Apalagi jika jumlahnya "hanya" cukup untuk membeli sebungkus roko. Ah, uang sebesar itu punya. Saya tidak kaya, tapi saya juga tidak miskin sekali.
Saya bukan pengemis yang meminta uang recehan. Kalau sekadar membeli makan, masih sanggup memenuhi. Apakah karena tampang ini memang layak dikasihani, sehingga orang begitu saja memberi sedekah uang recehan?
***
Begitulah jika menggunakan sudut pandang "orang mampu yang diberi sedekah". Bisa tersinggung karena seakan menghina derajatnya. Diberi uang recehan itu bukan menjadi senang karena dalam persepsi orang mampu uang recehan itu hanya layak diterima pengemis, kaum fakir atau orang-orang yang benar-benar darurat.
Namun, saya mencoba memandang dari sisi "si pemberi sedekah". Meredam emosi dan menurunkan gengsi.
Ketika dia memberi sedekah uang recehan, mungkin niatnya murni ingin beramal. Dia tidak bermaksud menyinggung apalagi merendahkan. Ketika di tangannya hanya ada uang recehan, maka yang terpikirnya olehnya adalah bagaimana itu bisa menjadi ladang amal.
Kesanggupan orang untuk memberi sedekah ya berbeda. Ada yang sanggup memberi banyak hingga uang puluhan juta, mobil atau bahkan mewakafkan sebidang tanah. Tentu, ada yang sanggup memberi uang recehan bahkan hanya bersedekah tenaga dan pikiran. Banyak pula yang mampu memberi banyak, tapi dia tidak mau memberi. Pelit.
***
Dari kejadian itu saya menyimpulkan jika bersedekah bukan untuk "menaikan gengsi sosial". Bersedekah murni ingin beramal.
Tidak usah heran jika ada orang yang bersedekah sangat banyak tapi namanya tidak ingin diketahui khalayak. Karena niatnya bukan untuk menaikan gengsi.
Sebaliknya, ada yang bersedekah tidak seberapa tapi diumbar di media sosial. Diberitakan ke seluruh dunia jika dia termasuk golongan "mampu". Sekaligus menegaskan jika orang yang diberi sedekah adalah golongan "tidak mampu".
Bersedekah bukan cara untuk menegaskan strata sosial seseorang. Kalau menjadi kaya, itu realita. Dan, menjadi miskin itu derita. Hanya saja, peran keduanya di dunia memang berbeda. Si kaya bisa menjadi sosok yang bermanfaat bagi ummat ketika dia menebar kebaikan. Si miskin bisa menjadi penerang peradaban ketika dia tidak menyusahkan. Miskin bukan berarti harus menjadi sampah masyarakat.
Harmoni antara si kaya dan si miskin terjadi ketika sama-sama menjalankan kehidupan bersama dalam satu tujuan bersama. Tidak saling sikut atau malah membuat takut. Dan, bersedekah bukan cara untuk "menutup mulut" si miskin agar tidak merongrong kehidupan si kaya. Bersedekah bukan bentuk kepura-puraan seperti perusahaan yang memberi CSRĀ (corporate social responsibility) pada penduduk kampung sembari merusak lingkungan tempat tinggal mereka.