Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Dialog dan Toleransi Diam-diam

5 Maret 2012   22:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:27 239 0



Malam cerah bertabur bintang. Di bawah temaram cahaya purnama yang hampir sempurna, beberapa mahasiswa dengan membawa poster dan beberapa perlengkapan lainnya, berjalan menuju gedung Humanity and Social Sciences. Ya. Malam ini University of Reading kedatangan dosen muda dari University of Chicago yang akan memberikan public lecture.

Tema nya cukup provocative, “Muhammad: Oppressor or Liberator of Women?”. Ruang kuliah sudah penuh saat saya datang. Bukan hanya oleh mahasiswa muslim di University of Reading tapi juga oleh mahasiswa & mahasiswi non muslim. Bahkan ada diantara mereka yang membawa Bible sebagai tanda kesiapan untuk berdebat.

Menurut teman-teman, di University ini diskusi sudah demikian membudaya, termasuk mendiskusikan agama di ruang public sudah menjadi hal biasa. Dengan semangat menjelaskan dan bukan memaksa, setiap sebulan sekali Muslim Society di universitas ini mengadakan exhibition di lapangan untuk mengenalkan Islam atau menjelaskan Islam pada civitas akademika. Dengan membuka dialog seperti ini, mispersepsi terhadap islam bisa dijelaskan, dan hubungan antara Islam dan non islam menjadi sangat cair.

Terkadang, kita dengan alasan “khawatir tersinggung” merasa enggan untuk menyampaikan Islam kepada teman-teman kita. Toleransi berarti “diam” dalam masalah agama, tidak perlu ada yang dibicarakan karena agama dianggap “sensitif”. Padahal justru sebaliknya, toleransi harus dibangun atas dasar saling faham, karena itulah menjelaskan tentang Islam menjadi suatu keharusan untuk meminimalisir kesalahfahaman.

Mungkin kita pernah mengalami saat bertamu ke rumah teman yang bukan muslim, teman kita menyediakan makanan yang kita yakin tidak halal. Lalu kita tidak memakannya, apa yang terjadi?. Bisa jadi teman kita menjadi kikuk, dan mungkin juga tersinggung, karena kita dianggap tidak menghormati teman kita.

Kalau sejak awal kita sudah menjelaskan tentang makanan halal dimana berdasarkan agama yang kita anut kita wajib memakan makanan yang halal, maka insyaAllah orangpun akan faham dan akan menghormati kita. Sama seperti kita menghormati teman india kita yang vegetarian atau teman kita yang alergi makanan tertentu, tentu kita tidak akan memberikan mereka makanan yang tidak bisa mereka makan. Sikap saling menghormati justru lahir karena adanya saling faham dan saling faham terbentuk dengan adanya dialog.

Banyak hal tentang islam ini yang masih menimbulkan kesalahfahaman bagi sebagain orang karena kurangnya penjelasan yang benar dan memadai. Tentang konsep jihad yang disamakan dengan anarkisme dan terorisme, tentang jilbab yang dianggap symbol perbudakan, tentang sholat lima waktu yang dianggap menyebabkan waktu kerja terganggu, tentang makanan halal yang dianggap sebagai bentuk ekslusifisme, dan lain sebagainya.

Mispersepsi tentang konsep-konsep Islam boleh jadi terjadi karena ada fihak tertentu yang sengaja mebentuknya, tapi boleh jadi juga karena potret sebagian realitas yang bisa dinilai demikian. Untuk itulah dialog dan penjelasan meski dilakukan. Tidak usah malu untuk menjelaskan Islam, tidak usah takut orang lain akan tersinggung, karena justru kita ingin membangun toleransi yang benar. Toleransi yang didasarkan atas kesalingfahaman, bukan toleransi “diem-dieman”.

Malam semakin larut, meski bulan yang menggantung di langit yang tenang masih setia menemani, saya mesti akhiri tulisan ini. InsyaAllah lain waktu saya akan lanjutkan tentang isi public lecture malam ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun