekapan pun tergerai, Chika sigap berlari dan duduk di samping papinya, sambil memeluknya manja. Disusul Flaura yang duduk manyun di samping maminya.
“Pi ... Mi ... Chika bandel, ih...!” ucap Flaura manja, seraya melipat kedua tangan di dada.
“Tapi 'kan, Chika nggak salah, Pi, Mi! Tadi Chika mergoki Kak Flau lagi asyik ngelamunin sesuatu. Selidik punya selidik, sepertinya Chika mencium aroma sesuatu dari balik wajah Kak Flau yang berseri-seri, senyum-senyum sendiri. Hi... Kayaknya Kak Flau lagi ... hem, ehem!” balas Chika, sambil kedip-kedipan genit, kembali menyiram minyak kekepoan.
“Kalian ini...! Harus rukun, dong, adek-kakak!” nasehat Gina, mami mereka, sambil mengelus rambut Flaura yang panjang dan lurus.
“Tuh, dengar kata Mami!” tambah Darmawan, menyetujui kekata istrinya.
“Adekku sayang, jangan sok dewasa, deh! Kakakmu ini nggak lagi jatuh cinta, kok. Tenanglah, Sayang! Kakak nggak akan selingkuh dari Chika, deh! My Honey, My Sweety-ku Cayang,” terang Flaura, yang sudah berada di samping Chika, sambil merangkul hangat.
Mereka pun bersisenyum.
“Pi, Mi, tadi Flau sempat rindu ama saat-saat dimana dulu pernah ngumpul di rumah kita yang sebelumnya. Rindu ama Cafe ‘Lovely’ yang sering kita datengin buat dinner tiap malam Minggu. Hehe, 'kan Papi paling sibuk kerja, dan sempatnya cuman di malam itu aja. Flau juga rindu maen ke kantor Papi, jaga butik hijabnya Mami, jalan-jalan bareng Dek Chika di taman belakang rumah ditemani Mbok Surti.”
Demikian papar Flaura bernostalgia, atas rindu-rindu yang tak terbilang dalam rintik kenangan. Rupanya dalam diam, Flaura juga merindukan seseorang yang sudah lama disukai dan tertambat dalam hatinya: Herdy, teman SMA-nya silam, tetapi masih dipendam-pendamnya hingga detik tak menentu.
***
“Pi.... Mi.... Flau berangkat kerja dulu, assalaamu'alaikum,” keriau Flaura, sambil sigap mengayuh sepeda mininya buru-buru.
Papi dan maminya hanya menggeleng keheranan. Tumben Flaura buru-buru, sampai-sampai lupa untuk sarapan dan melayangkan kecupan hangat terlebih dahulu. Disusul Chika yang jua pamit berangkat ke sekolah, dan sang papi yang dijemput truk pengangkut buruh menuju ke kota―18 km dari desa tempat tinggal mereka. Sang mami pun menyendiri di rumah, sesekali membantu tetangganya bekerja di sawah.
***
Flaura mengayuh sepeda mininya pelan. Ia menjalani hidupnya dengan keceriaan burung camar yang menyambar-nyambar di angkasa. Ia menyambut hari-hari dengan penuh rasa syukur. Di sepanjang jalan beraspal dengan lalu lintas yang tidak terlalu ramai itu, ia berdendang dalam hati, sambil menghirup udara segar. Ia melintasi jalan yang kiri-kanannya ditanami pohon turi dengan kepasrahan yang penuh.
Pemandangan di kiri-kanan jalan juga indah. Sawah yang membentang dengan hamparan padi yang menghijau dan basah. Embun pagi belum hilang sempurna tersapu oleh sinar matahari yang mulai hangat.
Flaura merasai semua itu dengan khidmad, tapi kadang ia rindu akan masa-masa yang dulu. Saat papinya belum bangkrut dan bisa memberikan kemewahan. Tinggal di rumah mewah. Hampir tiap minggu shopping dan menikmati kuliner di beberapa rumah makan terkenal.
Ah, itu dulu. Fitnah dari sahabat papinya; dari perusahaan lain telah menghancurkan semua. Menghancurkan perusahaan milik papinya dan menghancurkan hidupnya. Usai lulus SMA, Flaura tidak bisa melanjutkan kuliah dan harus bekerja sebagai guru les privat bagi Intan, seorang anak berkebutuhan khusus.
Tidak, hidupnya tidak hancur. Ia masih punya sesuatu yang berharga: kasih sayang yang mengikat dirinya dengan papi-maminya dan Chika, adiknya.
Pernah Flaura teringat Herdy, teman SMA yang diam-diam dicintainya. Laki-laki itu pernah bertengger kuat di ranting kekaguman Flaura, menghiasi romantika masa mudanya yang membara. Namun, sejak Herdy menikah dengan Tessa, sahabatnya, ia segera memupusnya. Dan sekarang, bayang laki-laki itu benar-benar hilang tak bersisa dalam benaknya. Entahlah, ia juga tak tahu ke mana kapal cintanya akan berlabuh.
Tak terasa, Flaura sudah sampai di rumah yang dituju. Ia menekan bel yang terpasang di sisi kiri pintu pagar.
“Ting … tong!”
Tak berapa lama muncullah perempuan paruh baya. Flaura mengenalnya. Perempuan itu adalah Bik Yem, yang selama ini mengasuh Intan. Bik Yem membuka pagar dan mempersilakan Flaura masuk.
“Mbak Flau, Mbak Flau. Intan dibelikan buku bergambar oleh Papa!” seru Intan sambil menunjukkan buku barunya: Magic Unicorn.
“Bagus sekali,” kata Flaura sambil membuka buku itu beberapa halaman. “Ayo, kita masuk!”
Begitulah. Dengan sabar Flaura membimbing Intan membaca. Buku yang barusan ditunjukkan Intan itu berisi cerita sederhana dengan huruf-huruf yang besar. Tiap halaman selalu berisi gambar yang menarik. Itu pasti sengaja dibelikan oleh papa Intan untuk melatih kemampuan Intan dalam membaca.
“Bagus!” ujar Flaura ketika Intan telah berhasil mengucapkan kata yang dibacanya, meski dengan dieja.
***
Dalam perjalanan pulang, seperti biasa, Flaura mengayuh sepedanya pelan. Tiba di pertigaan, ia belok kiri. Tiba-tiba ia menabrak sebuah mobil dari arah berlawanan. Untung mobil yang akan belok kanan itu berjalan lambat, sehingga Flaura masih bisa mengendalikan sepedanya. Meski terjatuh, ia tidak terluka.
Pengendara mobil turun. Seorang pemuda berpakaian necis dengan sepatu mengkilap. “Kamu tidak apa-apa?”
Flaura bangkit. “Tidak,” katanya sambil menatap sekilas wajah laki-laki tampan itu.
“Maaf, saya yang salah!” ujar laki-laki itu ramah.
“Tidak apa-apa. Saya yang salah. Saya tadi agak melamun,” kata Flaura.
Dalam sekejap keduanya bertatapan mata. Flaura merasa itu tatapan aneh. Ada rasa berdesir dalam dadanya. Sementara sang pemuda juga merasakan hal yang sama. Ada getar-getar halus dari hatinya saat memandang gadis berkulit putih itu.
“O, ya, nama saya Adrian. Panggil saja saya Adri! Nama Mbak, siapa?” tanya laki-laki yang ternyata bernama Adrian itu sambil mengulurkan tangannya.
“Saya Flaura,” jawab Flaura. “Maaf, ya, saya mau melanjutkan perjalanan!”
“Ya. Tentu saja,” ujar Adrian. Ia masih berdiri mematung. Dipandanginya gadis berambut lurus tergerai itu lekat-lekat, hingga gadis itu hilang di belokan jalan.
Adrian menstarter mobilnya dan melanjutkan perjalanan dengan diliputi penasaran. Ia baru ingat, ia hanya tahu nama gadis itu: Flaura. Tapi, ia tidak tahu alamatnya.
***
“Minggir, Pi! Biar Flau yang ngerjain!” terobos Flaura, bersemangat meraih palu dan paku. Dengan terampil ia membetulkan engsel pintu depan rumahnya yang lepas akibat sudah tua dan berkarat.
“Duh, anak Papi yang satu ini. Kamu bantuin mamimu masak tumis lele aja, gih, di dapur, Sayang!” seru sang papi, tak tega melihat anak gadisnya bekerja macam pria.
“Bentar ke dapurnya, Pi. Papi duduk manis mandangin Flau aja, ya, di situ!” titah Flaura, percaya diri. “Gini doang mah, gampang, Flaura juga bisa! 'Kan Flau ini seniman, mantan bintang kelas, juara 1 berturut-turut dari SD sampai SMA. Flaura Diva.... Anak siapa dulu, dong? Hehe...”
“Ada maunya itu, Pi,” potong Chika asal tebak.
Senyuman Flaura terangkat, pertanda membenarkan tebakan sang adik yang sembari membaca buku.
“Yap!” Flaura mendekati papinya, lalu merangkul sambil mengabarkan sesuatu dengan luapan sedikit manja, “Besok Papi wajib temani Flau ke acara Pembukaan Galeri ‘Lukisan Jingga’! Flau pengen ke sana, Pi. Pengen banget...!”
“Oh, ke galeri baru itu. Tapi 'kan tempatnya jauh, Sayang. Di luar kota. Papi nggak bisa, Sayang. Papi kerja,” balas papinya. “Coba kamu ajak mami aja!”
Wajah Flaura berganti-ganti pola mimik, mulai dari senang, cemberut, hingga bingung, dan berujung dengan ajakan yang memaksa. Sang papi pun akhirnya menyetujuinya. Flaura sudah tak sabaran ingin ke galeri besar itu; galeri yang memamerkan beragam bentuk lukisan menarik. Berharap, ia juga ingin menitipkan satu buah karya lukisan―bergambar pelangi yang pernah bertandang di desa, miliknya di sana.
Malamnya, lukisan yang akan dibawanya itu pun dipercantik dengan bingkai yang dibuat dari potongan-potongan bambu secara manual dan kreatif. Hasilnya pun tak kalah apik dengan bingkai yang dibuat secara modern. Terakhir, ia membungkusnya dengan koran.
Selepas shalat Shubuh, Flaura bersemangat menyediakan segala keperluan perbekalan di jalan nantinya, menuju ke kota yang biasa didatangi papinya untuk bekerja. Segalanya sudah siap.
“Papimu kurang enak badan, Nak,” kabar sang mami, memperlesu perasaan Flaura yang baru saja memasuki kamar kedua orangtuanya dalam keadaan sudah rapi, tinggal berangkat.
Flaura merebahkan diri, lalu duduk di atas kasur, menghampiri sang papi dengan iba, sambil memijatnya sebagai rasa bakti anak yang sudah sepantasnya dilakukan olehnya.
Sang papi menyahut, “Pamerannya juga masih ada tiga hari lagi, 'kan, Nak? Doakan, semoga Papi besok sudah kuat, ya, Sayang!”
“Aamiin...” ucap sang mami dan Flaura secara bersamaan. Disusul Chika yang berpamitan, sudah akan berangkat sekolah, sehabis mencium dan menguatkan papi-mami serta kakaknya.
“Pokoknya, besok Papi ambil libur sehari lagi, biar bisa seharian temani Flau jalan-jalan ke galeri,” sambung papinya, melegakan.
“Nggak usah dipaksakan, Pi! Yang terpenting adalah papinya Flau yang hebat ini baik-baik dulu,” balas Flaura, bijak.
“Iya, Sayang. Semoga aja nggak ada halangan lagi, besok kita jalan.”
“Oke!”
***
Pada hari kedua pembukaan galeri baru yang dengan minat besar akan didatanginya itu, Flaura akhirnya berangkat bersama sang papi dengan ridha mami serta adiknya di rumah. Mereka berdua menumpangi mobil pengangkut sayuran menuju ke kota. Sesampainya di terminal, mereka langsung menaiki taksi angkutan umum menuju galeri. Dalam perjalanan, ban kendaraan roda empat itu bocor. Mau tak mau, mereka harus berganti taksi angkutan umum lain yang juga mengarah ke sana.
Hari sudah menerik. Lalu lintas macet. Mereka tiba di depan gerbang Gedung Galeri ‘Lukisan Jingga’ pukul 02.00 siang. Sang papi malah kecopetan. Dompet yang dikeluarkannya untuk membayar jasa angkutan, dirampas seorang preman yang dengan kencangnya melajukan motor besarnya. Flaura menyesal hebat, teramat merasa bersalah. Sang papi terlihat sabar dan pasrah. Bagaimana tidak, mereka kini berada di tengah-tengah keramaian. Pengunjung galeri begitu padat di hari kedua.
Meskipun demikian, rasa letih atas perjalanan yang mereka lalui terbayar jua oleh lakunya penjualan lukisan yang dibawa Flaura secara tak diduga. Lukisannya memikat hampir setiap hati si pemandang. Bayaran yang diterima Flaura dari si Founder galeri pun lumayan besar: dua juta rupiah.
“Akhirnya, lukisan Flau terpajang juga di galeri keren ini,” ucap Flaura dengan rona bangga. Sepasang anak-papi itu bahagia tak terkira.
Tak terasa sudah pukul 08.00 malam. Acara semakin meriah, tapi mereka memikirkan perjalanan jauh yang akan ditempuh. Belum lagi sukarnya kendaraan yang bisa masuk ke daerah pedalaman. Mereka berdua memutuskan untuk pulang.
Mereka mulai menyeberang, sambil memberi aba-aba dengan tangan di jalan raya yang dihujani limpahan kendaraan.
“Awas, Dek…!!!” seru Flaura pada seorang anak kecil yang hampir dilibas bus kota. Ia melihat anak kecil tadi serupa adiknya, Chika.
Tapi justru Flaura terserempet motor. Ia pingsan. Sang papi panik. Ia segera membawa anaknya ke rumah sakit.
***
“Pasien ini … Bukannya dia gadis itu?” pikir sang dokter yang menangani Flaura.
“Dokter Adri, pasien di kamar sebelah akut,” sahut sang perawat wanita memanggilnya secara buru-buru.
Dokter Adri keluar, ia masih memandangi pasien baru yang dirasa pernah bertemu dengannya.
***
Pagi-pagi sekali, Flaura merasa sudah sembuh. Kakinya hanya terkilir, dan tak parah seperti apa yang dicemaskan oleh sang papi. Mereka akhirnya pulang setelah usai menyelesaikan administrasi.
“Pasien yang bernama Flaura, usia 20 tahun, korban keserempet motor baru saja pulang, Dok,” jawab seorang perawat wanita yang ditanyai oleh Dokter Adrian tentang keberadaan pasien yang semalam.
Dokter Adrian tak berhasil mengejar angkutan umum yang dinaiki Flaura dan papinya baru saja. Ia kini dihantui rasa penasaran.
“Kakak melukis mulu, nih. Istirahat, gih! 'Kan, kakinya masih sakit,” tegur Chika di tengah kesunyian malam.
Flaura tak beranjak. Ia masih ingin menyelesaikan lukisan bergambar suasana malam yang baru setengah jadi.
“Kak,” sahut Chika lagi, sambil menopang dagu, menemani sang kakak.
“Iya.”
“Kakak nggak bosan menyendiri, ya?”
“Maksudnya?”
“Sudah saatnya kakakku yang cantik dan baik hati ini punya kekasih.”
Flaura hanya tersenyum dengan teguran hebat dari perkataan sang adik yang seakan dewasa. Ada benarnya. Namun, hingga saat ini Flaura tak pernah sempat memikirkan cinta, karena cinta baginya adalah seandai lukisan belaka, yakni mudah digambar sesuai angan dan keinginan, tetapi sulit untuk dimiliki dalam bentuk wujud yang nyata.
“Yah, malah senyum-senyum kecut dianya. Huuuh!” ujar Chika. “Kalau gitu, kenalin Chika, dong, ama Intan. Murid Kakak itu!”
“Boleh. Besok, 'kan hari Minggu. Kita ke rumah Intan, ya!”
***
Sinar matahari mulai hangat. Seperti biasa, burung camar menyambar-nyambar di angkasa. Hamparan padi masih basah oleh embun yang turun semalam. Pohon-pohon turi di kiri-kanan jalan masih tegap berdiri. Semilir angin pagi tak mampu menggoyangnya.
Flaura mengayuh sepedanya dengan semangat. Sebagaimana burung camar yang berteriak-teriak. Apalagi di belakangnya sedang bergelayut adik tersayangnya, Chika.
Tiba di rumah Intan, Flaura langsung memencet bel. Seperti biasa, Bik Yem tergopoh-gopoh membuka pintu pagar.
“Oh, ini siapa, Non?” tanya Bik Yem.
“Ini Chika, Bik. Adek saya,” jawab Flaura. “Ayo, Chika, salim sama Bik Yem!”
Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari ke arah mereka. Dialah Intan.
“Ayo, masuk, Mbak Flau!” ujar Intan. “Ini siapa?”
“Ini adek Mbak Flau,” jawab Flaura. Ia lalu meminta Intan dan Chika berkenalan.
“Siapa, Intan?” suara dari dalam.
“Mbak Flau, Kak!” jawab Intan.
Ketika tiba di dalam rumah, Flaura benar-benar kaget. Adrian pun kaget.
Beberapa detik, mereka saling bertatapan.
“Mbak 'kan, yang pernah saya tabrak di pertigaan itu? Lalu barusan yang di rumah sakit itu?”
“Ya,” jawab Flaura.
“Lho, Kak Adrian dan Mbak Flaura sudah saling kenal?” tanya Intan sambil memandang Adrian dan Flaura bergantian. Lalu ia minta izin bermain dengan Chika.
“Saya benar-benar nggak tahu, kalau Mbak Flaura ini guru lesnya Intan. Intan nggak pernah cerita,” ujar Adrian membuka pembicaraan setelah mempersilakan Flaura duduk.
“Ya, Mas Adrian. Saya juga nggak tahu, kalau Mas Adrian ini kakaknya Intan,” balas Flaura.
“Memang saya libur hari Minggu saja. Selain itu, full masuk. Maklum pasien banyak,” terang Adrian. “Gimana kakinya, sudah sembuh?”
“Mas Adrian ini dokter?” tanya Flaura. “Kok, Mas Adrian tahu perihal kaki saya?”
“Ya,” jawab Adrian. “Sebenarnya yang pertama kali menangani Mbak Flaura saat kecelakaan dulu itu saya. Tapi karena ada pasien lain yang sedang gawat, saya dipanggil perawat. Pagi-pagi saya ke ruang dimana Mbak Flaura dirawat. Eh, Mbak Flaura sudah pulang.”
“Ow.”
“Setelah tabrakan di pertigaan itu, sebenarnya saya mau ke rumah Mbak Flaura. Tapi waktu itu saya lupa menanyakan alamat Mbak Flaura,” ujarnya lagi.
Entahlah tiap kali bersitatap dengan Adrian, dada Flaura bergetar. Getar-getar aneh yang sudah beberapa tahun tak terasa, kini muncul lagi. Bahkan getar-getar ini terasa lebih kuat. Apakah getaran serupa juga dirasakan Adrian? Batinnya.
“Minggu depan, saya boleh ke sana? Mana alamatnya?” tanya Adrian mengagetkan Flaura.
“Boleh,” jawab Flaura sambil menyebutkan alamat. Adrian menuliskannya di bebeem-nya.
“O, ya. Nomor HP Mbak Flaura, berapa?”
Mereka terlibat dalam perbincangan yang mengasyikkan. Terlihat sekali, keduanya saling tertarik. Seperti kutub utara dan kutub selatan dari dua buah magnet. Sejak itu hubungan mereka akrab. Makin akrab.
***
Malam Minggu. Ini sudah malam minggu ketiga dari kunjungan Adrian ke rumah Flaura.
Langit cerah. Jutaan bintang-bintang berkelip-kelip, menghias langit. Di teras rumah, dua sejoli yang sedang kasmaran berbincang layaknya merpati yang baru menemukan pasangan. Angin sawah sesekali mengembus wajah dua sejoli itu, Flaura dan Adrian.
“Maaf, Bu Guru! Maksud kedatangan saya ke mari, antara lain mau tanya. Apa, sih, artinya my mate is you?” tanya Adrian dengan mimik serius.
“Jodohku adalah kamu,” jawab Flaura.
“Setuju,” ujar Adrian lega.
“Maksudnya?” tanya Flaura sambil menatap Adrian.
“Ya, maksudku, my mate is you,” jawab Adrian. “Flaura ini serius.”
Flaura menatap wajah Adrian lekat.
“Pandang mataku, Flaura!Kamulah wanita yang selama ini aku cari,” ungkap Adrian, tulus.“Mungkin ini terlalu cepat. Bersediakah kamu menjadi istriku?”
Flaura diam, tapi hatinya sungguh berbunga-bunga. Ia masih menatap wajah Adrian lekat, dan menemukan dua alis tebal yang menambah ketampanan kekasihnya itu. Lalu Flaura menyelam di kedua mata Adrian hingga dasar, dan menemukan sesuatu yang sangat berharga: kesungguhan dan kejujuran. Disaksikan jutaan, bahkan milyaran bintang, Flaura mengangguk.
“Alhamdulillah, ya, Allah!” seru Adrian. []