Harap mafhum tragedi pasca-perang selalu membawa goncangan multidimensi. Tidak luput juga kultur yang serba 'pop', dan maraknya filsafat ngepop seperti 'eksistensialisme' dan postmodernisme seakan merupakan sebuah keniscayaan. Di masa itu, nilai-nilai murni (virtue) dan etika akan dibubuhkan oleh tanda tanya. Masih adakah yang namanya moral? Apakah ini yang namanya dunia manusia? sekengkal pertanyaan sederhana namun filosofis.
Panggung politik, ekonomi dan hiburan kini sudah disesaki oleh pelakon lihai yang berjiwa ngepop. Atas nama kultur ngepop, kita bagai seorang perawan tingting yang siap melepas mahkota 'terakhir'-nya dalam terkaman buas lelaki hidung belang. Kita menjual segalanya demi nama pop. Kita adalah Faustus-Faustus baru. Para politisi semakin terpesona oleh daya tarik Machiavellianisme dan sudah melupakan semangat Stoik yang diperagakan oleh pejuang-pejuang kita. Lihatlah Pantheon yang semakin lapuk, bersama dengan lapuknya moral universal Kant yang menjadi junjungan moral barat abad 19. Kita tergerus dalam limbah beracun bernama 'kultur Pop' yang bersumber dari pabrik-pabrik industri barat sarat kapitalisme.
Infotainment, hiburan, konsumerisme, hanyalah cermin semu dari apa yang dimaksud oleh kaum utilitarian dengan "Pursuit of the Happiness'. Kebahagian yang dianalogikan dengan dengan surplus atau greater good.
Sejarah selalu mencatat, keadaan seperti ini memuncak dengan ide-ide eschatology atau ide tentang kedatangan sang ratu adil atau sang messiah yang akan datang di tengah kekacauan dan membawa kembali obor kebenaran yang selama ini diselimuti oleh bungkus keraguan. Bak Pahlawan yang dinantikan, dia datang menghijaukan kembali 'lahan-lahan' yang tercemar oleh 'racun-racun' yang disebar oleh antikristus-antikristus modern. Cukup dengan kata "Tenang, dia akan datang," seakan membuat hati kita sedikit terobati sambil berpangku tangan. Apakah si-'dia' datang dengan gaya ngepop juga, sungguh tak ada yang tahu.