Susno Duadji, misalnya, kini harus mendekam di rumah tahanan. Kemudian, Wa Ode Nurhayati yang mengungkap masalah di Banggar DPR-RI, juga harus menghadapi tuntutan hukum. Mereka bagaikan tikus yang nekad memasang lonceng di leher kucing.
Sepertinya, setelah Wa Ode Nurhayati, mungkin tidak ada lagi yang berani menjadi peniup pluit. Hitung-hitung, saat ini lebih aman menjadi penonton di tengah amukan badai. Dan, peniup pluit pun pasti sudah pada tiarap semua.
Paling-paling kalaupun ingin menjadi peniup pluit, mereka akan mendaftar sebagai wasit sepak bola atau kepala stasion kereta api. Itu posisi paling aman bagi seorang peniup pluit untuk saat ini.
Dengan demikian, kita mengharapkan lembaga perlindungan saksi dan korban dapat mencermati kondisi ini sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan. Tanpa perlindungan, jangan harap orang akan berbicara tentang penyimpangan yang terjadi di lembaganya. Akhirnya mafia dan kartel makin merajalela.
Pada suatu saat, negeri ini benar'benar berada dalam cengkeraman mafia. Kita akan berada dalam suasana ketakutan dan kecemasan. Kalau demokrasi hanya melahirkan kecemasan, untuk apa kita harus berdemokrasi?