Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Antara Sabar dan Ridha

16 Februari 2014   05:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47 835 0
Sabar dan ridha. Sepintas lalu kelihatannya mirip. Namiun jika dikaji lebih jauh, adalah hal yang berbeda. Sabar adalah menahan diri dari amarah dan kekesalan ketika merasa sakit, sambil berharap derita itu segera hilang.

Sementara ridha adalah berlapang dada atas ketetapan Allah dan membiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya. Keridhaannya meringankan deritanya. Karena hatinya dipenuhi oleh ruh yakin dan ma’rifah. Bila ridha semakin kuat ia mampu menepis seluruh rasa sakit dan derita.

Mereka yang ridha adalah mereka yang dapat menghayati hikmah dan kebaikan dari Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka kepada-Nya. Ia juga menghayati betapa Dia Maha Agung, Maha Mulia dan Maha Sempurna. Ia terhanyut dalam persaksiannya atas semua itu, sehingga tidak lagi merasakan derita. Akan tetapi Cuma mereka yang benar-benar ma’rifah )kenal) dan bermahabah (cinta) saja yang dapat mencapai tingkatan ini. Mereka bahkan dapat menikmati musibah yang menimpa, karena mereka tahu bahwa musibah itu datang dari Dzat yang dicintainya.

Sebagai contoh adalah peristiwa yang menimpa Nabi Ibrahim ra. Ketika perintah untuk menyembelih Ismail -putra kesayangannya- tiba, beliau menerimanya dengan lapang dada. Taat pada perintah Sang Khalik, dikarenakan rasa cintanya yang mendalam pada Dzat yang menciptakannya. Cinta, membuatnya dapat menyikapi cobaan yang berat. Cinta, membuatnya dapat menerima ketentuan takdir yang tidak menyenangkan. Cinta, membuatnya tegar, dan memiliki ketahanan lahir dan batin.

Anas bin Malik meriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda,
“Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha, niscaya dia akan mendapat ridha-Nya. Barang siapa yang kesal dan benci niscaya ia akan mendapatkan murka-Nya.

Ibnu Mas’ud berkata,
“Sesungguhnya Allah SWT dengan keadilan dan ilmu-Nya menjadikan kesejahteraan dan kegembiraan pada yakin dan ridha, serta menjadikan kesusahan dan kesedihan pada keraguan dan kekesalan.

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib ra mendapati Adi bin Hatim tengah bersedih. Beliau bertanya,
“Mengapa engkau bermuram durja?”

Adi menjawab,
“Apa tidak boleh? Sedang dua anakku baru saja terbunuh, pun mataku baru saja tercungkil?”

Ali ra bertutur,
“Wahai Adi, barangsiapa ridha terhadap ketentuan Allah maka sesungguhnya ketetapan Allah itu tetap terjadi, dan ia mendapat pahala. Dan barangsiapa tidak ridha terhadap ketetapan-Nya, sesungguhnya ketetapn-Nya tetap terjadi dan amalan orang itu pun terhapus.”

Hasan Al-Bashri berkata,
“Barangsiapa ridha terhadap bagiannya, Allah akan meluaskan dan memberkahinya. Begitu pula sebaliknya.

Umar bin Abdul Azis berkata,
“Aku tidak lagi memiliki kebahagiaan selain menerima apa yang ditakdirkan bagiku.”

Abdul Wahid bin Zaid berkata,
“Ridha adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia dan tempat istirahatnya para ahli ibadah.”

Sebagian ulama berkata,
“Di akhirat nanti, tidak ada derajat yang lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh orang-orang yang ridha kepada Allah SWT dalam segala situasi. Maka barangsiapa yang dianugerahi ridha, sungguh ia telah mendapat derajat yang paling utama.

Mari kita kejar ridha Allah dengan terus berupaya memaknai Ridha Allah sebagaimana yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah SAW dan para ulama.

Referensi:
Artikel “Ridha kepada Allah SWT” oleh Elpijar, M. Ag, buletin Jum’at “Iqra’” Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amalan Islam (KPA-PAI) Kota Banda Aceh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun