***
"Tolong diingat baik-baik, Bapak ngasih ini bukan sebagai hadiah karena kalian rajin puasa, ngaji, juga teraweh. Tapi, karena Bapak lagi senang, lagi banyak rezeki. Panen jagung kebun kita berlimpah," jelas Bapak, usai aku dan Dwipa sungkeman. Di tangannya ada tiga amplop kecil warna putih.
Emak yang duduk di samping Bapak, ikut menjelaskan. "Isinya dijamin sama banyak, supaya ndak ada saling iri sesama saudara. Terserah mau dipakai apa, yang penting jangan lupa sedekah. Dan, doakan Bapak sama Emak agar dilimpahi rezeki halal yang berkah." Ucapan Emak terdengar lebih serius daripada Bapak.
Kemudian, Bapak menyerahkan amplopnya kepada kami.
Seingatku, itulah kali pertama tradisi bagi-bagi angpao Bapak lakukan. Aku baru kelas satu SMA--hampir 30 tahun lalu. Aneh! Ya, ada yang aneh dengan pembagian amplop lebaran tersebut. Pasalnya, Trias masih bayi. Adik bungsuku itu baru berumur tiga bulan. Buat apa bayi diberi angpao juga? Namun, aku tak banyak tanya. Emak pasti berdalih demi asas keadilan.
Amplop pertama yang kami terima berisi uang sejumlah seratus ribu rupiah. Nominal yang sangat besar di zaman itu. Dua kali lipat dari uang sakuku sebulan. Apalagi buat Dwipa yang masih kelas tiga SD. Dia gembira luar biasa, merasa bisa membeli semua mainan di gerobak Lek Bejo. Entah apa yang terjadi dengan isi amplop milik Trias. Aku dan Dwipa tidak pernah meributkan soal itu.
"Kamu sudah bersedekah, Nduk?" tanya Bapak beberapa hari setelah lebaran. Beliau ingin memastikan apakah permintaannya sudah dilaksanakan.
Aku menggeleng pelan.
Bapak tampak masygul. "Kenapa belum? Uangmu sudah habis?"
"Baru aja pulang dari pasar, beli bakiak-bakiak ini buat di langgar. Tadinya mau titip Bapak, tapi Bapak udah keburu pergi. Aku malu kalau harus ke sana sendirian," jawabku jujur.
Bapak mengangguk-angguk dan tampak senang. "Lah, ini sarung siapa?"
Dengan sedikit gugup aku menjelaskan, "Hmmm, Dwipa be-beli sarung itu buat Pakde Kamil. Di-dia bingung mau sedekah apa." Penjelasan kedua ini mengandung kebohongan.
Dwipa memang ingin membelikan Pakde Kamil sarung baru. Sarung lelaki tua penjaga langgar itu sudah lusuh. Namun, uang adikku hilang ketika kami ke pasar. Mungkin terjatuh, mungkin juga kecopetan. Aku mengiyakan permintaannya agar merahasiakan kejadian tersebut dari Bapak Emak. Dia--lebih tepatnya kami--takut dimarahi. Termasuk tidak mengatakan bahwa sebenarnya uangkulah yang dipakai untuk membeli sarung. Uang Dwipa tidak bersisa lagi, telanjur habis untuk jajan dan membeli mainan.
Banyak peristiwa yang kemudian menjadi kenangan indah, lucu, juga sedih. Terutama tentang uang dari amplop lebaran itu. Aku tidak mampu mengingatnya satu per satu. Entah dengan Dwipa dan Trias.
Waktu berlalu dan tradisi bagi-bagi amplop lebaran tetap Bapak lakukan. Tidak lupa disertai dua permintaan; bersedekah dan mendoakan mereka. Padahal tanpa begitu pun, kami selalu berdoa yang terbaik untuk orang tua.
"Sudah jadi kebiasaan. Toh, ini bukan tradisi yang batil." Begitu alasan Bapak, saat kami beranjak dewasa dan menampik amplopnya. "Tenang aja. Bapak juga ndak memaksakan diri, kok. Alhamdulillah, uangnya selalu ada," tegasnya lagi dengan senyum bungah semringah. "Terimalah!"
Memang benar, rezeki Bapak Emak mengalir lancar. Kadang bagai mata air pegunungan di musim kemarau. Kecil, tetapi terus mengucur. Namun, kerap pula bak air terjun Grojogan Sewu di Gunung Lawu. Deras melimpah. Bahkan saat aku sudah bekerja pun, Bapak masih memberiku uang lebaran.
"Terima ya, Nduk. Buatlah bapakmu ini bangga dan bahagia!" pintanya serius.
Aku menerima dengan penuh rasa haru. Lantas, uang itu kupakai untuk membelikan Emak cincin emas, atau menghadiahi Trias baju-baju baru, aneka cokelat dan boneka.
Sampai semua anak menikah, tradisi itu tetap berlanjut. Hanya di awal-awal saja, aku memastikan uang yang kami dapat besarnya sama. Setelah itu, aku tak pernah bertanya berapa rupiah yang adik-adik terima. Begitu pun sebaliknya. Percaya saja pada asas keadilan yang didengung-dengungkan orang tua kami.
***
Tiga tahun terakhir adalah masa-masa tersulit dalam hidupku. Mas Harsa kena PHK, lalu dia hanya kerja serabutan. Tidak ada kepastian penghasilan membuat keuangan keluargaku oleng dan tinggal menunggu karamnya saja. Andai lelaki itu tidak memaksaku berhenti berkarier, tentu tidak akan seperti ini jadinya. Persoalan kemudian menjalar pada keutuhan perkawinan kami, benar-benar nyaris di ujung tanduk.
"Terimalah, buat bayar sekolah cucu-cucuku," bisik Bapak seraya menyodorkan amplop tebal. Ini di luar kebiasaan, karena diberikan di malam takbiran.
Dengan berurai air mata, aku mengangguk. Seketika menjadi momen paling menusuk. Harga diriku langsung ambruk. Ya Allah, anak perempuan kebanggaan Bapak ini telah jatuh terpuruk. Lenyap segenap kepercayaan diri. Tak ingin dikasihani, tetapi nelangsa ini memang sangat sulit untuk ditutup-tutupi.
Aku menerima. Dalam dada, ratap pilu mencambuk sukma. Walaupun sulit, aku berjanji akan bangkit. Kupeluk Bapak dan berbisik, "Terima kasih, Pak. A-aku, aku ...." Hilang kata dibawa air mata, lesap dalam hangat dekap.
"Husss, ndak usah nangis! Ini, lihat! Ada juga buat Dwipa dan Trias."
Beliau lalu menyerahkan amplop yang sama tebalnya pada adik-adikku. Dengan begitu, Bapak seolah-olah menunjukkan bahwa dia tidak sedang mengasihaniku. Ini adalah tradisi. Titik.
Bapak, oh, bapak.
***
Andai Trias menutup pintu kamarnya, tentu aku tidak bisa melihatnya sedang membuka angpao. Hati ini seketika bergemuruh menyaksikan adikku mengeluarkan lipatan kertas koran dari dalam amplop. Ternyata bukan uang yang membuat amplop itu tebal. Namun aneh, tidak ada ekspresi kecewa di wajahnya. Pasti ada sesuatu!
Aku langsung menyeruak masuk tanpa permisi.
"Kamu dapet lipetan koran, sementara aku dikasih enam juta. Bapak ternyata bohong sama kita! Ada apa ini, Tri?" Tak dapat kutahan rasa kecewa. Mengapa harus ada dusta di antara anggota keluarga. Bukankah selama ini, Bapak dan Emak selalu menomorsatukan keadilan?
Trias tampak kaget. Dia menggaruk-garuk kepala, salah tingkah. "Bu-bukan begitu, Mbak. Ummm, aku sama Mas Dwi yang sengaja minta ke bapak supaya jatah kami buat Mbak Uma aja. Maaf, kalo---"
"Kalo ndak begitu, Mbak Uma ndak mau nerima uluran tangan kami. Mbak terlalu pantang terlihat lemah di mata adik-adik," sambar Dwipa yang tiba-tiba masuk kamar. "Nggak selalu yang tertua itu harus jadi yang terkuat juga, Mbak," jelasnya lagi seraya meraih tanganku. "Terima, ya."
Kurasakan tangan adikku menggenggam lebih erat. Tatapan hangatnya berselimut bening air.
"Gantianlah, Mbak. Dulu Mbak yang melimpahiku banyak kesenangan. Sekarang apa salahnya aku membantu. Ini nggak seberapa dibanding kasih sayang Mbak Uma padaku," tutur Trias dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca, lalu memelukku dari samping.
"Mbak Uma selalu merahasiakan kenakalanku, biar aku ndak dimarahi bapak dan emak. Ingat, kan? Mbak juga yang menjagaku dari tukang palak dekat sekolah," imbuh Dwipa, mengulang kisah lama yang sudah kulupa.
Aku bersimbah air mata. "Terima kasih," ucapku lirih saat merangkul mereka berdua. Kemudian, kupeluk juga Bapak dan Emak yang baru masuk. Tangis pecah, tak kuasa lagi dicegah.
Di luar suara takbir menggema. Di sini, di relung hati ini, segenap rasa berpendar. Jiwaku bergetar, seketika merasa jauh lebih tegar. Akan selalu ada kasih sayang yang tulus memancar dari mereka, keluarga tercinta. (TAMAT)