Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben; Merenungi Sejarah! (setelah membaca Kompas, 14/10)

15 Oktober 2012   15:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:49 49 0



Bayi berusia satu tahun bernama Yusuf itu menangis, tergeletak di areal pemakaman. Tubuhnya dikerubungi semut. Ia ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya..

Sayup-sayup, kalimat itulah yang aku baca dari Kompas, 14 Oktober 2012. Judul yang terlihat jelas di halaman utama. Tak perlu memicingkan mata. Atau memalingkan muka ke Palestina, bahkan Amerika, “KASIIH SAYANG BAGI YANG TERBUANG”. Sengaja aku tulis judul tersebut dengan cetak tebal. Agar Anda  tak lagi bebal. Sengaja aku tulis kapital, kelak Anda adalah orang yang tak menjadi tumbal  berikutnya. Sebab, anda juga dapat dikatakan “produk” yang gagal. Sengaja aku tulis di sini. Agar kalian sangggup membaca nurani.

Aku tulis coretan ini dengan di temani langit gelap, berkabut.  Meski aku sendiri sangsi akan kehadiran gerimis sekalipun. Usai menyusuri jalanan malam. Jalanan yang tiada merdeka akan warta sunyi. Selalu ada kenormalitasan di dalamnya. Selalu ada dominasi di dalamnya. Dan selalu ada yang tersingkir dari liang pastoral, terusir dari pergulatan antara debu dan batu-batu.  Kubangan lumpur menggembur, siap membenamkan siapa saja yang abnormal, bahkan yang papa dan binal. Hidup sama saja bertaut jurang maut.

Yusuf, lahir dalam keadaan Celebral Plassy, adalah salah satu potret dalam baying-bayang kuasa kenormalitasan. Dimana yang “tercipta” tidak sama, dalam bentuk lain, yang berbeda atas masyarakat dominan, ia adalah yang “cacat’. Tak layak mendapat tempat. Tentu saja, banyak yusuf-yusuf lain yang bertebaran di negeri yang “kaya raya”, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. bertuhankan Yang Maha Esa. Berkeadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kini, akankah dengan air mata layak aku katakan itu sekadar retorika?

Ini bukan sembarang air mata yang luruh bersamaan secangkir kopi. Meski bukan tongkrongan di starbucks, Mc Donlad, ataupun KFC, sebab aku tak pernah singgah di sini. Tongkronganku hanyalah di angkringan atau bujo yang tiada bernama. Yang aku ingat, tempat itu berteduh dibawah pohon bungur. Merindukanku akan sosok ibu yang senantiasa bertafakkur. Ada harga tersendiri dibandingkan kemiskinan negeri ini. kita memang miskin, bahkan tubuh dan nama yang melekat pada diriku sendiri juga miskin. Namun, bukan berarti setiap air mata adalah sia-sia. Maka aku kembali teringat sore itu. suatu saat senja menunggu. Bersama orang-orang hebat, dalam pandanganku…

Sore masih memperlihatkan mataharinya yang beranjak kemuning jingga kecerahan ketika kami berteduh di bawah pohon sawo kecik. Tak jauh dari Rektorat UGM. tangan kananku memegang secarik kertas dengan judul yang mencolok “(Outline) Proposal Launching Forum Mahasiswa Difabel dan Partners UGM dan Seminar Nasional dengan Tema ‘Menggugat Peran Mahasiswa dalam Isu Pendidikan Difabel’”.

Aku tidak sendiri, ada lima orang hebat yang turut hadir di tengah segala keterbatasan dan kepahitan yang menghiasi dunia yang kecil dan marginal ini. Karim, mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang luar biasa hebat. Ia hanya memiliki tiga jari dalam keadaan tak sempurna di masing-masing kedua tangannya. Untuk menulis-pun ia menggunakan tangan kiri. Kedua tangan yang tak proposional dibandingkan dengan orang-orang di sekelilingnya. Ia, dengan segala keterbatasan dan kepercayaan diriannya, sanggup lolos di UGM lewat jalur undangan. Salut!!

Yang lebih membuatku “bangga”, ia senantiasa sanggup masuk 10 besar di SMA umum, tempat di mana semuanya adalah anak-anak normal.

Ada juga Havist, penyandang tuna daksa pada kakinya. Terharu sekali aku mendengar kisahnya. Bagaimana perjuangannya mengikuti perkuliahan di Juruan Ilmu Komputer UGM. juga keikhlasan teman-temannya yang rela menggendong Havist menaiki dan menuruni tangga. Tidak ada lift di kampusnya, karena sebagian besar gedung-gedung UGM yang memiliki lift adalah gedung yang relaitf baru. Sedangkan gedung perkuliahannya adalah gedung yang sudah berumur. Maka tak ada jalan lain selain ia harus menerima apa adanya.

Lalu aku. Setidaknya aku tak perlu mengisahkan lagi tentangku. Bukan karena aku adalah artis, atau apa.sebab aku juga bukan siapa-siapa. aku bagian dari mereka. Yang pasti, Anda mungkin sudah tahu tentangku, namun yang perlu Anda tahu adalah mereka yang selain aku. Mereka yang direhabilitasi selayaknya orang yang mengidap penyakit jiwa. Mereka yang dipasung. Mereka yang dibuang. Mereka yang ditolak sekolah ,ditolak masuk universitas, ditolak kerja karena tidak memenuhi kriteria “SEHAT JASMANI DAN ROHANI!”.

Justru, kali ini aku akan mengisahkan orang-orang hebat yang lain. Kali ini adalah Pu’is Hidayatin (Fakultas Kedokteran UGM), Rico Fernando Mulia Siregar (Filsafat UGM), dan Lee Waren Teguh Napitupulu (Tenik Kimia UGM). mereka adalah mahasiswa normal, relawan yang sanggup membuka mata dan hati nuraninya. Mereka yang turut hadir dalam acara membahas salah satu impianku, berbagi terhadap sesama. Sesuatu yang aku mulai dari lingkungan terdekatku.

Meraka adalah yang sore itu bisa membuatku tersenyum. Mereka memang tidak seperti kami, aku (tuna rungu), Karim dan Havist (tuna daksa). Mereka adalah mahasiswa yang mendapat predikat “sempurna”, meski aku sendiri seringkali sangsi akan makna kesempurnaan yang selama ini menstigma di dalam laci pikiran masyarakat. Karena aku senantiasa percaya, kesempurnaan hanya milik-Nya.

Namun, kali ini aku akan berkata mereka, Pu’is, Rico, Mas Waren, adalah orang-orang yang melebih kesempurnaan seorang manusia. mereka bergabung dengan Mas Reza Bayu V, Faizzana Izahanni, Mba Lita, Mba Qurratul A’yun Ahmada, Mbak Dania, Okky Carolina, dan beberapa nama yang tidak dapat saya sebut satu persatu. mereka, mahasiswa normal/non-difabel, yang  kini tercatat sebagai relawan organisasi komunitas yang baru aku dirikan “Forum Mahasiswa Difabel dan Partners”. Sebuah organisasi komunitas yang sejak setahun lalu aku rancang, dengan segala keterbatasan. Dan kadangkala dengan sepotong keegoisan, mengkorbankan tanggung jawab yang mesti dikerjakannya. .

Usai membaca Kompas hari ini, aku kembali berkutat dalam bayang-bayang kabut. Gerimis memang tak kunjung tiba. Tapi kali ini aku ditemani Nietzche. Yang kembali mengingatkanku pada sejarah mereka yang terpinggirkan. Akibat dari konstruksi social yang sudah kadung tercatat sebagai sejarah. sejarah telah lama mengendap dan basah. bahkan terpajang sebagai sebuah monumen sejarah. tak kalah megah dengan monas yang ganas. bahkan hingga menyeret orang sekelas Anas. ^_^

Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben. Perenungan pada kegunaan dan kergian sejarah lewat Die Geburt der Tragedie. Sejarah adalah apa yang terkonstruksi sedemikian rupa, dalam kuasa kenormalitasan. Lalu, sampai kapankah kita senantiasa berada dalam baying-bayang kenormalitasan? Mungkinkah menunggu Sangkakala mengaum dari Isrofil?

Nietzche memang –dikenal- sosok yang tak beragama. Namun bukan berarti kitidakber-agama-an senantiasa minus kebenaran. karena setiap manusia tidak ada yang sempurna. selalu asa plus-minusnya. tinggal bagaimana kita memfilternya. Dan bukan berarti, pengutipan ini aku termasuk orang tak beragama. Aku –Insya Allah- senantiasa menjaga agamaku. Sebab, malam ini aku juga berteman dengan “Cara Cepat Bisa Menghafal Al Qur’an” karangan hafidzah Wiwi Alawiyyah  W, Al Mausu’atul Qur’aniyyatul Muyyasarah-nya DR Wahbah Zhuaili (buku hadiah dari bapak), serta Kitab Bahjatunnadhar yang baru saja aku dapat dari teman.

Aku justru kepikiran, “orang beragama bukan berarti ia suci dari ketidakber-agama-an di mata-Nya?”

Yogya, 14 Oktober 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun