Ajax tersingkir dari laga Liga Champions dikandang sendiri. Di stadion Johan Cruijff, Amsterdam. Lapar juara dalam 23 tahun penantian pupus sudah. Energi kemenangan berubah duka.
Ribuan pendukung kecewa, menangis di kota sendiri. Mimpi juara itu sirna, dibuyarkan matahari Lucas Moura winger Spurs.
Para pemain Ajax tumbang berserakan, menelungkup di lapangan hijau. Kostum merah putih di atas lapangan hijau itu, bak tissue terendam air. Nglumpruk tak berdaya. Sang pelatih Ajax, Erik Tein Hag hanya terbengong seperti Manekin pajangan. Mati rasa mendapat jabat tangan hangat dari Pochetinno, pelatih Tottenham yang sangat gembira.
Membayangkan Tram tram di kota Amsterdam, dipadati penumpang penumpang yang tertunduk lesu saling membisu. Pulang ke rumah tanpa semangat. Para pengunjung kafe kafe di sekitar Dam Square dan Dam Straat menenggak Beer kesedihan. Heineken termahal, karena tercampur rasa kecewa yang dalam.
Kalau saja, seandainya, misalnya. Menjadi kata kata terbanyak, dalam diskusi allegori kekalahan pedih dramatis tim pujaan.
Ajax sering berjaya di kandang lawan, dan rontok di kandang sendiri. Tahun lalu, di ajang yang sama ditumbangkan Real Madrid di Amsterdam. Setelah sebelumnya di leg 1 berjaya menang tandang di Santiago Barnebeu, kandang Madrid.
Dan sekarang, kalah lagi oleh Spurs dengan momen amat mirip tahun lalu. Menang 1 gol di kandang Spurs. Dan kalah 3 - 2 di kandang sendiri. Kebalikan dengan momen kekalahan yang diderita Barcelona. Selalu kalah tandang.
Whats wrong with you Ajax?
Pertandingan leg 2 babak pertama. Filosofi Total Football ala Johan Cruijff telah diterapkan Ajax dengan militan. Menghasilkan 2 gol cepat di menit ke 5 dan menit ke 35.
Ajax unggul aggregate 3 - 0.
Di babak ke dua, gaya permainan Ajax mengembara ke Italia. Cenderung bertahan mengadop gaya Cattenatio yang sering diterapkan timnas Itali. Untuk menjaga keunggulan aggregate 3 gol, Ajax menggerendel gawang dengan pagar betis berlapis. Serangan mengendor. Merasa aman.
Namun tim Lily putih malam itu tidaklah secantik bunga. Son, Moura, Ali adalah Macan yang sedang lapar juara. Moura menjadi taring dan cakar Macan, mencabik cabik sang Serigala Amsterdam.
Malam itu, kota seribu kanal yang berpijar pijar ribuan lampu itu terasa lebih dingin dari biasanya. Langit kelabu, wajah kuyu, mata berkaca kaca. Itulah derita para warganya.
Sebaliknya, lihatlah kafe kafe di sepanjang Piccadilly dan sekitar Travalgar Square, London. Penuh gelak tawa dan momen Ting.. Ting.. Ting. Benturan benturan gelas, bersulang merayakan keajaiban injury time.
Nama Pochettino sang juru Strategi dan Taktik Spurs, selalu disebut penuh pujian. Genius lah, Brilian lah, Bertangan dingin lah, Kreator lah. dst dsb.
Demikian juga Lucas Moura, pemain sayap berusia 26 tahun ini menjadi pahlawan dalam pembicaraan. Berbagai julukan disebutkan. Algojo lah, Macan lah, Meteor lah. Dan lah lah yang lain.
Lucas Moura, pemain kelahiran Sao Paulo Brazil ini belum begitu lama bergabung dengan Spurs. Setelah ditransfer 45 juta Euro dari PSG, klub Bola kota Paris.
Sebelumnya, pemain yang pernah bergabung dalam tim Juventus junior ini tak bersinar. Namun malam ini dialah segalanya. Menjadi sinar terang dan penyelamat Spurs yang sedang berada di ujung tanduk.
Moura malam ini bercahaya melebihi Son striker penakluk. Bahkan melebihi Harry Kane, pangeran Spurs yang absen bermain malam ini karena cedera.
Hat Trik Moura di laga ini akan lama menjadi cerita. Lebih melegenda, manakala tanggal 1 juni mendatang, Spur mampu mengangkat Trophy si Kuping besar di Madrid. Mengalahkan Liverpool.
57 tahun penantian juara, akan dituntaskan di Madrid untuk membasuh dahaga yang berkepanjangan.
Who knows.
Inggris Yuda akan terjadi di kota Madrid. Madrid Spanyol, akan menjadi Kurusetra modern. Perseteruan dan perang saudara kasta atas tim klub Inggris. Siapa bakal menjadi Pandawa, dan siapa pula akan menjadi Kurawa?
Tim Inggris naik level. Setelah lama Liga Champion di dominasi tim Spanyol, 2019 akan menjadi ajang pembuktian bahwa mereka layak menyandang Mahkota Liga bergengsi ini. Pembuktian, bahwa Inggris bukan hanya sekedar penemu dan guru Sepak Bola. Namun juga Panglima dan Jawara Bola di lapangan nyata.
Liverpool cenderung menjadi jago kandang. Sedangkan Tottenham sering menjadi jago tandang. Namun mereka akan bertemu dan berlaga di zona netral. Zona yang mudah mudahan menjadi Neraka menantang bagi mereka. Publik Bola di penjuru Dunia menginginkan tidak terjadi anti klimak di Madrid nanti. Dunia menanti tontonan lebih hebat dari sekedar liga Inggris.
Menunggu tanggal 1 juni 2019 nanti, mengharap Harry Kane sudah bugar dan memperkuat Spurs. Tembakan tembakan kerasnya yang dirindukan hadir kembali di Madrid. Demikian juga M Salah dan Firmino telah pulih dari cedera. Bisa memperkuat Liverpool The Reds. Laga bertabur bintang, akan menjadi daya tarik dan tontonan yang ditunggu tunggu.
Kostum merah akan bertarung melawan kostum putih. Mudah mudahan Neraka Jahanam akan terjadi di Madrid. Dan diakhiri dengan Sorga yang terhampar. Perayaan damai.
Siapakah yang akan merayakan? Pengikut Beatles ataukah pengikut Rolling Stone. Marilah kita tunggu dengan berdebar debar.