Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Dari yang Paling, ke yang Berpaling

17 Mei 2011   03:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:33 359 0
"Dalam kegelapan matamu kau telah melihatNya. Dan aku? Aku masih dalam taraf terpesona." Baris kalimat ini, digoreskan Mohamad Sobary dalam paragraf terakhir essay religiusnya "Kang Sejo Melihat Tuhan", yang kemudian dipilih sebagai judul buku kumpulan tulisannya yang lain, yang tersebar-sebar di berbagai media massa.

Kang Sejo, seorang difabel, kehilangan daya penglihatannya. Ia menjadi tukang pijat yang amat terkenal, bahkan salah satu pelanggannya seorang pejabat kaya, yang memberinya hadiah pergi ke tanah suci. Kesederhanaan melingkupi hidupnya, bukan karena miskin, tetapi karena ia memang mengerti makna kehidupan yang sesungguhnya.

Tak perlu bagi Kang Sejo doa yang berpanjang-panjang, dan menggunakan bahasa Arab segala macam. Merintih-rintih, seperti sebuah duka dan ketakutan yang maha dahsyat. Kepasrahan yang dibuat-buat. Air mata buaya, untuk mempengaruhi Tuhan agar berbelas kepadanya. Bagi Kang Sejo, tidaklah demikian. Ia berdoa hanyalah dengan lafal pendek, "Duh... Gusti." Selama memijat langganannya, ia selalu menyebut-sebut "Duh... Gusti," sehingga tak terhitung lagi jumlahnya, tak terbatas tempatnya.

Inilah, doa yang paling Indonesia. Doa yang sama sekali tak pernah diajarkan dalam pesantren-pesantren, dalam kuil-kuil, dalam gereja-gereja. Ia hadir dalam jiwa Kang Sejo, begitu saja, menyemut dalam hatinya, dan terungkap dalam lisannya, terlakukan dalam tindakannya, dalam setiap tarikan nafasnya yang lembut dan tanpa curiga.

Kini, saat bangsa ini didera dengan berbagai persoalan, berderak-derak menelikung setiap kehidupan, menghampiri setiap sektor dan sisem sosialnya. Kecamuk aroigansi aliran, kelompok-kelompok, yang tindakannya tidak lagi disandarkan pada bentuk pengabdian kepada Tuhan, tetapi untuk kepentingan diri sendiri, kepentingan partai politik, kepentingan kelompok, dan kepentingan hawa nafsu semata-mata.

Kita melihat, keberpura-puraan bangsa ini, telah mendarah daging, ia bisa menangis--seakan duka sangat mendalam--saat berhadap-hadapan dengan tenaga kerja indonesia yang wajahnya memar, gigi rontok, dan kepala dengan embuilan jahitan. Tetapi selangkah kemudian, ia bisa tertawa terbahak-bahak, menikmati minuman segar aneka rasa, kue-kue dengan harga ratusan ribu, dan tentu saja tak lupa, sekotak kondom rasa durian isi tiga buah, tenteram nyaman di kantongnya.

Persoalannya, apakah kita hendak ikut mengamuk-amuk, mencaci maki, dan setelah lelah karena tak juga didengar lalu tertidur pulas dan bermimpi masuk sorga? Terjaga besoknya, tidak mustahil kelak dipanggil ke pengadilan karena kita mendapatkan tuntutan pencemaran nama baik seorang pejabat.

Mungkin Kang Sejo, manakala menyaksikan semuanya, hanya akan bergumam dalam hatinya, "Duh..., Gusti," lalu disusul dengan ungkapan yang amat memahami semangat religiusitas, "Gusti Allaoh ora sare...", tulis Sobary mengenai keimanan tertinggi Kang Sejo, si tukang pijat itu.

Lalu, jika memang kita hendak melakukan perubahan-perubahan yang bermakna, saatnyalah kini kita berpaling dari kenyataan-kenyataan hidup yang maha pahit ini. Mencari-cari diri yang sebenarnya, meletakkan dalam sebuah orbit yang sesuai pula dengan garis ketentuan Tuhan, sambil terus menerus meyakini, Gusti Allaoh ora sare.....

Berpaling untuk melakukan perbaikan-perbaikan sikap, menyesuaikan antara apa yang ada dalam hati, apa yang diucapkan, dengan apa yang dilakukan, sebagai wujud keimanan yang paling tinggi. Jika engkau hendak berkenan di hati Tuhan, maka bertindaklah sesuai dengan iman, dan bertindak sesuai dengan apa yang dikatakan. Begitulah Daud, telah sampai pada kenyataan hidup seperti ini, sebagaimana dikisahkan di kalangan umat Kristiani.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun