Novel Negeri 5 Menara sangat inspiratif dengan kisah tentang kebaikan yang menyebabkan orang-orang meraih sukses. Sebenarnya, selain kisah kebaikan yang mengantar orang menjadi sukses perlu juga para sutradara atau novelis berkenan menulis kisah sukses para penilep pajak atau uang negara sehingga mereka menjadi kaya raya.
Mengapa kisah para penilep pajak perlu ditulis? Pertama, kisah itu akan menginspirasi orang lain untuk tidak terjebak dalam prilaku seorang penilep. Kedua, masih banyak rakyat yang belum mengetahui trik dan kiat para penilep pajak, dan pencuri uang negara. Ketiga, apabila rakyat sudah mengetahui kiat mereka, sekurang-kurangnya rakyat atau siapapun dapat mengawasi penggunaan uang mereka. Kalaupun para penilep mencoba untuk “bermain” maka rakyat segera dapat berteriak.
Sekarang malah terbalik, tetangga para penilep cenderung mengelu-elukan sang penilep sebagai orang yang dermawan. Si penilep dianggap sebagai seorang pemurah, tidak pelit, gemasih, dan berbagai istilah positif diberikan kepada mereka. Kalau melihat aktivitas sosialnya, para penilep itu seperti seorang Robin Hood, suka beramal dan membagi-bagikan harta dan kekayaannya kepada orang lain.
Rakyat menduga bahwa Gayus adalah penilep pajak pertama dan terakhir. Hukuman yang diterima Gayus akan membuat jera pegawai Ditjen Pajak yang lain. Ternyata aksi “tikus-tikus” penilep pajak makin mewabah. Meskipun mereka telah memperoleh renumerasi (tambahan gaji yang sangat besar), toh aksi tilep menilep terus saja berlangsung. Aksi mereka menilep pajak membuat kepercayaan penyetor pajak dikhawatirkan menurun, padahal sekitar 70% dari Rp. 1000 trilyun penerimaan negara berasal dari pajak.
Salah seorang penilep pajak yang diduga dapat menyebabkan timbulnya keengganan rakyat membayar pajak dilakukan oleh DW (38) seorang pegawai Ditjen Pajak golongan III/c yang memiliki kekayaan fantastis dan mencengangkan. Angka fantastis di rekening DA berhasil dilacak oleh PPATK. Seperti dilaporkan Metro TV, awalnya rekening DA yang terlacak PPATK hanya sebesar Rp 8 M, namun setelah didalami ternyata dia memiliki rekening di 18 bank. Angkanya juga mencengangkan yaitu Rp 28 M ditambah mata uang US$ senilai Rp. 2,2 M dan 1 Kg emas.
Media massa (mungkin karena kolomnya terbatas) tidak pernah menceritakan secara tuntas, bagaimana kiat seorang Gayus memainkan pajak sampai sebagian masuk dalam sakunya. Berapa banyak orang yang menjadi korban sampai terpidana bersama Gayus, dan bagaimana mereka sampai menjadi korban. Kemudian, bagaimana pula aksi DW dalam menilep pajak, siapa pula yang menjadi pendukungnya.
Saya, mungkin saja para kompasianer dan rakyat Indonesia ingin sekali membaca kisah “inspiratif” Gayus dan Gayus Baru (DW) sejak awal mula mereka bertugas di Ditjen Pajak sampai mereka menjadi seorang yang kaya raya. Kalau ada kompasianer yang bersedia menuliskan kisah itu, sangat mungkin bukunya akan menjadi best seller. Adakah kompasianer yang berani???