Mohon tunggu...
KOMENTAR
Entrepreneur Pilihan

Memahami Selera Orang Desa sebagai Pasar Sasaran

30 Agustus 2022   07:16 Diperbarui: 30 Agustus 2022   08:04 241 10
Saya tinggal di desa, tapi saya suka film Korea, film Hollywood juga suka. Tidak suka sinetron di TV. Suka membaca walaupun jauh dari toko buku.

Hanya saja, pendapatan saya perbulan tidak sebanding dengan pekerja yang biasa "ngantor" di kawasan SCBD Ibu Kota. Singkatnya, selera seperti kaum urban namun pendapatan layaknya kebanyakan orang di pedesaan.

Ini anomali, setidaknya berdasarkan pengalaman dan peninjauan saya sendiri. Orang seperti saya, sulit digolongkan sebagai pasar sasaran berdasarkan pendapatan. Juga, tidak termasuk dalam golongan secara geografi.

Terkadang, bertanya-tanya apakah di seluruh pelosok Nusantara ada orang mirip seperti saya. Dimana para pemasar tidak "menghiraukan" orang demikian. Mungkin karena jumlahnya sedikit sehingga dianggap sebagai ceruk pasar yang "tidak potensial".

***

Hadirnya internet di pedesaan, membuat cara orang berjualan berubah secara teknis. Semakin dimudahkan sekaligus disulitkan bagaimana menentukan pasar sasaran.

Dahulu, demografis bisa menjadi landasan untuk memasarkan produk. Kini, konsep itu harus diubah.

Misalnya, jika pemasar masih menganggap kalangan "menengah-atas" berdomisili di kota maka hal demikian sudah tidak menjadi acuan. Selera orang desa sangat mungkin sudah berubah karena derasnya arus informasi. Sehingga, selera belum tentu beririsan dengan dimana seseorang bertempat tinggal.

Seorang petani yang jauh dari kebisingan kawasan industri sangat mungkin memiliki selera lebih "dekat" dengan mahasiswa di pinggir kota. Pemerintah boleh saja mengkategorikan sebuah keluarga sebagai "warga miskin". Namun, bukan berarti caranya memilih hiburan sama dengan tetangganya yang sama-sama miskin.

Membayangkan selera begitu banyak manusia bukanlah hal mudah. Membutuhkan begitu banyak penelitian yang terperinci. Jika anda benar-benar membutuhkan data itu, silakan menghubungi lembaga penelitian.

Saya hanya mengajak untuk memikirkan penggolongan konsumen tidak semata berdasarkan demografi. Memang hal itu yang tampak di permukaan. Namun, ada banyak produk _seperti hiburan_ tidak semata didasarkan pada objek yang kasat mata.

Selera manusia itu adalah bagian dalam diri manusia. Kita harus menanyai manusia satu per satu untuk mengetahui hal demikian.

Saat ini, berdagang tidak seperti menangkap ikan di lautan dengan jala. Melemparkan jaring begitu saja sehingga ikan apa pun bisa terperangkap.

Tapi, adakalanya berjualan itu seperti memancing. Digunakan umpan yang "cocok" dengan jenis ikan yang kita ingin tangkap. Walaupun membutuhkan kesabaran ekstra dalam melakoninya.

***

Meskipun sedikit, kami membutuhkan pelayanan untuk kepuasan selera. Tidak hanya kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, kepuasan akan selera juga harus terpenuhi.

Karena jangkauan yang jauh, usaha untuk pemenuhan selera itu nyaris terabaikan. Menonton film favorit tidak bisa karena jauh dari bioskop. Menyaksikan konser artis ternama kesulitan karena masalah transportasi dan akomodasi.

Makanya, internet menjadi jawaban dari keresahan itu. Seperti oase di padang pasir, cukup untuk memuaskan rasa haus akan aktualisasi diri.

Saran saya, para pemasar harus menyasar potensi pasar baru hingga ke desa. Tidak usah menjadikan domisili dan penghasilan sebagai kriteria calon pelanggan. Berfokuslah pada selera.

Tentu saja mudah membaca selera orang di era media sosial. Google pun sanggup membaca selera penggunanya. Maka sudah selayaknya para telemarketing menjangkau orang-orang yang memiliki "frekuensi" sama dengan produk yang ditawarkan.

Bukan hanya produk hiburan di layar ponsel, bahkan barang riil yang bisa disentuh pun bisa berdasarkan selera. Coba bayangkan, jika orang desa pun bisa memiliki selera layaknya opa-opa Korea karena kuatnya media massa mempengaruhi pola pikirnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun