Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

#BlogShopN5M: Antara Inspirasi, Debar, dan Gelak Tawa

2 April 2012   02:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:09 415 3
[caption id="" align="aligncenter" width="538" caption="Kawan-Kawan Kompasianers Makassar (Sumber: Puspita Zain)"][/caption] Blogging Workshop. Sebuah kegiatan yang sama ku ikuti hampir setahun lalu di kota yang sama: Makassar. Penyelenggara kegiatannya pun sama: Kompasiana. Kupikir, ini kegiatan dengan pengulangan materi yang sama persis. Tapi, ada hal yang membuat saya tertarik untuk bergabung kembali dengan kawan-kawan Kompasianer kota Daeng. Apa kilah? Acara ini hanya diselenggarakan di tiga kota di Indonesia: Bandung, Surabaya, dan Makassar.

Kelancaran dan kesuksesan kegiatan, pastilah diidak-idamkan oleh iB, Bank Indonesia Makassar, dan Kompasiana. Nah, oleh karenanya, kegiatan ini diberi nama ‘iB BlogShop Kompasiana’. Sehingga, persiapan yang maksimal termasuk konten materi BlogShop (Blogging Workshop) telah di-design sedemikian rupa agar peserta nantinya dapat belajar banyak dari event tahunan tersebut. Betul saja: keputusan ikut kembali BlogShop tidak kusesali sama sekali. Semua begitu berbeda.

Dukungan utama kegiatan diberikan oleh iB (Islamic Banking Perbankan Syariah). Walaupun demikian, ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya ucapkan untuk para penyelenggara BlogShopN5M. Pembicara Blogshop kali ini dihadiri oleh Mas Iskandar Zulkarnain (tetap cool dan santai seperti biasa), dan Kang Pepih Nugraha ( kulitnya terlihat lebih putih dan lebih atletis) yang juga membawakan materi BlogShop setahun lalu.

Oleh sebab, iB Bank yang mensponsori kegiatan “akbar” ini, dan karena alasan materi blogging yang tidak jauh-jauh dari dunia tulis menulis, maka Ahmad Fuadi didatangkan khusus memberikan sharing pengalamannya menulis novel based on true story Negeri 5 Menara yang filmnya memang disponsori oleh iB (Islamic Banking Perbankan Syariah).

Banyak kejutan: Master of Ceremony menyeruakkan debar-debar di awal acara. Jelas, kita belum tahu siapa tuan si pemilik debar-debar itu. Tiga lomba yang dipersiapkan khusus untuk acara BlogShop N5M di tiga kota. Pertama, Lomba Live Tweet. Hadiahnya bukan mainan: tapi sangat bisa dipakai untuk main game berjam-jam: Samsung Galaxy Y. Kedua, Lomba Reportase Event. Hadiahnya untuk tiga tulisan reportase terbaik: masing-masing akan mendapatkan Samsung Galaxy Y. Ketiga, Lomba Review Film Negeri 5 Menara. Hadiahnya: Samsung Galaxy note, iPad 2, dan Sony Experia. Wow…

Ruangan lantai empat, di Bank Indonesia Jl. Jenderal Soedriman No. 3A Makassar, sontak menjadi gaduh. Sekitar 170 orang Kompasianer sudah mulai memasang strategi ampuh untuk merebut ‘mainan luar biasa’ tadi. MC-nya cukup kocak juga dengan narsisme yang terindikasi ‘akut.’

Haha…seketika, debar itu timbul menghilang.

Saya harus Ikut” pungkasku dalam hati.

Tidak akan ada pengulangan yang sia-sia, kecuali ada hal dan pelajaran baru yang bisa kita petik.

Seperti itulah kira-kira yang saya alami Sabtu lalu. Sesuatu yang sungguh tidak terduga. Mas Iskandar Zulkarnaen menyajikan kelanjutan materi Citizen Journalism dari apa yang dijelaskan setahun lalu. Materi itu mengenai bagaimana sebenarnya proses menulis yang kreatif dari awal hingga akhir. Juga konten-konten kreatif yang mesti ada dalam tulisan ketika blogging. Atau dalam bahasa kerennya: Creative Writing. Hem….Dari segi penamaan judul dan bayangan saya tentang teorinya, rasa-rasanya masih terkesan angker. Meskipun kata ‘creative’ sudah melekat.

Oleh mas yang bertindak sebagai Community Editor kompas.com ini, digubahlah –hehe…kayak puisi- nama judul dan penyajian materinya dengan judul yang lebih baru –just outside from the box- dan fresh: Bukan Tulisan Apa Adanya. Bagitulah Mas Iskandarjet berusaha membuat kami terkagum sekaligus takjub. Begitu menarik untuk disimak hingga akhir. Saya merasa hidup di zaman renaissance. Mencerahkan. Hehe…

Semua Tulisan adalah Tentang Detail Kehidupan

Kang Pepih mecoba mambaurkan kami dengan teknik penulisan “Naratif” itu sendiri. Mulai dari mengatur plot, karakter, setting, dan tema. Dan hebatnya, panduan yang beliau berikan adalah panduan untuk menulis apa saja. Entah itu artikel ilmiah maupun menulis feature news, dan lain sebagainya.

Satu kata untuk materi Kang Pepih Nugraha: awesome. Siapa yang nggak kenal dengan Kang Pepih. Di media sosial facebook, ada grup terbuka bernama ‘Nulis bareng Pepih’. Nyaris hampir setiap hari ada saja postingan yang membuat saya, dan kawan-kawan yang nyantol di grup itu menjadi lebih paham dan percaya diri dengan kemampuan menulis mereka. Hal-hal yang sebetulnya sangat sederhana. Sama sekali tidak ada kesan menggurui.

Menulis itu, adalah semua tentang detail kehidupan.” begitu Kang Pepih menukas agak lirih tapi menghunjam dalam hati.

Kita menulis laiknya meng-over percakapan kita ke dalam tulisan. Jika kita memang memiliki kemampuan komunikasi dan riwayat hubungan intrapersonal yang baik dengan seseorang, insya Allah menulis itu mewujud mudah dengan sendirinya. Hanya perlu banyak latihan, latihan, dan latihan. Seorang guru besar di kampus saya pernah berujar “latihan menulis adalah menulis itu sendiri.”Setelah beberapa waktu berceritera, saya dan mungkin juga semua hadirin mengetahui fakta yang baru saja tersingkap: Kang Pepih tahu banyak tentang Makassar. “Ini kampung saya yang kedua.” ungkapnya.

Entah sudah berapa objek di kota Daeng yang telah direkam melalui penanya. Kami yang hadir semua terpana. Pernah berinteraksi secara intens dengan Ula Lagosi, seorang Profesor Linguistik di Universitas Hasanuddin. Tidak berhenti sampai di situ. Beliau juga telah menggarap tulisan mengenai Anci Laricci, tentang Iwan Tompo, dan tentang sinriliknya Arsyad Artado yang notabene hanya seorang pengamen jalanan di pinggir Pantai Losari ketika itu. Wow...Sekali lagi, menulis adalah berbicara tentang kehidupan. Kehidupan siapa saja, yang jelas itu memberi manfaat bagi diri kita dan bisa memengaruhi orang lain secara positif. Very-very impressif.

Kang Pepih meminta bantuan untuk lebih mengakrabkan kami dengan deskripsi dan narasi. Dua orang kompasianer menjadi volunteer, lalu naik, kemudian mendampingi Kang Pepih Nugraha. Namanya Imam Rahmanto dan Adlin. Saya kebetulan tahu keduanya. Sama-sama seorang jurnalis di media kampus masing-masing. Nyatanya, menulis –seperti kata Kang Pepih Nugraha- yang menjadi ‘suara hati’ tidak semudah apa yang kita bayangkan.

Dengan sesekali gelak tawa dari seluruh peserta, keduanya bergantian mengungkapkan deskripsi tentang sebuah objek yang pernah mereka lalui. Pengalaman Imam Rahmanto yang baru pertama kali ke Bandara Internasional Sultan Hasanuddin dengan kejanggalan Patung Sultan Hasanuddin-nya, kemudian Adlin dengan pengalaman diving di Pulau Padewakang di Kepulauan Spermonde, Kabupaten Selayar. Cerita mereka sangat seru bagi kami. Sang admin Kompasiana itu mengakhiri dengan beberapa saran dan perbaikan. Nah, sekarang saatnya: let’s write, guys…

Tertawa Sebelum Menulis

Pembaca acara juga tidak kalah serunya. Tingkah polah yang menurut saya lumayan unik. Dengan mengenakan setelan kemeja putih bersih bermotif batik di ujung lengan dan celana model khaki, menyelipkan games untuk para peserta sebelum acara dimulai dan ketika waktu istirahat tiba. Pokoknya, kami semua tergelak.

Seru-seruan itu muncul ketika para peserta games sudah mulai kepayahan dan saling menertawakan diri masing-masing. Salah satunya adalah permainan berhitung dengan kelipatan dan kombinasinya angka 7 (tujuh). Setiap menemukan angka 7, peserta harus mengganti angka 7 tersebut dengan kata ‘iB.’ Permainan yang sederhana, tapi butuh kesiapan dan fokus.

Permainan kedua: “Aku kau inie?” Games ini lebih kocak dan ancur abis dari yang pertama. Namanya saja sudah lucu.. Sebuah pisang diambil dari salah satu boks makan siang. “Harus diperagakan sesuai dengan apa kita menamainya” kata MC menginstruksikan permainan. Nah, oleh peserta games, menjelmalah pisang itu dengan korek telinga, sapu lidi, deodorant, sabun mandi, dan benda-benda aneh bin ajaib lainnya.

Haha...nggak ada matinya. Tapi, semua ada kompensasinya. Hadiah hiburan berupa beberapa tiket nonton film Negeri 5 Menara dan bingkisan dari iB (Islamic Banking Perbankan Syariah).

Negeri 5 Menara: Inspirasi Dari Pengalaman Nyata

Menulis itu: harus di-combine dengan membaca. “Kalau mau menulis, yah, mestinya membaca dulu, riset dulu, observasi dulu, lalu kemudian baru melakukan wawancara,” Ahmad Fuadi menegaskan. “Sehingga kesannya kita tahu banyak tentang persoalan tersebut dan pertanyaan yang kita ajukan itu mendalam karena telah melalui proses kognitif dan analisis yang baik.” lanjut pria berkacamata ini dengan lugas.

Begitu kata Ahmad Fuadi. Pengalaman menulis terbesarnya, beliau peroleh ketika masih menjadi wartawan majalah Tempo. Seakan-akan hal tersebut sudah merupakan prosedur tetap dari seorang Ahmad Fuadi untuk memulai menulis. Dan hal tersebut: bisa diterapkan sebagai prinsip menulis apa saja. Termasuk proses kreatif penulisan buku.

Saya bisa membaui ruangan kelas, mengingat kembali siapa yang bolos, dan siapa yang main-main” tukas mantan jurnalis VoA Indonesia ini dengan suara yang sedikit tergetar. Sekilas, pernyataan penulis membisikkan wangsit proses ‘Menulis Kreatif’ di hadapan seluruh Kompasianer: bahwa menulis harus tahu apa yang mesti di tulis.

“Buku ini ditulis dari hati, makanya sampainya juga ke hati.” ungkap Ahmad Fuadi.

khairunnaas tanfa’uhum linnas”. Ahmad Fuadi memberikan alasan terbaiknya untuk memulai proses kreatfinya menulis novel Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna. Apa itu? Ada dalam maksud dari hadits Nabi Muhammad yang disitir di atas: sebaik-baik manusia adalah, manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Ini yang menjadi motivasi terbesarnya dalam menulis. Apalagi menulis yang based on true story. Ahmad Fuadi bercerita tentang kemandekannya menulis, akan tetapi, setiap rasa malas itu muncul, selalu yang diingat adalah prinsip kebermanfaatan itu tadi.

Pada dasarnya kita semua bisa menulis buku. Penulis mengisahkan, buku Negeri 5 Menara hanya ditulis dalam waktu satu setengah tahun. Seperti kita lihat sendiri, buku ini ngefek.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun