Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Ketika Aku Bikin dan Baca Puisi Spontan Demi sang Mawar

2 Juni 2012   03:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:30 154 0
Usai ngikutin acara Silaturahim KMP (Kelauarga Muslim Psikologi) ke KMIB (Keluarga Muslim Ilmu Budaya) saya langsung sholat maghrib di Musholla fakultas. Usai ngobrol-ngobrol sebentar bareng kawan-kawan dari KMP saya langsung berkumpul dengan teman-teman dari jurusanku, Sastra Indonesia (Sasindo).

Seperti hari sebelumnya yang aku temui, mereka membawa beberapa bunga mawar merah dan ungu, juga ada beberapa pin dan stiker. Yah, akhir-akhir ini kami sedang kelimpungan memikirkan biaya perhelatan acara “APresiasi Sastra” yang masih nombok, ^_^. Mau tak mau, kami harus melakukan berbagai upaya, termasuk menjual bunga mawar di malam hari.

Jujur, aku baru kali ini ikutan berjualan, padahal sudah sekitar tiga kali anak2 Sasindo melakukan pekerjaan ini. Memang sih, jumlah antara cowok dan cewek yang ikut berjualan nggak imbang. Alhasil, aku bareng sama Dhilla dan Puri. Kami lebih focus di beberapa rumah makan.

Saat di sebuah warung makan yang terlihat di dominasi kelas menengah ketika kami menaawarkan bunga ke kerumunan keluarga yang sedang makan malam di rumah makan tersebut -yang entah apa namanya- secara tak terduga seorang remaja meminta kami membacakan puisi sebagai syarat mereka mau beli barang jualan kami.

Kami saling desak. Namun, entahlah si Dhilla dan Puri malah menunjuk-nunjuk aku.

“Kamu kan udah terbiasa baca puisi” kataku pada Dhilla.

Namun, hampir dua menit kami saling desak tak ada titik temu. Dan mereka tetap menunjuk-nunjuk aku. Alhasil aku pun membaca puisiku yang aku buat spontan.

Jujur, aku nggak hafal sama puisi-puisi ciptaan sendiri. makanya aku buat dan baca puisi spontan. Akhirnya jadilah ssebuah puisi yang acak adut berjudul “Pada Keriuhan Kota”.

Seingatku, baru kali ini aku membaca puisi dalam keadaan seperti ini. bahkan aku jarang baca puisi di depan umum. Waduhhhh……

meski demikian, -keringatku ngucur juga lho- demi sang mawar, aku pun rela melakukannya. Demi Sasindo juga deh……


bahkan ketika aku mengetik tulisan ini, aku nggak hafal “Pada Keriuhan Kota”, nah lho??? Koplak banget kali yA??? ^_^
namun bersyukur juga, bunga mawar udah habis nggak nyampai satu jam.


“Sebentar ya. Maaf saya ini penyandang tuna rungu” kata itulah yang aku ucapkan Usai membaca “Pada Keriuhan Kota”..

barangkali, jika melihatku sekilas memang terlihat normal. Namun, saya ini tetap bangga pada diriku–lagi-lagi, bukan dlam bahasa kesombongan. So, aku tak pernah menyembunyikan identitasku, apalagi minder.

Jadi, bagaimanakah dengan Anda?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun