Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

Kolonial Heritage Journey 10

28 April 2021   10:19 Diperbarui: 29 April 2021   04:48 608 1
Jingga menggores langit. Alangkah senangnya bersua mantan kolega waktu masih aktif dulu yang kini menjabat General Manager pelabuhan Sunda Kelapa. Tentu suatu hikmat manakala berjumpa seseorang yang dulu kolega kini tetap bersahabat.
Sejenak ngobrol ngalor ngidul masa lalu dan harapan masa depan di kantor yang dulu beberapa kali disambangi. Obrolan nostalgia dan harapan masa datang.

Sunda Kelapa dulu adalah bandar vital pada masa Tarumanegara. Juga kerajaan selanjutnya Pajajaran dan pada jaman pendudukan VOC di Batavia.

Perdagangan rempah, ternak, hasil pertanian, sutera dan sebagainya menggunakan pelabuhan ini sebagai terminal kedatangan, tempat bersandar dan keberangkatan kapal kapal dagang kayu tradisional tujuan antar pulau maupun ke mancanegara.

Seiring dengan berkembangnya ukuran dan teknologi kapal, perairan Sunda Kelapa terlalu dangkal untuk bisa disandari kapal kapal dagang baru yang semakin besar ukurannya. Juga memerlukan teknologi dan cara bongkar muat berbeda.

Belanda pada tahun 1870 an mencari alternatif untuk membangun pelabuhan baru
-- barangkali hampir bersamaan dengan saat pembangunan lapangan golf tertua Indonesia, yaitu disekitar Rawamangun tahun 1872, yang kala itu bernama Batavia Golf Club. Sekarang lapangan itu masih operasi, yaitu Jakarta Golf Club --  yang selanjutnya dibangun pelabuhan Internasional lebih besar, yaitu pelabuhan Tanjung Priok.

Pelabuhan internasional Tanjung Priok terus berkembang hingga kini. Merupakan pelabuhan laut terbesar dan tersibuk di Indonesia. Sedangkan sejak keberadaan Tanjung Priok Sunda Kelapa menjadi pelabuhan untuk kapal kapal kecil.

Langit semakin meredup, angin laut sore beraroma khas menghembus pelan. Berlatar dua minaret Masjid gaya Turki menjulang di cakrawala panorama Sunda Kelapa sore itu terasa begitu romantik. Kami ditemani pak GM dan beberapa kolega IPC Sunda Kelapa menyusuri dermaga.

Ini tidak seperti yang awak bayangkan dan harapkan. Yakni jejeran kapal kapal kayu bersandar susun sirih masing masing terhubung dengan jembatan kayu melintang atau miring. Kemudian ada tenaga kerja bongkar muat telanjang dada betotot berkulit coklat kehitaman memanggul karung muatan sekitar setengah kuintal menuju ruang palka mendaki jembatan kayu itu. Sinar senja menerpa tubuhnya di jembatan miring, siluet berotot menyatu tertimpa bercak jingga. Moment yang selalu menjadi obyek foto epik favorit para turis untuk dijepret.

Momen itu kini jarang dijumpai.

Memang awak sudah sekitar sepuluh tahun tidak kesini, banyak terjadi perubahan fisik maupun cara kerja di Sunda Kelapa. Kapal kapal kayu ukuran sedang masih banyak bersandar berjejer sepanjang dermaga. Tapi tidak lagi dengan cara susun sirih. Buruh memanggul pun sulit lagi ditemui, kini cara manual panggul itu mulai ditinggalkan.
Kini kapal kapal kayu itu rata rata dilengkapi derek bongkar muat berukuran kecil. Derek yang sudah  menjadi bagian perangkat kerja kapal, dibawa kemanapun kapal pergi.

Small ship crane membikin bongkar muat lebih cepat, hemat. Buruh hanya membantu kerja crane, tak perlu lagi memanggul karung merepih jembatan kayu. Dan tentu saja pemandangan eksotis buruh pemanggul terpapar sinar mentari senja tak lagi ditemui.

Kapal kapal kontainer antar pulau dengan kapasitas muat 100 Teus atau 100 ukuran 20 kaki mulai bisa bersandar disini. Lapangan dengan tumpukan kontainer warna warni dibangun disana sini. Istilah pelabuhan rakyat bagi Sunda Kelapa kini berbeda nuansa dibanding masa sepuluh tahun lalu.

Lingkungan dan perairan Sunda Kelapa nampak bersih. Terasa nyaman berjalan  sore sore disini.

Kapal kelotok sewaan kapasitas enam orang telah menunggu di pinggir dermaga. Hati hati kami satu persatu melompat ke kapal kecil yang bergoyang goyang kiri kanan. Pak navigator dari Banten mengulurkan tangan membantu untuk keseimbangan.

Kapal kelotok dengan bendera Merah Putih berkibar di haluan berkelotok kelotok di perairan. Langit luas tanpa batas menaungi, perahu kecil tumpangan gagah berani meluncur arah cakrawala menjauhi tepian.

Perahu mesin dua tack tenang santai melewati kapal kapal kayu yang bersandar di kanan. Di sebelah kiri dua minaret masjid menjulang itu mulai menyala dibelakang tembok pembatas memanjang. Kumpulan anak telanjang dada ceria mandi laut, di sebelahnya siluet sosok pria berdiri di ujung jembatan kayu, asyik memegang wilah pancing. Matahari turun ke barat mendekat garis cakrawala.

Laut begitu tenang laksana kaca datar, perahu kelotok mendekati dam penahan gelombang. Di perairan menjulang dua mercu suar merah dan hijau berbentuk silinder runcing sebagai petunjuk gerbang keluar masuk pelabuhan. Kedua silinder raksasa beda warna itu seolah mengambang di laut, menjadi ikon penampakan fotograpik.

Menarik nafas dalam dalam menghirup udara segar tercampur garam, asin sehat melegakan. Betapa nikmat.

Merasa sangat bersyukur berada di alam luas tak terperi. Perahu kecil terapung apung menjadi bagian pesona senja kala. Alhamdulillah, membisikan rasa syukur.

Perahu merapat dam memanjang di laut. Kami satu persatu dan hati hati meloncat pelan keatas tanggul gelombang. Merentangkan tangan sembari mengibarkan merah putih perasaan tak terkira .... alangkah indah dan segar sore ini. Senja Sunda Kelapa jangan kau cepat pergi....

Setelah puas menikmati dan mengamati daratan Jakarta dari tanggul pemecah kolam, perahu kelotok putar arah waktu maghrib hampir tiba. Membelakangi horizon yang semakin meredup perahu kecil kembali ke tambatan.

Adzan maghrib melantun megah memenuhi angkasa Sunda Kelapa dari dua minaret Turki yang tlah berpendaran nyala. Perahu kelotok kembali sandar merapat.

Meninggalkan tepian dermaga,nampak siluet deretan kapal kapal kayu memantul di permukaan laut. Laut adalah cermin dan saudara tua daratan.
Hari nan panjang dan indah akan segera berlalu.

Perjalanan sehari sejak dari pasar loak jalan Surabaya, yang memberikan pengalaman bersua dengan karya master piece masa lalu ataupun produk masa kini yang dibuat seolah kuno. Kemudian pengalaman sejarah dan budaya dengan mengamati  benda benda sejarah di museum Nasional. Lalu melihat peninggalan jejak perjuangan para pahlawan dan sejarah Jakarta serta kisah kisah romantis tragis di museum Fatahillah. Terus merasakan sensasi dan nostalgi masa kecil di museum wayang yang menyegarkan jiwa dan ingatan.  

Mengakhiri hari di pelabuhan Sunda Kelapa, bandar niaga yang berfungsi strategis sejak ratusan tahun lalu. Merayakan sore melayari perairan nya.

Sungguh banyak pembelajaran, nostalgi, pengalaman dan optimisme diperoleh hari ini. Tentang luas dan kayanya sejarah dan budaya Nusantara.

Menjelang Isa, kami kembali pulang. Inilah kolonial heritage Journey edisi hari ini. Tak sabar rasanya lain hari segera mengunjungi peninggalan dan heritage heritage disekitar Jabodetabek lainnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun