Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Anak yang Kurang (Pintar, Dekat, Mampu, Berprestasi) Sekolahnya Bagaimana?

1 Juli 2020   06:43 Diperbarui: 1 Juli 2020   06:44 184 6
***
Saya punya saudara yang tinggal di lereng gunung. Ya, perkampungannya benar-benar di daerah curam. Jika dilihat dari jalan raya, kampungnya nyaris tidak kelihatan karena tertutup rindangnya pepohonan.

Kalau di pegunungan, jelas serba jauh dari fasilitas pendidikan. Menuju sekolah harus naik sepeda motor lumayan lama. Itu pun kalau punya kendaraan, yang tidak punya ya jalan kaki dan lebih lama lagi.

Sekolah Dasar terdekat saja bakal terasa jauh bagi anak-anak dengan kaki kecilnya. Apalagi SMP, jauh sekali karena harus "turun gunung". Itu pun SMP swasta. Kalau SMP Negeri ya lebih jauh lagi hingga ke kota kecamatan.

Ya begitulah, anak-anak di kampung itu banyak yang tidak melanjutkan sekolahnya. Alasan biaya, jelas tidak ada. Akhirnya, mereka membantu orang tua berladang atau memelihara binatang ternak seperti domba.

***
Cerita di atas sekedar contoh dari sekian banyak anak yang dihadapkan pada dilema pendidikan yang dihadapinya. Bagi anak yang pintar, masih ada harapan masuk sekolah negeri meski tidak mampu. Lalu, bagaimana yang kurang pintar dan rumahnya jauh dari sekolah negeri?

Masuk sekolah swasta, ya lagi-lagi harus ada biaya tambahan. Padahal, banyak orang tua yang berharap masuk sekolah negeri karena rendahnya biaya.

Kalau kami di perkampungan, masih banyak madrasah swasta yang siap menampung anak-anak yang "serba kurang" ini. Modal mereka hanya "kemauan" karena masih ada Kyai yang mau menyelenggarakan pendidikan tanpa embel-embel "mencari keuntungan". Kalau diperkotaan, bagaimana ya? Masih adakah sekolah swasta yang "gratis"?

Kami, di perkampungan, Alhamdulillah masih dihuni anak-anak "baik" yang bisa menerima nasib. Tidak melanjutkan sekolah, masih mau beraktifitas positif membantu orang tua. Tapi, apa kabarnya anak yang tidak melanjutkan sekolah, malahan terlibat kenakalan remaja?

Di kampung saya, tidak melanjutkan sekolah, apalagi ke sekolah negeri bukan akhir segalanya. Nasib tidak digantungkan pada setinggi apa pendidikan formal yang ditempuh. Kami orang kampung, masih percaya jika Alloh yang mengatur nasib bukan Bapa-Ibu Kepala Dinas Pendidikan.

Mungkin sedikit berbeda dengan anak-anak kota yang menyibukan diri dengan bimbingan belajar (bimbel) ke sana ke mari. Waktu bermain dihabiskan di tempat les dengan biaya jutaan mengalahkan biaya makan kami dalam setahun. Anak kota, walau tidak seluruhnya, belajar keras untuk masuk sekolah negeri atau lulus ujian malah banyak yang kecewa karena Ujian Nasional dihapuskan dan seleksi masuk sekolah menggunakan sistem zonasi. Ya, tidak balik modal ...

***
Ya sudah lah, saya kebanyakan curhat masalah pelik negeri ini. Seharusnya terima nasib saja lahir di negeri yang belum bisa tegak berdiri. Baik atau  buruk apa yang terjadi, toh itu negeri sendiri. Syukuri.

Bagi saya, semoga saja anak-anak yang sulit masuk sekolah negeri bisa mendapatkan solusi terbaik atau lebih baik tidak masuk sekolah negeri. Saya berharap, masih banyak orang-orang berdompet tebal yang terbuka hatinya mau membantu mereka.

Ketika Pemerintah "lepas tangan" pada anak yang 'serba kurang' ini, saya yakin Alloh tidak begitu. Alloh bertanggung jawab atas kehidupannya, meskipun Kepala Dinas setempat tidak mau bertanggungjawab.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun