Lelaki itu menggendong tas punggung dan duduk di salah satu pojok dengan diam. Dia datang bersama bisik orang-orang ketika memasuki keriuhan taman. Sejak kedatangannya, aktivitas di taman seperti terhenti. Semua orang mencuri-curi memperhatikan dengan waspada pada pemuda itu. Para orang tua memanggil anak-anaknya di taman pasir agar cepat berkemas. Seolah semua kompak mendapati firasat bencana bakal terjadi sore itu. Pikiran mereka didirijen oleh sepotong berita yang terbit pagi tadi dari koran daerah tentang teroris yang sudah memasuki kota pesisir itu. Kicau burung gagak di dahan pohon kapuk dan direspon kepanikan sekawanan anak ayam seolah menambah drama suasana sore.
Mereka masih satu kampung dengan pemuda itu tetapi mereka terlanjur menganggap pemuda itu terlalu pendiam dan jarang bersosial.
“Jangan-jangan dia menggendong bom dalam tasnya.” Beberapa orang menduga-duga diikuti ketakutan yang lain.
Ketika teror bom kembali menjangkiti negeri ini, mereka selalu mencurigai setiap orang yang memasuki kampung dan tidak terlalu mereka kenal. Para orang tua itu dibelenggu ketakutan pada setiap barang yang dibawa orang yang mereka anggap asing.
Mereka tak berkedip menelanjangi setiap gerak-gerik si pemuda. Sementara si pemuda tidak sadar atau memang tidak terlalu mempedulikan, lalu dia mengeluarkan selembar kertas dan sibuk mencatatkan sesuatu.
“dia mungkin mencatat kebutuhan belanjaan untuk bom rakitannya.”
“Berarti dia belum membuat bom kalau benar begitu.” Timpal yang lain seraya berharap bom tidak meletus sore itu.
“Bisa jadi dia sedang mengecoh kita sebelum benar-benar menekan pemantiknya.” Timpal yang lain lagi. Beberapa di antara mereka bergegas pulang membawa anaknya meski tampak beberapa anak menolak ajakan orang tuanya karena masih ingin bermain di taman pasir.
“Bukankah dulu dia juga pernah datang ke taman ini?” tanya salah satu dari mereka mencoba rasional.
“Dulu belum musim bom.” Jawab seorang yang berdiri tegang di bawah pohon weru mendekap erat putrinya tanpa melepaskan tatapannya ke arah bangku tempat duduk pemuda itu. Agaknya dia mempelajari cara mengenal orang yang membawa bom dari televisi.
Pemuda itu tiba-tibadengan tergesa menulis kata demi kata di selembar kertas itu. Tapi secepatnya meremas hasil tulisannya sebelum membuangnya di tong sampah yang berada belakangnya. Seperti dengan amarah, dia bangkit dengan tergesa dan berjalan cepat meninggalkan taman. Lalu orang-orang berebut mengambil potongan kertas di tong setelah pemuda itu tidak lagi terlihat di ujung gang. Rasa penasaran menjangkiti mereka membuka lipatan kertas yang telah menjadi kumal itu. Lalu salah satu dari mereka memberi kelegaan,
“Syukurlah, dia hanyalah penyair yang baru kehilangan ibunya.” Mereka membubarkan ketegangan setelah membaca larik puisi si pemuda yang terbuang.