Di tengah perjalanan, hampir mendekati jalan lingkar utara Jogjakarta, saya dikejutkan oleh tiga mobil berkecepatan tinggi, berurutan, di tengah-tengah hujan rintik-rintik itu. Satu mobil berada mepet sekali di sebelah kanan saya, angin kencangnya akibat ngebut itu, sempat menjadikan saya oleng ke kiri. Kaca helm saya buka, hebat, mobil itu di kaca belakang dipasang stiker Djarum Black Car Community Yogyakarta. Stiker dengan design yang indah, sayang pengemudinya tak seindah designnya.
Motor saya pinggirkan, berhenti sejenak menata nafas kembali. Pandangan mata saya terus mengikuti tiga mobil dengan laju tinggi, seakan tak hendak untuk terpisah satu sama lainnya. Semakin mengabur dari pandangan mata saya.
Tindakan ugal-ugalan di jalan, di negeri ini memang hampir menjadi monopoli setiap kelompok yang merasa dirinya bermassa. Beranggota. Keberanian anak negeri ini, sebagiannya hanya mengandalkan teman-temannya. Keroyokan, dalam bahasa udik saya. Kewibawaan di negeri ini, ketakutan yang terbangun di negeri ini, hanya mampu ditumbuhkan dengan kekuasaan. Bukan kapasitas pengetahuan dan intelektual yang membanggakan.
Saya yang wong cilik, yang sendiri, tidak memiliki ruang, kecuali hanya berhak untuk dikejutkan, digiring dalam situasi yang berbahaya. Bahkan situasi itu, seringkali nyaris mencelakakan, dan mungkin juga bisa membunuh.
Dua pertiga sisa perjalanan yang masih saya tempuh, saya nikamti benar-benar, dengan kecepatan, tidak lebih dari 60 km/jam. Hujan yang terus turun, airnya mulai merembes ke dalam mantol yang saya kenakan, mengantarkan saya pada rasa syukur yang luar biasa. Syukur atas kondisi saya, yang cukup menapaki jalanan dengan tidak membahayakan siapapun. Jalanan yang setiap orang memiliki hak untuk aman.[]