Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Generasi Minim Sanjungan, Kebingungan Menentukan Tujuan

15 November 2022   07:06 Diperbarui: 15 November 2022   08:56 125 3
"Wah, gambarnya bagus!" seorang ayah memuji hasil karya anak gadisnya yang baru berusia lima tahun.

"Adik memang hebat!" si ibu ikut memuji si adik sambil memeluk dan menciumnya.

Apakah anda familiar dengan adegan seperti di atas? Saya kira, tidak semua orang familiar dengan hal itu. Jika dahulu anda tidak pernah mengalami itu, bisa saja berlaku demikian kepada anak yang lahir dan besar di era sekarang.

Saya tidak memukul rata jika sikap orang tua kepada anak saat ini "menjiplak" sikap orang tua dahulu kepadanya. Setidak ada banyak hal yang berbeda. Namun, bisa juga benar-benar meniru bagaimana orang tuanya dahulu bersikap dan diterapkan kepada anaknya hari ini.

Tulisan ini bukan tentang  parenting. Saya bukan psikolog yang kompeten untuk itu.

Ini tentang bagaimana sebuah sanjungan kepada anak bisa mempengaruhi mental seseorang ketika sudah dewasa. Setidaknya berdasarkan pengalaman saya dan adik-adik. Kami semua sudah dewasa dan adegan seperti di awal tulisan di atas adalah "langka".

***

Kami lahir dari budaya yang lebih sering "meledek" kemampuan anak dibandingkan memujinya. Saya melihat sendiri bagaimana adik perempuan saya menjadi wanita yang "kurang berprestasi" karena kurangnya sanjungan. Dia pintar. Namun, dia tidak tahu apa potensi dirinya sendiri. Apabila ditanya hobinya apa, bingung. Ditanya, kenapa tidak kuliah, jawabnya, bingung memilih jurusan.

Orang pintar yang tidak memiliki tujuan. Mungkin itulah untuk menggambarkan adik perempuan saya. Untungnya, dia cepat dilamar sehingga punya tujuan jangka menengah untuk membesarkan ketiga anaknya (yang juga pintar-pintar).

Adik laki-laki saya begitu suka olahraga. Namun, tahukah anda bagaimana rasanya jika menjadi anak yang tidak pernah disanjung ketika dia berprestasi. Mungkin perasaan kurang berarti dan menganggap prestasi bukan sebagai sesuatu yang berarti; apalagi patut dibanggakan.

Awalnya, sikap tidak suka menyanjung dari orang tua ini hal yang "remeh". Buat kami, sanjungan biasa didapatkan ketika nilai rapornya di atas angka delapan. Di luar itu, malah lebih sering diledek. Mending kalau sekedar dikomentari.

Setelah dewasa, menjelang tua, saya mulai menyadari jika menyanjung anak benar-benar berpengaruh kepada bagaimana seseorang berpikir. Hal yang paling kentara adalah bagaimana membangun kepercayaan diri anak untuk menentukan pilihan dan bertanggungjawab kepada pilihannya itu. Ditambah menerima resiko dengan pilihannya.

Dengan sanjungan, si anak tahu apa potensi dirinya sejak dini. Karena alasan itu pula, kami sering menyanjung anak-anak di keluarga kami dalam banyak hal.

Antusiasme akan sesuatu hal tumbuh. Walaupun di satu sisi mereka kurang antusias dalam hal yang kurang mendapatkan sanjungan.

Setidaknya, mereka tahu jika ada hal yang "kurang" dalam dirinya. Sekaligus, mereka fokus dalam hal yang dianggap "lebih" dalam dirinya. Diharap mereka tidak terbawa arus sehingga terlihat identitas diri yang unik.

Keunikan menjadi hal yang sangat berarti buat kami (generasi yang penuh penyesalan). Menyesal karena terombang-ambing oleh arus tanpa bisa menentukan apa yang ingin kami lakukan dalam hidup. Tidak sanggup memilih diantara begitu banyak pilihan.

***

Jika saya baru menyadari keunikan saya di usia tiga puluh, keponakan saya sudah menyadari keunikannya di usia tiga tahun. Berbarengan dengan perubahan kurikulum yang mengedepankan keunikan siswa. Gayung bersambut, karena saya pun kurang setuju dengan sekolah yang tidak memasukkan "keunikan" dalam nilai rapor.

Saya pikir, sanjungan kepada anak bisa menjadi salah satu cara agar belajar efektif dan efisien. Berfokus kepada tujuan si anak sehingga tidak tertekan oleh tuntutan lingkungan.

Pikiran anak akan tertuju kepada bagaimana masa depan "dirinya" di tengah kehidupan. Bukan berpikir jika nasib yang tidak berpihak kepadanya, tetapi dia siap menempatkan diri di tengah "nasib" yang menimpanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun