Sebagai salah satu wilayah dengan tradisi keagamaan yang sangat kental, Kediri memiliki banyak pondok pesantren dan ulama-ulama karismatik yang berpengaruh besar di masyarakat. Maka tidak mengherankan jika setiap pasangan calon berlomba-lomba untuk mendapatkan restu dari mereka.
Namun, persaingan kali ini tidak hanya terbatas pada kandidat, tetapi juga melibatkan NU sebagai organisasi yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik. Sejak dulu, NU sering kali menjadi rebutan dalam kontestasi politik karena warganya yang solid dan memiliki keterikatan emosional dengan ulama setempat. NU, baik secara kelembagaan maupun personal, sering menjadi faktor penentu kemenangan di berbagai daerah.
Pada Pilkada kali ini, muncul dua pasangan calon yang sama-sama berusaha mengamankan dukungan dari NU dan ulama besar di Kediri. Pasangan nomor 1, Deny Widyanarko dan Mudawamah, cenderung menggunakan strategi struktural dengan mengandalkan kekuatan MWCNU (Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama) di tingkat kecamatan. Deny Widyanarko, yang berupaya memanfaatkan struktur NU, tampak mengambil jalan yang lebih formal.
Namun, pendekatan ini memiliki kelemahan jika kita merujuk pada instruksi Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, yang secara tegas melarang penggunaan nama lembaga NU untuk kepentingan politik praktis. Apabila ini tidak dikendalikan dengan baik, bukan tidak mungkin akan muncul resistensi dari warga NU yang merasa bahwa lembaga mereka dieksploitasi untuk kepentingan tertentu.
Meski terjadi deklarasi MWCNU di beberapa titik kepada Deny, tapi kenyataannya yang terjadi justru ulama-ulama besar di Kabupaten Kediri ini merapatkan barisan untuk mendukung pasangan nomor urut 2 Hanindhito Himawan Pramana - Dewi Mariya Ulfa. Sederet Gawagis seperti Gus Kautsar Ploso, Gus Mahu, Gus Muhdzor bahkan sampai Nyai besar Pondok Al Badrul Falah, Nyai Lailatul Badriyah memberikan dukungannya kepada pasangan incumbent ini.
Nama - nama itu, bukan hanya dihormati di Kediri, tetapi juga secara nasional. Dukungan dari tokoh-tokoh ini memiliki kekuatan spiritual yang lebih mendalam dan biasanya lebih sulit untuk ditolak oleh para simpatisan. Sebagai sosok yang dekat dengan pesantren dan ulama, Dhito mendapatkan restu dari figur yang memiliki kharisma dan pengaruh luas, baik secara moral maupun sosial. Ini bukan hanya memberikan kepercayaan diri yang besar, tetapi juga menjadi legitimasi bahwa pasangan ini didukung oleh moralitas dan integritas keagamaan yang kuat.
Jika dianalisa, pasangan Dhito - Dewi memiliki keunggulan dalam hal dukungan moral dan spiritual. Dukungan dari ulama-ulama besar yang memiliki pengaruh besar di masyarakat Kediri memberikan mereka legitimasi yang kuat di mata para pemilih yang menghargai aspek keagamaan. Selain itu, Dhito sebagai tokoh muda yang inovatif dapat menarik perhatian pemilih milenial yang semakin terlibat dalam politik lokal. Kekuatan kultural yang mereka bawa menjadi modal penting dalam Pilkada kali ini.
Dukungan dari tokoh seperti Gus Kautsar Ploso bukan hanya memberikan angin segar bagi Dhito - Dewi, tetapi juga memperlihatkan bahwa pasangan ini didukung oleh tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak panjang dalam mempengaruhi peta politik dan keagamaan di Kediri. Dengan basis massa yang solid dan akar kultural yang dalam, peluang Dhito - Dewi untuk menang cukup besar, terutama jika mereka mampu menjaga narasi bahwa dukungan yang mereka terima murni berasal dari pilihan pribadi ulama besar, tanpa membawa-bawa nama lembaga NU secara resmi.
Hal ini terjadi karena memang kedekatan antara Dhito dan Ulama besar sudah terjadi sejak lama. Kepada Nyai Badriyah dan Gus Kautsar, misalnya. Dhito dan dua sosok tersebut sering terlihat berdiskusi bukan hanya soal keagamaan. Namun juga mengenai kebijakan-kebijakan strategis. Nyai Badriyah mengatakan bahwa Dhito punya kinerja yang bagus. Salah satu alasan Nyai Bad mendukung Dhito - Dewi adalah keberhasilan pembangunan Jembatan Ngadi yang telah lama putus.
Sedangkan Gus Kautsar, juga menilai bahwa program-program yang diusung oleh Dhito harus diberikan waktu yang lebih lama untuk keberlanjutan Kabupaten Kediri. Prinsip tersebut yang pernah diutarakan Gus Kautsar saat Silaturahmi Masyayikh dan Gawagis se Kabupaten Kediri bersama Dhito beberapa waktu yang lalu.
Pilkada Kabupaten Kediri 2024 menyajikan pertarungan politik yang tidak hanya berkutat pada figur kandidat, tetapi juga menyentuh ranah keagamaan yang sangat penting di wilayah ini. Dengan dukungan dari ulama-ulama besar NU, pasangan Dhito - Dewi memiliki keunggulan moral dan spiritual yang kuat.
Pada akhirnya, masyarakat Kediri dihadapkan pada pilihan yang menarik: mengikuti figur ulama besar yang telah lama dihormati, atau memilih berdasarkan struktur organisasi yang juga memiliki kedekatan dengan NU namun juga dilarang keras oleh Ketua Umum PBNU. Yang jelas, Pilkada ini bukan hanya tentang siapa yang memimpin Kediri, tetapi juga tentang bagaimana peran agama dan tokoh keagamaan terus memainkan peran penting dalam politik lokal.