Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Draft RUU DKJ untuk Siapa?

7 Desember 2023   16:24 Diperbarui: 7 Desember 2023   16:27 139 2
Draf RUU Daerah Khusus Jakarta (DKJ) yang saat ini tengah dibahas oleh DPR memunculkan sejumlah ketidaksetujuan dari berbagai kalangan, memperlihatkan bahwa isu ini tidak hanya sekadar perdebatan teknis hukum, melainkan melibatkan kompleksitas politik, sosial, pembiayaan, dan kelembagaan.

Sebagian besar ketidaksetujuan berasal dari ketakutan akan potensi sentralisasi kekuasaan yang lebih besar di tangan pemerintah pusat. Penunjukan gubernur dan wakil gubernur Jakarta secara langsung oleh Presiden, tanpa melalui mekanisme pemilihan langsung, menimbulkan pertanyaan serius terkait otonomi daerah. Ini menjadi krisis representasi yang mengancam keseimbangan kebijakan yang seharusnya mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Jakarta. Dengan pengambilan keputusan yang lebih sentralistik, pertanyaan tentang sejauh mana aspirasi lokal dapat tercermin dalam kebijakan nasional muncul sebagai isu utama. Apakah dengan penunjukan Gubernur oleh Presiden permasalahan Jakarta bisa dihadapi dengan menyeluruh? Apakah partisipasi masyarakat sebagai kunci utama keberhasilan pembangunan bisa meningkat dengan adanya kebijakan ini? Apakah dengan mekanisme pemilihan ini lebih banyak masyarakat yang diuntungkan atau sebaliknya menguntungkan elit tertentu?

Selain itu aspek sosial dalam konteks ini juga mencuat, dengan banyak pihak mengecam potensi ketidaksetaraan pembangunan dan alokasi sumber daya antara Jakarta dan daerah-daerah lain. Keputusan untuk menghilangkan pemilihan langsung dapat diartikan sebagai pengurangan partisipasi langsung masyarakat dalam proses demokratis, yang seharusnya menjadi jantung dari sistem pemerintahan yang baik. Risiko ini menjadi lebih besar ketika melihat tingginya kompleksitas dan keragaman tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai daerah. Bagaimana fungsi masyarakat sebagai subjek utama pembangunan?

Pembiayaan juga menjadi perhatian utama dalam perdebatan ini. Beberapa pihak berpendapat bahwa biaya yang dikeluarkan untuk pemilihan langsung gubernur dan wakil gubernur dapat dialokasikan lebih efisien untuk kepentingan pembangunan dan pelayanan publik di Jakarta. Namun, kekhawatiran terhadap kerugian dalam legitimasi demokratis, yang mungkin melebihi manfaat penghematan biaya tersebut, menjadi landasan kritik yang kuat. Apakah dengan  mekanisme pemiihan oleh presiden partisipasi masyarakat dalam pembangunan bisa digantikan?

Di samping itu, aspek kelembagaan juga turut diperhitungkan. Ketidaksetujuan mencuat terkait legitimasi dan akuntabilitas dalam penunjukan langsung oleh Presiden. Penggunaan metode ini mengundang pertanyaan serius tentang keterhubungan pemimpin dengan rakyatnya dan sejauh mana pemimpin tersebut dapat dianggap mewakili aspirasi masyarakat secara adil. Apakah pembangunan tetap menjadikan masyarakat sebagai subjek utama pembangunan, atau hanya partisipasi semu terhadap pembangunan dan kompleksitas permasalahannya?

Selain itu, potensi merusaknya prinsip-prinsip dasar demokrasi representatif dan partisipatif dalam sistem politik nasional juga menjadi fokus perhatian. Dengan penghilangan elemen partisipatif melalui pemilihan langsung, masyarakat dapat merasa bahwa kebijakan yang dibuat tidak mencerminkan secara akurat keinginan dan kebutuhan mereka. Hal ini akan berdampak pada ketidakefisiensian pembangunan dan hanya menguntungkan pihak tertentu.

Ketidaksetujuan terhadap draf RUU DKJ tidak sekadar mengemuka dari perspektif hukum semata, tetapi juga mencerminkan kompleksitas masalah dalam konteks politik, sosial, pembiayaan, dan kelembagaan. Mendiskusikan perubahan sistem pemerintahan dengan teliti dan komprehensif menjadi krusial untuk memastikan bahwa kebijakan yang diimplementasikan tidak hanya menguntungkan pihak tertentu, tetapi juga memberikan manfaat yang seimbang dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun