Lebih dari lima belas tahun lalu saya membaca cerita Pak Janggut. Ketika saya masih sekolah dasar. Saya lupa kelas berapa saat itu. Waktu itu saya dibelikan majalah Bobo oleh paman saya. Bukan main girangnya saya. Majalah itu masih baru, artinya paman tidak membelinya di loakan. Dengan riang, segera saya baca majalah itu. Dalam dua hari majalah itu selesai saya baca. Semua tulisan di majalah itu. Tentunya tak ketinggalan cerita favorit saya: Pak Janggut.
Hingga saat ini, gambaran Pak Janggut masih melekat di kepala saya. Meski tinggal selembar bayang-bayang. Gambar yang saya masih ingat, sosok Pak Janggut: seorang tua bertubuh pendek, berbaju hijau, dan selalu memikul buntalan. Paling saya ingat lagi adalah buntalan yang dibawa Pak Janggut bisa menyemburkan air. Ajaib. Sungguh ajaib sihir Pak Janggut dalam cerita itu. Sungguh kuat Pak Janggut menyihir saya.
Tapi sayang, kegirangan oleh sihir Pak Janggut tidak berlanjut. Hanya sekali itu paman membelikan saya majalah Bobo.
Tapi saya juga tidak hendak menyalahkan orang yang membelikan saya majalah yang hanya sekali itu. Jarak rumah saya dengan kota terpaut satu jam perjalanan dengan angkutan umum dan kira-kira 40 menit dengan sepeda motor. Di tempat kami hanya di kotalah buku, majalah, dan koran dijual. Bagaimana mau berangkat ke kota tiap hari hanya untuk membeli koran?
Lagipula urusan baca membaca bukan tradisi di keluarga saya—juga banyak tetangga saya yang lain. Juga dengan membeli buku. Ini adalah hal yang sulit dilakukan ketika ketimbang membeli bumbu dapur dan kebutuhan pokok. Akhirnya saya dan teman sebaya saya hanya bermain setiap hari. Belajar di malam hari dengan buku yang terbatas. Atau dengan apa yang kami catat dari guru kami yang kadang menyebalkan itu.
Namun, dalam kondisi yang demikian, saya masih beruntung. Listrik belum masuk ke desa saya. Di dusun saya hanya ada satu televisi. Itu pun hanya satu stasiun televisi, TVRI. Jadi tidak terlalu banyak racun televisi yang merasuki kesadaran saya. Saya dan beberapa teman saya hanya menonton televisi kalau malam minggu. Kalau malas menonton TV yang acara itu-itu saja, kami akan memilih bermain petak umpet dan gobak sodor di jalanan kami yang sepi.
Itu saya dan udik saya beberapa tahun silam.
Kini, udik saya banyak berubah setelah lewat lima belas tahun. Antena televisi tegak di hampir setiap rumah. Anak-anak sekolah, terutama yang masih sekolah dasar, tidak lagi telanjang kaki ketika sekolah. Seragam sekolah mereka juga lebih bersih, tidak seperti baju sekolah saya dan teman-teman saya semasa SD: baju kami penuh noda getah karena sering dipakai ketika main. Dan, satu lagi, anak-anak sekarang sudah menenteng hape kesana- kemari. Ini adalah kemajuan. Ini adalah perubahan.
Tapi, ke manakah arah perubahan itu bagi anak-anak seusia saya ketika saya membaca Pak Janggut? Sebab, ternyata sihir Pak Janggut yang masih menempel di kepala saya kalah oleh sihir televisi. Televisi yang semakin hari semakin cantik, semakin pandai bersolek.
Memang televisi adalah kotak sihir yang lebih hebat dari buntalan yang selalu dibawa oleh Pak Janggut. Adik saya adalah salah satu dari sekian banyak anak yang tersihir oleh TV. Anda bisa bayangkan, karena sihir itu, Adik saya menari dan bernyanyi di atas meja. Dan kalau ditanya: ia mau jadi artis. Kalau tidak menyanyi dan menari di atas meja akan monolog. Ia bayangkan dirinya adalah dunia sinetron atau film yang sering ia tonton.
Dulu saya cemas, generasi kami adalah generasi yang tertinggal. Tapi, sekarang saya juga cemas melihat dunia adik saya yang melompat jauh dari zaman saya. Saya cemas sebab ada yang hilang dan dihilangkan dari dunia anak-anak. Ada yang kini tidak utuh dalam kehidupan anak-anak sekarang. Atau barangkali memang sejak dulu tidak pernah utuh?
Pak Janggut. Ah, barangkali ia sekarang sudah menenteng laptop, tidak lagi memanggul buntalan. Ia tidak lagi memakai baju hijaunya, tapi jas dasi dan sepatu. Wajahnya yang dulu seperti hutan itu kini telanjang, klimis.
Ah, zaman memang selalu menuntut perubahan.