Tulisan ini semoga tidak disalahpahami seribu anggapan yang menjilat, memuja-muji seorang Presiden. Agar terkenal ataupun keberpihakan secara Politik. Sungguh bukan.
Dan cenderung menitikberatkan sisi baik dari kisah karier sang Presiden. Yang dapat dipetik menjadi panutan kita semua, khususnya saya sendiri.
Kariernya yang Tidak Terduga
Siapapun sudah pasti tahu siapa orang nomor satu di Indonesia. Menempati hierarki tertinggi badan eksekutif di pemerintahan. Secara kapasitas berupa kewenangan dan kebijakan penuh lahir dari tangan beliau. Hak veto dan prerogatif.
Ya, Tukang kayu dari kota Solo. Berpenampilan sahaja. Bukan dari kalangan politikus kawakan. Golongan ningrat berdarah biru. Konglomerat papan atas. Apalagi selebritis. Tidak terduga sebelumnya, telah menjadi orang terpenting di tanah air.
Dua Periode dilantik sebagai walikota Solo. Pernah mencicipi kursi Gubernur DKI meskipun tidak habis satu periode. Mengantar ke kursi Presiden yang kini di periode kedua. Mungkin, periode ketiga jika aturan berkata lain, tunggu saja tanggal mainnya.
Karier yang fantastis bukan. Melihat karier Presiden perumpamaan tangga, berjalan dari tangga pertama diposisi terbawah dan seterusnya menuju tangga terakhir yaitu puncak teratas. Walikota---Gubernur--Presiden.
Hal yang tidak terbayang oleh Jokowi mungkin pada awalnya, kok saya Presiden Hehe...tanpa ada rencana di kejauhan hari. Nyanah, waktu berkata lain dan fakta Presiden ditampuknya.
Kecerdikan Politik
Keraguan berbentuk satir atau sarkas selama ini melanda Jokowi seperti mampu ditepis jika melihat sepak terjang saat menjadi Presiden.
Asumsi Jokowi Boneka, Jokowi pandai membangun image/pencitraan dan sebagainya. Terbukti kiprah politik Jokowi telah melejit sebelum jadi Presiden bukan. Terlepas ada konotasi dia 'stir' oleh seseorang atau perahu yang ia tumpangi.
Dua periode menjabat walikota, berhasil memenangkan pemilu di DKI adalah bukti dia piawai berpolitik. Dan mampu memenangi pilpres dua kali adalah fakta.
Sederhananya jawaban dari asumsi bahwa Jokowi cerdik berpolitik. Pertama kepercayaan publik terbukti mengapa ia selalu menang. Kedua pinangan partai besar bahwa ia pantas diusung dan sukar cari rival untuk dicundangi.
Sisi yang lain dari kefiguran Jokowi justru mampu menaikkan 'rate' Elektebilitas dari beberapa parpol selama ini. Yang mengusungnya dalam debut kontes demokrasi. Pasca pilpres beberapa partai pengusung merangkak naik secara persentase yang signifikan.
Namanya seperti simbol penting meraup suara pileg kemarin. Berbagai analis bahkan beberapa artikel kompasiana juga menggambarkan/menghubungkan prihal melonjak angka-angka tersebut. Karena ada Figur tertentu, dasar keberuntungan pemilu yaitu pileg beriring pilpres. Bahkan kasus turunnya suara partai pun terindikasi adanya salah usung di pilpres.
Merujuk dari sensi dan tensi pilpres kemarin. Publik pun berharap penuh cemas, dinamika politik yang tajam hingga menjalar di tataran akar rumput. Bangsa ini seakan mau terpecah belah. Suasana politik yang jarang terjadi dari segi dampak pergesekan. Tetangga sebelah rumah toh, gara-gara berbeda pilihan saat pilpres. Bahkan tidak bertegur sapa seperti bermusuhan.
Isu-isu berkembang, dari disentegrasi, makar, people power berkumandang dimana-mana. Jangan-jangan bangsa ini terancam bubar. Perang saudara seperta bangsa luar. Pokok eh, mencemaskan!
Kembali konteks ini, Jokowi jago berpolitik. Di tengah kencangnya angin menerpa pohon kelapa. Melalui rekonsiliasi pun berjalan lancar. Kompetitor terberat dapat dirangkul dalam kabinet. Membantu Presiden menata bangsa. Secara tidak langsung mampu meredam kecamuk yang berkembang.
Terlepas apa itu tanggapan miring hasil rekonsialiasi berjalan mulus pasca bergabung Prabowo ke koalisi, kabinet kerja Jokowi- M. Amin. Persatuan dan kesatuan adalah yang terpenting bukan. Daripada persepsi kekecewaan antara dua kubu berbeda sebelumnya.
Harmoni dan dinamisnya politik mesti untuk dipahami oleh publik. Harus mampu melihat sisi baik atau buruknya, stop berprilaku membabi buta yang tidak bekesudahan. Akur-akur wae lah.