Perkembangan politik amatlah cepat dan mengagetkan. Bahkan terkadang cukup mengerikan. Jokowi yang kini merupakan presiden RI misalnya. Ia adalah kejutan tersendiri di tengah konstelasi politik indonesia yang (masih) dikuasai para oligarki sisa-sisa orde baru. Ini adalah kejutan terbaik yang pernah ada. Karena jokowi berhasil masuk menjadi tokoh nasional baru. Menggantikan tokoh-tokoh lama yang telah lama berkiprah di perpolitikan nasional. Dan dikarenakan ia adalah tokoh baru, otomatis massa pun berharap banyak padanya. Dukungan rakyat atas jokowi pun (awalnya) real. Nyata. Meskipun belakangan dukungan kepadanya berubah menjadi dukungan siluman. Tetapi untungnya, ia diselamatkan oleh rekam jejaknya yang bersih dari dosa politik. Sejak lahir ia memang bukan orang berada, karena ia adalah anak kaum marginal di pinggiran kampungnya. Hidupnya mencerminkan peralihan seorang miskin menjadi seorang yang berada. Di satu sisi jokowi memang merupakan konfigurasi yang unik dari sebuah kejenuhan nasional atas kesemrawutan sistem warisan orde baru. Namun disisi lain, ia merupakan wayang yang tidak memahami bahwa dibelakangnya berdiri para predator oligarki warisan orde baru.
Orde baru memang terkenal dengan pembungkaman partisipasi politik masyarakat demi dalih pembangunan ekonomi. Menurut rezim ini, stabilitas politik dan keamanan adalah prasyarat utama demi pembangunan ekonomi (industrialisasi) nasional. Tentu dengan ditopang oleh utang luar negeri dan investasi kapital asing dan domestik. Industrialisasi rezim ini kemudian berdampak besar pada perubahan sosial masyarakat indonesia. Di satu sisi, melahirkan kelas buruh marginal yang miskin. Dan disisi lain industrialisasi juga telah melahirkan kelas baru. Kelas menengah yang bergaji cukup. Selain mereka, celakanya yang sangat menonjol dan berbaaya ialah tumbuh pesatnya para oligarki. [1]
jika meminjam definisi Vedi R Hadiz dalam bukunya yang berjudul “Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto” oligarki merupakan sebuah bentuk borjuasi nasional-domestik yang berpengaruh secara signifikan untuk membentuk dan mengatur kekuasaaan. Kemudian jika mengacu pada definisi yang diartikulasikan oleh kamus besar bahasa indonesia versi daring dan ensiklopedia bebas wikipedia berbahasa indonesia [2], borjuis merupakan kelas sosial atas yang terdiri dari orang-orang berpengaruh yang dicirikan sebagai pemilik modal karena kekuatan, pengaruh dan kekayaannya.
Lebih lanjut jika dikaitkan. Pada zaman orde baru para borjuis ini tentu saja dapat dengan mudah kita kenali sebagai para anggota keluarga soeharto beserta cecunguknya, para petinggi negara dan tak ketinggalan segelintir kapitalis tionghoa. Untuk meneropong posisi oligarki ini, kita bisa melihat dengan menggunakan kerangka teori institusional. Bahwa pada zaman orde baru, oligarki tersentralisasi hanya di pusat. Namun, setelah masa reformasi oligarki telah mengalami proses pencairan desentralisasi ke daerah-daerah [3]. Sederhananya jika sebelum reformasi oligarki berkuasa pada ranah struktur pemerintahan pusat, di era reformasi ini, oligarki justru mencair dan berkembang biak ke bentuk-bentuknya yang baru. Yakni melalui partai politik, pemilu dan parlemen dari pusat hingga pelosok daerah. Sehingga tentu amat sangat menyulitkan kita untuk mendesak adanya 'reformasi' jilid II.
Oligarki Politik dan Demokrasi Indonesia yang Dibegal
Pada dasarnya, teori tentang demokrasi meliputi kekuasaan (kratos) yang berada di tangan rakyat (demos). Dalam segala aspek pembuatan peraturan perundang-undangan, rakyat dan kepentingannya adalah titik yang paling diutamakan. Segala tata politik, ekonomi, dan hukum dibuat sedemikian rupa untuk kepentingan rakyat. Marcus Cicero, salah satu filsuf klasik terbesar pernah menyatakan bahwa kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Begitu juga dengan pendapat filsuf kenamaan abad pertengahan, Thomas Aquinas yang juga menegaskan bahwa tujuan tertinggi dari tata politikm ekonomi dan hukum adalah kebaikan bersama (bonum commune). Sementara tata politik dalam bernegara, sebagaimana dicita-citakan oleh aristoteles ialah untuk mencapai kebahagiaan. Untuk itulah, bahkan aristoteles pernah menyimpulkan dengan tegas bahwa “negara yang cacat ialah negara yang hanya mementingkan kepentingan dan keinginan penguasa politik” [4].
Celakanya, pendapat aristoteles memang benar terjadi adanya. Indonesia (tanpa sadar) memang tengah berada dalam situasi kritis. Karena sudah terbegal secara sistematis nan sadis menjadi oligarki. Pemerintahan, pemilu hingga partai yang diharapkan diisi oleh orang-orang yang mengabdi dan bekerja untuk rakyat telah berubah, diisi oleh sekumpulan elit politik yang memiliki basis kekayaan materiil serta basis kepentingan kapitalisnya sendiri. Buktinya, tengoklah bagaimana elit politik negeri ini mayoritas diisi oleh para pengusaha berkantong tebal. Dengan mudahnya mereka membeli politik (kekuasaan) dengan kemampuan yang mereka miliki. Belakangan bahkan dapat kita simak betapa bibit oligarki dapat dengan mudahnya lahir. Partai Perindo Hary Tanoesudibyo dan Partai Idaman Rhoma Irama misalnya. Ia merupakan satu contoh konkrit potret bagaimana lahirnya oligarki (di tubuh partai). Ia praktis telah menambah panjang partai-partai yang hadir oleh nafsu politik sesaat. Mirip dengan partai-partai lama yang menjual slogan sesat yakni “baru” dan “perubahan”. Yang membedakan kedua partai ini dari partai lama lainnya hanyalah penyebab partai dilahirkan. Kedua partai ini lahir disebabkan oleh gundah gulananya 'barisan sakit hati' saat pilpres 2014. sehingga itu menyebabkan mereka rela menumpuk dan menggadaikan ketenaran serta kekayaannya berapapun jumlahnya demi mengganti kemaluan mereka di panggung politik. Meskipun entah, nasibnya kedepan seperti apa.
Dalam peta perpolitikan saat ini, melalui partai, model kekuasaan partai yang oligarki (menabikan ketua umum/tokoh partai) bisa menentukan siapa yang akan menjadi pilihan dalam proses demokrasi. Sebut saja ahok, ridwan kamil ataupun risma, mereka merupakan segelintir orang terpilih yang dapat maju dalam proses demokrasi. Jika dibedah lebih jauh, pilihan yang didasarkan pada model kekuasaan partai yang oligarki memang erat kaitannya dengan politik uang. Fenomena ini sejak zaman orde baru memang masih kuat menggurita. Fenomena ini kemudian diperparah dengan hukum yang masih tebang pilih. Figur-figur kuat dan oligarki tidak tunduk pada hukum. Namun, justru hukumlah yang tunduk pada oligarki. Sulitnya megawati dijerat hukum atas kaitannya dalam kasus BLBI, licinnya aburizal jika membicarakan lumpur lapindo serta pajak-pajak bakrie groupnya, dan ratusan pembenaran famili SBY untuk berkelit dari kasus hambalang merupakan deretan fakta betapa hukum masih tunduk pada oligarki.
Selain itu, Prinsip-prinsip demokrasi nyatanya juga dengan mudah dibredel oleh prinsip untung rugi yang kental kita pahami di dalam sistem kapitalisme. Partai sekarang dikuasai oleh para oligarki yang hartawan. Nasdem oleh surya paloh, golkar oleh aburizal bakrie, gerindra oleh prabowo, perindo oleh hary tanoesudibyo, dan sejumlah pengusaha yang menguasai parlemen (sebagai anggota DPR) hingga 63% [5] merupakan potret nyata bagaimana eratnya oligarki dengan kapitalisme.
Revolusi (dalam) Sosial dan Politik
Patut disadari, penjinakkan terhadap oligarki hanya bisa dilakukan melalui aturan hukum (rule of law). Meskipun harus disadari bahwa demokrasi di indonesia tidak identik dengan rule of law. Indonesia adalah contoh demokrasi tanpa rule of law, sehingga beberapa ahli mengatakan bahwa demokrasi indonesia adalah “criminal democracy”; kondisi ini berbanding terbalik dengan singapura yang menganut “authoritarian legalism”.
Dari tesis diatas, dapat diartikulasikan bahwa ini merupakan kondisi yang tidak terhindarkan lagi. Indonesia suka tidak suka telah dihadapkan dengan munculnya proyeksi menakutkan jangka panjang demokrasi yang lebih liberal, oligarki yang lebih tidak terkendali, negara kesejahteraan (welfare state) yang jauh dari kata efektif, dan prospek-prospek buruk lainnya.
Meskipun begitu, kita harus pahami satu hal bahwa oligarki hanya kuat pada kondisi-kondisi tertentu. Kemiskinan dan keawaman (apatis) politik masyarakat merupakan salah satu faktor disamping faktor lain yang mempengaruhi tumbuh kembangnya oligarki. Jika dua hal tersebut terus terpatri dalam benak masyarakat maka dapat dipastikan para politisi oligarki akan terus memproduksi kekayaan dan hegemoninya melalui demokrasi yang prosedural tanpa memperdulikan substansinya.
Mengutip pendapat Max Weber, sebenarnya kita memiliki dua jenis politisi. pertama mereka yang memilih politik demi suatu cita-cita atau dalam bahasa populer menjadi politisi demi idealisme; mereka hidup untuk politik, (they live for politics). dan Kedua, mereka yang memilih politik sebagai karier dari satu tingkat ke tingkat lebih tinggi. Mereka boleh dibilang sebagai politisi yang hidup dari politik, (they live from politics). Untuk jenis kedua ini, Politik lebih menjadi ladang tempat menanamkan kepentingan, dan mengambil keuntungan. [6]
Yang perlu untuk digarisbawahi adalah: oligarki tidak akan tumbuh dan berkembang pesat dalam masyarakat sipil (civil society) yang kuat dan aturan hukum yang efektif dan konsisten. Karena (jika) masyarakat sipil paham bahaya dari oligarki dan begitupun juga dukungan dari rigidnya aturan hukum positif, maka dapat dipastikan petaka oligarki ini akan musnah dengan sendirinya dari ibu pertiwi.
Untuk menutup tulisan ini, mari kita cermati kembali apa yang pernah dikatakan oleh Marcus Cicero didepan altar tribun sambil kita kaitkan dengan konteks tulisan ini: “ikan membusuk mulai dari kepala hingga ekor. Sehingga tindakan yang pantas dilakukan adalah dengan memotong dan membuang kepala ikan terlebih dahulu”.
“mari gulingkan generasi petaka oligarki ini dan ganti mereka dengan generasi kita!. Generasi pembaharu bangsa!” - Aldi, 1/9/2015
****
*penulis merupakan mahasiswa semester terakhir di FH UNS dan sedang mengambil skripsi mengenai anomali bantuan keuangan kepada partai politik. Sebagian opini dan data dari tulisan ini bersumber dari pengalamannya bertugas di Komisi III DPR-RI. Selain aktif di berbagai organisasi, ia juga aktif sebagai pegiat anti-korupsi di Pusat Studi Transparansi Publik dan Anti Korupso (PUSTAPAKO) UNS. Ia juga aktif menulis di beberapa surat kabar.
REFERENSI
[1] Vedi R Hadiz, dinamika kekuasaaan ekonomi politik indonesia pasca-soeharto, associate professor pada departemen of sociologi, national university of singapore (NUS)
[2] penulis menelusuri definisi borjuasi melalui Kamus besar bahasa indonesia versi daring & ensiklopedia bebas wikipedia berbahasa indonesia pada 31/08/2015
[3] Ahmad Fedullah; Oligarki di indonesia: Predatory Capitalism. http://www.kompasiana.com/ahmadfedullah/oligarki-di-indonesia_54f93d74a3331176178b488e
[4] Zainal C Airlangga; demokrasi dibawah kendali oligarki. https://www.selasar.com/politik/demokrasi-di-bawah-kendali-oligarki
[5] penulis mengambil data dari tulisan Ahmad Fedullah; Oligarki di indonesia: Predatory Capitalism. http://www.kompasiana.com/ahmadfedullah/oligarki-di-indonesia_54f93d74a3331176178b488e
[6] Zainal C Airlangga; demokrasi dibawah kendali oligarki. https://www.selasar.com/politik/demokrasi-di-bawah-kendali-oligarki