Mohon tunggu...
KOMENTAR
Book Pilihan

Memahami Anatomi Emosi Membantu Pulih Secara Psikologi

4 Mei 2023   10:40 Diperbarui: 4 Mei 2023   10:41 405 2

Akhir-akhir ini, pembicaraan tentang mental health sangat populer. Itu berati bagus. menandakan sebuah kemajuan kesadaran manusia terhadap pengalaman-pengalaman yang dilaluinya. Manusia modern yang menjadi lebih sadar. Lagipula, pengalaman itu unik dan personal. Meski kamu menceritakan sebegitu antusias atau terpuruknya dirimu pada orang lain, orang yang belum mengalami tidak akan pernah mengerti. Orang yang mendengarkan di sampingmu, hanya berusaha untuk hadir dengan simpati dan empati.

Pengalaman sehari-hari sejak dini membantu kita mempersepsi dunia. Kata yang kita gunakan untuk menggambarkan sesuatu adalah contohnya. Tapi, ada kalanya, bahkan sering kali, kita menjumpai pengalaman pertama pada berbagai hal: pengalaman pertama ditinggalkan seseorang yang berharga, pengalaman mendapat apa yang kita inginkan, pengalaman menjadi seorang remaja, pengalaman menulis, pengalaman menginjak usia dewasa, dan lainnya.

Karena kita baru masuk pada pintu pengalaman 'pertama kali', kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Khawatiran dan ketakutan muncul sebagai respon. Bila pengalaman itu tidak memberikan kita kepuasan, akhirnya kita melabeli pengalaman itu 'buruk', 'begitu mengerikan'. Akibatnya, kita meyakini bila kita mengalami hal yang sama, itu akan buruk. Ini cukup berbahaya bila "dimiliki" selama bertahun-tahun.

Pikiran tentang "mengapa aku begitu bodoh di hadapan teman-teman, kenapa aku susah mendapatkan teman, kenapa susah sekali untuk konsisten dalam kebaikan" misalnya, akan memberikan persepsi rendah pada diri sendiri. Dan itu bisa menghambat pertumbuhan kita secara mental, sosial, dan personal.

Beragamnya emosi manusia yang hadir pada manusia menunjukan bahwa mereka (emosi-emosi itu) punya tujuan. Memahami setiap tujuan dari mereka adalah kunci yang coba dikatakan David R. Hawkins dalam bukunya Letting Go.

Letting Go sebetulnya merupakan cara kita untuk melakukan mekanisme pasrah pada emosi negatif. Emosi negatif yang kita rasakan harus diterima kehadirannya, tidak boleh ditolak, lalu ditransendensikan agar mencapai emosi positif yang lebih tinggi. Dengan cara dipasrahkan selama

Hawkins dalam bukunya memberikan peta kesadaran. Kesadaran itu dibagi dua bagian berupa bagian force (kesadaran dan emosi negatif) dan power (kesadaran dan emosi positif). Pada hakikatnya setiap emosi punya vibrasi yang memancarkan energi.

Bagi Hawkins, ini masuk akal, sebab saat misalnya kita berada di antara orang-orang yang positif, mereka yang penuh cinta, damai, bersyukur, kita akan terbawa pada perasaan tertentu dan puas. Saat kita sedang terpuruk lalu ada orang dengan tulus memberi kita senyum, kita akan senang. Itulah energi dalam anatomi kesadaran Hawkins.

Sebaliknya, saat kita berada dalam level energi netral atau positif, tapi lingkungan kita penuh dengan energi negatif, pada akhirnya kita akan merasa lelah dan sendiri sebab, dalam pandangan Hawkins, mereka adalah orang-orang yang mengambil energi dari kita. Betulkan, saat kita sedang ceria tapi tiba-tiba bertemu orang-orang yang jutek atau kesal, kadang kita jadi ikut kesal.

Setiap pengalaman bersifat netral. Interpretasi dan proyeksi kita pada pengalaman itu yang menjadikan kesan positif dan negatif. Respon atas pengalaman juga memberi tahu kita tentang tingkatan emosi ini.

Misalnya, saat kita sedang mengendari motor di jalan, saat mau belok ke suatu tempat, tiba-tiba ada pengendara lainnya yang terus jalan sehingga ia tertabrak. Sekenarionya, orang yang ditabrak baik-baik saja tapi ada bagian motornya yang rusak.

Tentu ini pengalaman baru, respon kita pada peristiwa itu akan menentukan kita berada pada level emosi apa. Kita bahas dari level paling bawah:

Malu:
"Aduh! Malu banget sih, dasar aku nggak bisa liat ada orang yang lewat. Aku harus gimana. Aku tidak bisa naik motor lagi. Aku nggak bisa motoran di tempat rame."

Rasa Bersalah: "Dasar aku, ini memang harus banget nabrak orang gitu. Harusnya tadi liat orang dulu dan sabar sebelum belok"

Apati: "Aku memang pantas menghadapi kecelakaan ini. Aku nggak berguna. Aku nggak mau melibatkan diriku ke Rumah Sakit, prosedurnya lama! Orang ini juga sepertinya baik-baik saja, oh motornya sedikit penyok. Itu juga salah dirinya tidak sabar"

Dukacita: "Aku harus bagaimana? motorku rusak. Diperbaiki akan makan banyak biaya. Aduh, ada asuransinya nggak ya? Uangku bakal habis!"

Ketakutan: "Dia pasti akan marahi aku habis-habisan. Aku harus bagaimana?"

Hasrat: "Jika aku merasa korban juga, dia tidak akan menuntut minta ganti rugi. Sebaliknya, aku juga harus terlihat lebih menderita karena dia yang salah"

Amarah: "Eh! Ngendarain motor tu liat-liat dong lu! Pake mata! Jangan tiba-tiba main masuk aja. Emang ini jalan punya lo?"

Kebanggaan: "Bodoh banget sih lo! Oh Tuhan. Kenapa aku harus berusan dengan orang-orang yang nggak tahu cara memakai jalan umum!"

Keberanian: "Oh, aku telah melakukan kesalahan. Semoga kita baik-baik saja. Ini sulit, tapi mudah-mudahan bisa dibicarakan dengan baik-baik. Kita sama-sama mendapat ketidakuntungan."

Kenetralan: "Hal seperti ini biasa terjadi, meski aku tidak mengharapkan terjadi padaku. Baiklah kita coba berbicara baik-baik, semoga dia baik-baik saja."

Kesediaan: "Aku dalam keadaan sulit, tapi bagaimana agar ia tidak mengalamai kesulitan yang sama. Bagaimana aku membantu menenangkan orang itu?"

Penerimaan: "Ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Untung saja hanya motor yang rusak, itu pun cuma beberapa bagian. Alhamdulillah, tidak ada kecelakaan serius"

Penalaraan: "Apa cara paling cepat dan efisien agar insiden ini dapat dieselaikan secara baik-baik oleh kedua belah pihak?"

Cinta: "Semoga dirinya tidak merasakan penyesalan atas apa yang dilakukannya. Aku harus mencoba untuk menenangkan emosinya yang sedang kacau. "Tenang saja, Ka, kamu tidak apa-apa?"

Kedamaian: "Ya, tengan saja, lagipula ini tidak sengaja, kan? Siapa yang mau mencelakakan diri sendiri di jalan raya seperti ini? Aku akan membantumu ke bengkel terdekat.

Ya, level-level kesadaran memberikan respon berbeda pada suatu peristiwa. Tugas kita melatih diri untuk selalu berada pada level positif dan sebisa mungkin untuk melakukan mekanisme pelapasan. Keberanian adalah level tengah.

Singkatnya, buku ini sangat bagus untuk memberikan pemahaman kepada kita tentang emosi sehari-hari. Namun, kekuranganya, mungkin tidak semua orang akan langsung paham. Pengajaran di sini diambil dari filosofi Buddhisme dengan hasil pengalaman Hawksin sebagai pekerja klinis bidang psikologi.  

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun