Menyibak perpustakaan Ali Hasjmy, terdapat berbagai koleksi yang menuntun dan menunjukkan cerminan tingginya produktifitas karya sastra Aceh di masa lalu. Nama-nama yang tidak lekang dikutip oleh para penulis terkait sastra Aceh secara repetitif tersebutlah: Hamzah Fanshuri, Nuruddin Arraniry, Chik Pante Kulu, Syekh Abdurrauf al Singkili dan lainnya tersebut adalah skala awal dalam menyatakan peran kesusastraan sebelum abad ke-19. Refleksi kehadiran para penyair yang sekaligus ulama tersebut menghadapkan kepada peran sastra sekaligus berkait erat dengan peran agama Islam dalam mengharungi dunia kesusastraan dunia.
Selanjutnya, Aceh memasuki pemisahan antara sastra dan agama, terutama dari sisi pemerannya sendiri, artinya pergeseran antara penyair yang sekaligus ulama serta sebaliknya mulai terjadi. Sastra Aceh lalu dihadapkan kepada kekhususan dan sekaligus kemandirian. Ali Hasjmy yang merupakan salah satu tokoh pemeran dalam kesusastraan pada awal-awal kemerdekaan berkesempatan menelusuri berbagai rupa wajah baru sastra Aceh di masanya, meskipun bukan tokoh sentral, pada masa tumbuhnya keberlanjutan kiprah penyair Aceh mencipta karya sastra, perbenturan antara sastra dan agama semakin meruncing, namun tingkatan penulisan sastra itu sendiri mengalami perbedaan yang sangat transparan terutama dari penggunaan bahasa.
Dijabarkan secara luas dalam beberapa tulisan Ali Hasjmy bahwa pemakaian bahasa pada masa Kerajaan Islam Aceh terdapat tiga variasi, sesuai penggunaannya. Bahasa Arab pada masa itu sebagai bahasa ilmu pengetahuan, bahasa Melayu sebagai bahasa pemerintahan kerajaan sedangkan bahasa Aceh itu sendiri digunakan sebagai bahasa komunikasi lintas masyarakat.