Penganan-penganan ini dulu amat digemari, karena berbeda dengan jenis penganan lain seperti lontong, nasi uduk, bakwan, yang dijual di kios atau warung dadakan di depan rumah, getuk lindri dan kawan-kawannya dijajakan keliling kampung. Penjualnya biasanya mendekati anak-anak di lapangan sepak bola, space bermain yang masih cukup luas sebelum mesin pembangunan melibasnya tanpa sisa. Saya amat terobsesi dengan penganan ini, karena selain enak, murah, dan sehat, penjualnya juga memiliki kreasi tersendiri untuk menjajakan makanan jualannya. Getuk lindri, misalnya, kue berbahan dasar singkong ini (dengan taburan kelapa parut) dijajakan dengan gerobak yang desainnya terdiri atas kotak kaca persegi menyurapi akuarium. Getuk-getuk aneka warna dipajang di dalamnya. Untuk menarik perhatian, penjualnya juga menyel lagu dengan pengeras suara yang bersaing dengan toko kaset. Lagunya bermacam-macam, tapi umumnya dari genre dangdut progresif.
Saya tak tahu apakah penganan-penganan itu masih diproduksi, dan dijajakan seperti saat saya kecil dulu. Jika mengamati gerai-gerai makan cepat saji dari luar negeri, dan melihat betapa keluarga Indonesia tampak berjejalan menikmati makannan orang asing itu, saya kok ya pesimistis. Apalagi, di gang-gang permukiman warga saya tak menemui jajanan anak yang selain enak dan murah, juga sehat. Yang dikerumuni anak-anak adalah produk jajanan yang tak jelas kebersihannya, juga kesehatannya.