Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Kejujuran Sederhana ala Kuli

10 Januari 2014   09:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 250 3
Sabtu yang biasanya saya habiskan untuk istirahat di rumah, tapi hari ini saya mesti blusukan ke Pasar Asemka-Jakarta Pusat untuk belanja grosiran titipan Bapak di kampung.

Asemka hari Sabtu adalah puncak hari belanja. Pasar ini setiap Sabtu memang lebih ramai dibanding hari-hari biasanya. Saya harus memutar kendaraan 2 kali hanya untuk mendapatkan parkiran-itupun bukan di tempat parkir resmi.

Di dalam pasar pun, suasana padat menyengat. Jangan berharap menemukan tempat belanja yang sejuk dan nyaman. Pasar Asemka memang bukan tempat plesiran yang nyaman seperti mall. Tempatnya kumuh, panas, semrawut dan beragam bebauan-dari tumpukan sampah, got, pengapnya gedung tua, dan keringat-berpadupadan menjadi satu. Jangan pula jelalatan mencari pengunjung berdandan cantik dan berpakaian bagus. Di Pasar ini, berpakaian rapi dan berdandan cantik dijamin akan sia-sia, sebab setelah keluar dari pasar, baju kita bakal kusut dan wajah menjadi penuh peluh.

Nah, kalau kemudian Pasar Asemka ini selalu dipenuhi pengunjung, itu hanya karena harga yang ditawarkan di Pasar ini sangat murah-pasar grosir asesoris dan mainan termurah di Indonesia, dan paling lengkap.

Saya telah beberapa kali ke Pasar Asemka untuk belanja titipan Bapak, makanya setiba di Pasar, saya langsung menuju toko langganan. Titipan belanja kali ini tidak terlalu banyak; hanya jam tangan, kacamata, dan beberapa jenis aksesoris.

Belanja di Asemka dijamin aman buat pembeli model kayak saya yang tidak tegaan menawar harga. Harga barang dibrandrol pas alias tidak bisa ditawar. Sekitar pukul 1 siang, seluruh barang titipan sudah saya dapatkan. Barang-barang itu saya minta dikemas terpisah dalam kardus rapi, karena akan saya paketkan ke kampung. Satu kardus berisi jam tangan dan satu kardus lainnya berisi kacamata dan asesoris.

2 kardus ukuran kardus air mineral, menurut saya bukan soal untuk saya angkat sendiri ke parkiran mobil. Saya cukup pede dengan otot tangan saya. Tapi apa lacur!! Kardus berisi jam tangan rupanya sangat berat. Entah karena isi kardusnya yang berat, atau otot tangan saya yang letoy, yang pasti baru berjarak 20 meter, saya sudah megap-megap dan lengan terasa kesemutan. Parahnya lagi, pasar hari itu sangat padat pengunjung. Jarak 20 meter harus ditempuh dengan persetengah langkah, itupun mesti beradu badan dengan pengunjung lain. Sempurnalah penderitaan saya.

Dalam momen ini, saya hanya bisa mengomeli diri sendiri, karena ke-pede-an menolak tawaran pemilik toko yang menawarkan mengangkat barang ke parkiran mobil. Dan akhinya, saya menyerah! Balik ke toko langganan untuk meminta bantuan, jelas itu bukan "gue banget"- pantang hukumnya. Bagi saya mending cari kuli panggul dan mengeluarkan duit tambahan buat upah. Itu rasanya lebih terhormat!

Baru beberapa detik celingukan mencari kuli panggul, seorang bapak setengah baya datang menghampiri saya. Usianya sekitar 40-an, namun badannya tegap dan tangannya nampak berotot, jauh beda dengan tangan saya yang rata.

"Butuh bantuan kuli Pak," tawarnya dengan ramah.

"Iya, berapa sampai parkiran," tanya saya.

"Lima puluh ribu,"

"Ah, mahal amat. Dua puluh lima ribu saja ya," tawar saya.

Dia setuju. Bapak itu saya serahkan kardus berisi jam, sementara kardus satunya saya bawa. Kardus yang bagi saya berat itu, dengan sekali sentakan sudah berpindah di pundaknya. Bapak itu berjalan di depan saya, sementara saya mengekor di belakang. Badannya yang tegap, menyibak kerumuman orang yang menghalangi jalannya.

Namun sial, beranjak tidak terlalu jauh, saya ditabrak salah satu pengunjung yang berjalan tergesa. Kantong HP yang saya selipkan di ikat pinggang, terpental jatuh, sementara saya hampir jatuh kalau tidak tertahan tiang. Reflek yang saya lakukan adalah mencari kantong HP yang jatuh, cukup lama saya menyusuri lantai untuk mencari kantong HP. Untung HP saya ketemu.

Tapi, Damm!!! Mana si kuli panggul itu? Mata saya tidak menangkap sosoknya di depan saya. Saya buru-buru mengejar dia. Tapi Gedung Pasar Asemka dirancang oleh seseorang yang saya yakin bukan sarjana Arsitektur. Menurutku pasar ini dirancang oleh orang yang baru bangun tidur, dan tiba-tiba merasa mendapat wangsit untuk mendesain pasar. Jadilah pasar ini seperti labirin; gang dan deretan los sama sekali tidak beraturan. Saya saja yang beberapa kali berkunjung, masih kerap tersesat hanya untuk sekedar mencari jalan keluar.

Buru-buru saya coba mengejar kuli panggul itu. Tapi sosoknya tidak kelihatan. Saya kejar dia sampai ke pintu keluar, tapi hasilnya nihil. Saya mulai panik. Kardus itu berisi barang seharga lebih 20 juta. Lumayan menurut ukuranku.

Saya belum mau menyerah. Saya datangi Satpam untuk bertanya:

"Pak, tadi sempat lihat gak, kuli panggul lewat bawa kardus seukuran kardus air mineral?" tanya saya

"Namanya kuli itu siapa Pak," balik bertanya Satpam.

"Wah saya gak sempat nanya namanya," jawab saya.

"Susah kalo gak tau namanya, kuli di sini ratusan. Lagian orang yang bawa barang seukuran gitu mulai tadi ada puluhan Pak," balik menerangkan Satpam itu.

Apes gue! Saya coba balik ke tempat bertemu si kuli panggul. Tapi labirin ala Pasar Asemka yang semrawut ditambah panik, membuat saya justru kesasar. Butuh beberapa menit untuk sampai ke tempat itu kembali. Tapi lagi-lagi hasilnya nihil. Saya belum menyerah. Sekali lagi saya telusuri labirin ala Pasar Asemka. Dan kembali hasilnya sama.

Sekitar satu jam saya habiskan waktu untuk mencari si kuli panggul itu dengan sia-sia. Saya mulai dihinggapi pikiran negatif. Bukan sekali dua kali saya mendengar cerita soal kuli panggul yang curang. Mereka menjadi kuli di satu sisi, tetapi di sisi lain ketika ada kesempatan barang yang dipanggulnya dibawa kabur, diklaimlah barang itu sebagai barang milik.

Saya coba flashback. Saya menduga, kejadian yang saya alami tadi, sebuah skenario yang dirancang oleh komplotan penguntil terlatih. Bukan hal yang kebetulan jika si kuli panggul berjalan cepat di depan, lalu salah satu anggota komplotannya sengaja menabrak saya sampai saya terjatuh, agar si kuli panggul bisa menyelinap membawa kabur barang saya.

Dengan seluruh jiwa raga serta pembendaharaan kata umpatan yang aku miliki, saya rutuki si kuli panggul itu dengan kesal. Sabtuku hilang, badan remuk-pegal, barang dicolong, dan pastinya saya mesti mengganti 20 juta yang digondol si kuli panggul itu. Sial bertubi-tubi.

Siang hampir beranjak sore, waktu sholat Dzuhur hampir lewat, saya sempatkan dulu ke Mesjid Pasar untuk sekedar melepas kewajiban sebelum balik pulang ke Serpong. Tidak ada doa yang saya panjatkan setelah sholat, karena hati saya masih dirudung kesal yang teramat kesal. Dengan gontai saya menuju ke parkiran mobil. Kesal, capek, jengkel bercampur jadi satu.

Mobil saya mengarah ke jalan keluar pasar, tatkala mata saya tertumbuk pada sosok bapak setengah baya yang berdiri di pintu keluar pasar. Tidak salah lagi. Dialah si kuli panggul itu. Di samping kakinya, ada kardus ukuran air mineral milikku. Bapak itu mengamati setiap mobil yang keluar pasar, seperti coba mengenali penumpang di dalam mobil. Saya buka kaca mobil, dan begitu Bapak itu melihat wajah saya, raut muka si kuli panggul itu langsung tersenyum sumringah. Dengan sekali sentak, kardus itu diangkatnya, lalu beliau menghampiri mobil saya.

"Pak, ini barangnya Bapak," begitu kalimat pertamanya.

Tenggorokan saya tercekat. Saya merasa bersalah karena telah berprasangka jelek. Saya parkirkan kembali mobil di dekat jalan keluar. Saya hampiri Bapak si Kuli Panggul itu. Setelah kardus jam, saya masukkan ke mobil, saya ajak Bapak itu ke rumah makan. Semula dia menolak, tapi saya paksa beliau untuk ikut.

Di rumah makan itulah Bapak yang belakangan saya tahu namanya Pak Mudin ini menceritakan soal barang yang dipanggulnya:

"Saya jalan di depan biar Bapak bisa mudah lewat. Saya jalan terus sampai ke keluar gedung, tapi begitu saya nengok ke belakang, kok Bapak tidak ada. Saya pikir, Bapak singgah ke toko lain, jadi saya tunggu di situ hampir 10 menit. Karena gak muncul-muncul, saya balik lagi ke tempat kita tadi ketemu, tapi gak ada juga. Terus saya balik lagi keluar dan nungguin Bapak disana. Karena gak ketemu, saya akhirnya coba cegat setiap mobil yang keluar pasar. Saya tunggui Bapak di jalan keluar pasar," begitu cerita Pak Mudin dengan wajah lugu.

Saya lirik jam tangan; pukul 3 siang. Berarti Pak Mudin mencari saya hampir 2 jam, dan 1 jamnya lebih dengan berdiri di tengah terik matahari-di jalan keluar pasar.

"Maaf Pak Mudin jika saya sempat berpikir jelek tentang Bapak, karena saya pikir barang saya sudah hilang,"

"Iya Pak saya paham. Memang ada kuli panggul yang curang seperti itu Pak. Cuma kalau saya lakukan itu, kasihan kuli-kuli yang lain. Mereka tidak berbuat tapi mereka bisa kena getahnya. Kuli-kuli yang lain bisa tidak dipercayai lagi sama orang. Kalau kami tidak dipercaya, rejeki kami bisa berkurang Pak, kasian keluarga kami," kata Pak Mudin dengan polos.

Deg...Saya terperanjat dengan jawaban Pak Mudin. Saya sama sekali tidak menyangka motif Pak Mudin untuk menjaga barang saya bukan sekedar karena kejujuran. Tapi menurut saya ini beyond of trust: beliau melakukannya demi menjaga kehormatan profesinya; Profesi Kuli Panggul.

Bagi Pak Mudin, profesi kuli panggul bukan sekedar otot yang kuat, sebab sekali berbuat curang, maka otot yang kuat tidak akan berguna. Rejeki datang bukan karena otot yang kuat, rejeki datang karena ketulusan dan kejujuran. Dan satu hal lagi, beliau lakukan itu bukan sekedar untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ratusan bahkan mungkin jutaan kuli panggul yang mengais rejeki di pasar-pasar negeri ini.

"Terus seandainya tadi Bapak tidak menemukan saya di Pintu Keluar Pasar gimana Pak," tanya saya.

"Saya yakin kita pasti ketemu Pak,"

"Maksud saya seandainya tidak ketemu gimana,"

"Saya tidak tidak pernah mengandai-andai, karena saya yakin pasti ketemu Bapak. Kalau yakin, pasti akan ada jalannya Pak,"

Nyaris saya seperti ditampar telak di muka oleh kejujuran dan keyakinan Pak Mudin. Saya merasa embel-embel status pendidikan dan pekerjaan yang saya sandang telah diinjak-injak oleh kejujuran dan keyakinan Pak Mudin, yang belakangan saya tahu cuma tamatan SD. Sebab saya yang sarjana dan "orang kantoran" ini, belum berani untuk melakukan kejujuran dan keyakinan seperti yang dilakukan Pak Mudin. Kejujuran saya kerap kali kejujuran terpaksa; dipaksa oleh system yang mengharuskan saya jujur, dan keyakinan saya adalah keyakinan kondisional; keyakinan yang tergantung feeling dan warna hati.

Selasai makan, saya rogoh saku celana saya. Saya sisipkan 5 lembar uang 50 ribu ke tangan Pak Mudin. Pak Mudin kaget dan menolak, "upahnya tadi kan cuma 25 ribu Pak".

"Iya Pak, 25 ribu untuk upah angkat, sisanya untuk keluarga Bapak," kata saya.

Dengan wajah penuh terima kasih, Pak Mudin menerima uang itu. Berkali-kali beliau mengucapkan terima kasih dengan wajah sumringah sambil berlalu pergi.

Pak Mudin tidak tahu, sesungguhnya yang mesti banyak berterima kasih adalah saya; hari ini saya mendapat pelajaran yang berharga tentang kejujuran dan keyakinan yang tanpa embel-embel. Kejujuran yang sederhana layaknya ajal yang pasti menjemput setiap mahluk hidup, dan keyakinan yang sederhana layaknya matahari yang pasti terbenam di ufuk barat.

(Muhammad Toha)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun