Memang seharusnya pertanyaan-pertanyaan semacam itu bisa dengan mudah dijawab oleh mereka yang menyebut perkumpulannya sebagai sebuah komunitas. Tentu saja ada visi misi yang diusung oleh sebuah komunitas. Ada AD/ART yang menjadi pijakan langkah untuk bisa bergerak bersama. Dengan begitu mereka bisa dengan mudah ketika orang lain bertanya tentang komunitas yang menjadi wadah untuk mereka berkumpul.
Tapi sayangnya Canting tidak seperti itu. Bicara AD/ART terlalu rumit untuk rekan-rekan Canting yang sering menyebut dirinya sebagai manusia absurd. Berkumpul untuk sekedar bisa tertawa tampaknya sudah cukup menyita waktu mereka sehingga lupa meramu visi dan misi yang seharusnya mereka emban dan menulisnya dalam selembar kertas. Hah, berkumpul untuk sekedar tertawa? Ya, bukankah tertawa hampir menjadi barang mahal di negeri ini? Meskipun tidak jarang rekan-rekan canting harus menertawakan diri sendiri karena tidak ada lagi yang bisa ditertawakan. Toh, pada akhirnya mereka tetap bisa tertawa.
Sebuah pertanyaan yang sering membuat saya tertawa juga dilontarkan oleh wartawan itu, “Apakah Canting dibentuk untuk sebuah misi sosial?” Pertanyaan itu muncul tentu setelah sang wartawan mengetahui beberapa kegiatan yang pernah dilakukan oleh canting seperti menanam 1000 pohon bakau di pinggiran kali Opak, trauma healing untuk anak-anak korban merapi, atau melakukan pendampingan di beberapa sanggar anak. Yang membuat saya tertawa mendengar pertanyaan semacam itu adalah bagaimana mungkin rekan-rekan canting bisa mengemban misi sosial dalam arti berbuat banyak untuk mereka yang membutuhkan sementara rekan-rekan Canting tak lain adalah anak-anak yang sebenarnya juga membutuhkan bantuan. Kuliah yang tak kelar-kelar, pekerjaan yang tak menentu, belum menikah sementara umur mendekati kepala tiga, konflik dengan sang pacar, atau status jomblo yang berkepanjangan adalah sedikit gambaran tentang rekan-rekan canting. Belum lagi sindrom ababil dan tubil yang kini banyak mewabah tentu sangat mempengaruhi tingkat ke-absurd-an mereka sehingga mereka layak mendapat pertolongan darurat secara psikis. Karena itulah saya hanya bisa menegaskan bahwa mereka berkumpul sama sekali buka karena jiwa sosial mereka yang tinggi, tapi justru karena ke-ego-an mereka. Berkumpul, tertawa dan menggila bersama, hanya untuk menemukan kebahagian yang mungkin sulit mereka dapatkan saat sendiri di luar sana.
Tidak salah jika Gugun, salah seorang anggota canting, mengatakan bahwa mereka dipertemukan oleh keinginan untuk bersenang-senang. Meskipun untuk itu mereka harus dianggap gila. Dan silahkan menyebut mereka gila, toh kenyataannya mereka suka melakukan hal-hal gila. Dan tampaknya mereka semakin menikmati kegilaan itu. Kalau pun mereka pernah atau sedang melakukan kegiatan yang dianggap bermanfaat untuk orang lain, mungkin mereka sedang khilaf dan sedikit mendapatkan kesadaran bahwa di luar sana ada banyak orang yang ternyata ingin ikut tertawa.
Orang normal mungkin menyebut mereka gila
Orang normal mungkin malu untuk bergabung dengan mereka
Sayangnya, saya terlanjur menikmati kebersamaan dengan mereka.
Dalam kegilaan saya ucapkan SELAMAT ULANG TAHUN untuk Canting