Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Inilah Sebab Hebohnya Pilpres 2014

2 Juli 2014   14:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:51 240 0
Saya yakin banyak masyarakat terutama yang aktif di dunia social media bertanya kenapa Pilpres 2014 begitu heboh. Pilpres sebelumnya nggak seperti ini. Saya juga tanya diri sendiri, terutama karena hebohnya itu bersifat negatif, nggak menyenangkan.

Pilpres semestinya disambut dengan antusias dan suka cita oleh rakyat. Pilpres seharusnya jadi momentum bagi evaluasi program pemerintah sebelumnya dan tawaran program dari capres yang bersaing untuk menawarkan program peningkatan kinerja bagi program yang sudah berjalan baik atau solusi bagi masalah yang tidak terjangkau oleh program pemerintah sebelumnya. Namun, berbagai status di social media menunjukkan bagaimana pilpres kali ini jadi lebih sering dijadikan ajang menebar kebencian dan kecurigaan tak beralasan.

Selain karena belum dewasanya sebagian masyarakat dalam mengakses dan menyebarkan informasi dari dan melalui social media, hal utama yang membuat pilpres 2014 ini begitu heboh adalah... PANIKNYA PARTAI-PARTAI POLITIK.

Kenapa partai-partai politik panik?

Penyebab utama kepanikan partai-partai politik adalah karena Jokowi sebagai capres potensial (ditunjukkan dengan tingginya elektabilitasnya di berbagai survey sebelum ia bahkan secara resmi dicalonkan oleh PDI-P), menolak untuk koalisi demi bagi-bagi kursi menteri. Kesimpulan saya ini saya dasari pada argumentasi di bawah ini.

Praktik politik di negara kita tercinta ini sangat diwarnai dengan politik 'dagang sapi'. Sejak zaman reformasi kita dapat telusuri bagaimana praktik ini berlangsung. Sehingga, sangat wajar jika kata "koalisi" di dunia politik Indonesia sangat kabur. Koalisi seharusnya didasari atas kesamaan platform partai. Maka, ada koalisi partai yang berkuasa di pemerintahan dan ada koalisi oposisi. Peranan dari partai koalisi berkuasa adalah mengeluarkan undang-undang dan peraturan yang mendukung terlaksananya program kerja pemerintahan koalisi mereka yang berkuasa. Sedangkan, koalisi oposisi akan mengontrol undang-undang dan peraturan yang diajukan oleh koalisi berkuasa serta mengawasi jalannya pemerintahan.

Dan kita bisa lihat, partai-partai Islam berkoalisi dengan partai-partai nasionalis. Kalau memiliki platform yang berbeda, kenapa berkoalisi? Kalau perbedaan platform bukan hambatan ideologis untuk koalisi maka saya berkesimpulan bahwa tujuan partai dibentuk bukanlah untuk memenangkan ideologi mereka, melainkan untuk kekuasaan yang demi mendapatkannya, ideologi partai dijual.

Hal itu membuktikan, koalisi partai di Indonesia bukanlah karena kesamaan platform partai, melainkan lebih pada politik 'dagang sapi' yaitu partai menjanjikan suara bagi capres yang didukung, jika capres tersebut terpilih maka partai tersebut mendapatkan jatah menteri. Yang terjadi kemudian adalah... pos-pos menteri di Indonesia dikuasai oleh orang-orang partai politik. Bobroknya, menteri-menteri tersebut berpotensi menjadi mesin-mesin ATM bagi partainya. Beberapa petinggi partai yang menjabat sebagai menteri telah terlibat kasus-kasus korupsi.

Kesimpulannya... praktik politik 'dagang sapi' dalam bentuk bagi-bagi kursi menteri di kabinet adalah salah satu penghambat utama berjalannya pemerintahan yang efektif dan efisien. Dengan begini, stakeholder utama pemerintah adalah partai politik, bukan rakyat.

Praktik inilah yang ingin dihilangkan oleh Jokowi. Ia tidak ingin efektifitas dan efisiensi pemerintahannya jika terpilih sebagai presiden akan terganggu oleh koalisi partai. Karena itu, setelah resmi dicalonkan menjadi capres dari PDI-P, ia mengajukan satu syarat bagi partai yang merapat untuk berkoalisi, yaitu.... Koalisi Tanpa Syarat, atau... bersedia untuk tidak mendapat jatah kursi menteri di kabinet.

Dengan tingkat elektabilitas yang tinggi, Jokowi awalnya didekati oleh partai-partai politik yang kini mendukung Prabowo. PAN sejak Desember 2013 telah mendekati PDI-P dan Jokowi (link berita). PKS lewat Anis Mata menyatakan bahwa Koalisi Merah Putih PDIP-PKS itu indah (link berita). Bahkan PKS pernah menunjukkan keinginan untuk mengajukan Aher, yang sedang menjabat Gubernur Jawa Barat, untuk menjadi cawapres Jokowi (link berita). Abu Rizal Bakrie juga wara-wiri mendekati PDI-P untuk koalisi (link berita). Demikian juga, yang setelah ribut di internal partai, PPP mendekat ke Jokowi (link berita).

Tapi kemudian, keinginan Jokowi untuk membentuk koalisi ramping dan tidak bagi-bagi kursi membuat partai-partai politik sempat galau (cieee "galau", kayak ABG aja). Amien Rais secara terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya terhadap PDI-P yang ingin membentuk koalisi ramping (link berita). Fahri Hamzah bahkan secara terbuka menyatakan, "Dia (Jokowi) enggak ngerti multipartai, enak saja enggak mau bagi-bagi kekuasaan." Sedangkan Golkar dan PPP akhirnya turut merapat ke Gerindra. Golkar lewat Fadel Muhammad menyebutkan bahwa Golkar mendapat janji jatah kursi menteri dari Gerindra.

Lalu, apa hubungan antara paniknya partai-partai tersebut dengan hebohnya pilpres 2014?

Hebohnya pilpres 2014 lebih karena banyaknya black campaign yang menyerang pribadi capres. Ketidakdewasaan sebagian masyarakat dalam mengakses dan menyebarkan informasi turut menjadi pemicunya. Tapi, pernahkah kita bertanya, bagaimana black campaign itu diawali?

Dari sisi sumber informasi, black campaign itu ada dua.

Pertama, black campaign yang awalnya bersumber dari fakta yang disampaikan oleh media informasi tapi kemudian diarahkan pada kesimpulan negatif dan dibesar-besarkan. Contohnya, isu yang menyerang Prabowo terkait tunggakan gaji karyawan PT. Kertas Nusantara miliki Prabowo. Padahal, kepengurusan perusahaan tidak dipegang oleh Prabowo, mengaitkannya dengan tunggakan gaji menurut saya berlebihan.

Sedangkan, isu utama yang menyerang Jokowi terkait sumpah jabatan sehingga ia dianggap tidak amanah. Padahal dalam sumpah jabatan tidak satupun terdapat kalimat dimana Jokowi berjanji akan bertahan menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga masa bakti 5 tahun (video pelantikan Jokowi-Ahok). Selain itu, isu ini terdengar sangat lucu mengingat PKS, sebagai partai pendukung Prabowo. juga menawarkan Aher yang masih menjabat Gubernur Jawa Barat untuk menjadi cawapres. Pertama, PKS menawarkan nama Aher pada PDI-P, namun setelah gagal berkoalisi dengan PDI-P, PKS menawarkan nama Aher pada Prabowo.

Black campaign seperti di atas, yang awalnya bersumber dari fakta tapi diarahkan pada kesimpulan negatif, bagi saya, sangat mungkin muncul karena sikap berlebihan masyarakat dalam mendukung capres pilihan mereka. Ini lebih berupa sikap reaktif masyarakat dalam menyerap informasi dan menyampaikannya kembali .

Kedua, black campaign yang dilakukan secara sistematis. Tandanya adalah, black campaign ini sama sekali tidak berdasar fakta. Jadi, materinya diproduksi dan disebarkan secara sistematis.

Ok, kemudian dimana hubungan antara paniknya partai politik dan black campaign yang dilakukan secara sistematis?

Untuk tidak mengatakan tidak ada, saya belum dapatkan black campaign yang secara sistematis menyerang Prabowo. Sebaliknya, begitu banyak black campaign sistematis yang menyerang Jokowi. Di bawah ini hanya beberapa yang saya ambil untuk contoh:


  1. Jokowi antek Amerika dan Zionis
  2. Jokowi beragama Kristen
  3. Jokowi keturunan Cina
  4. Ibu Jokowi beragama Kristen
  5. Ibu Jokowi adalah tokoh PKI
  6. Jokowi membawa kepentingan Syiah
  7. Jokowi terlibat kasus korupsi Trans Jakarta
  8. Transkrip pembicaraan Megawati dan Jaksa Agung untuk melindungi Jokowi dari jeratan kasus korupsi
  9. Revolusi Mental adalah bukti bahwa Jokowi akan menghidupkan Komunisme
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun