Islam tidak membiarkan laki-laki bebas melakukan poligami dengan jumlah istri tidak terbatas dan membiarkan perbuatan-perbuatan zalim yang biasa dilakukan laki-laki. Islam membatasi jumlah istri yang bisa dinikahi sesuai dengan kemampuan maksimal laki-laki dalam melakukan tugasnya, yaitu empat istri. Itupun dengan syarat mempunyai kesanggupan untuk memberi nafkah serta bersikap adil diantara mereka. Adil disini adalah segala sesuatu yang bersifat lahiriyah seperti nafkah, tempat tinggal, pakaian giliran dan lain-lain. Sedangkan masalah batin, tentu saja manusia tidak dapat berbuat adil secara hakiki.
Alasan yang melatar belakangi suami melakukan poligami yaitu: keinginan pelaku dan berdasarkan rasa cinta terhadap seseorang, alasan ekonomi, mereka merasa mampu untuk menghidupi lebih dari seorang istri, hubungan gelap sang suami dengan wanita lain yang diawali dari bersenang-senang untuk melakukan hubungan badan dengan wanita lain, lalu tumbuh rasa sayang yang mendalam, sehingga bersedia untuk menikahinya (poligami) dengan cara siri atau tidak tercatat di KUA setempat.
Pembahasan
Pengertian Poligami
Poligami berasal dari bahasa Yunani, kata ini merupakan gabungan dari poly atau polus yang berarti banyak dan kata gamein atau gamous yang berarti kawin atau perkawinan. Maka ketika kedua kata ini digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak, dan bisa jadi dalam jumlah yang tidak terbatas. Sedangkan dalam bahasa arab, poligami sering diistilahkan ta'addud az-zawjat. Poligami menurut kamus bahasa Indonesia ialah ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan.
Istilah poligami jarang dipakai dikalangan masyarakat, dan hanya digunakan dikalangan antropologi saja, sehingga secara langsung menggantikan istilah poligini dengan pengertian perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan yang disebut poligami, dan kata ini digunakan sebagai lawan kata poliandri.
Dasar Hukum
Al-Qur'an
.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuatan (QS. An-Nisa: 3).
Hadis
.
"Dari Aisyah ra. Ia berkata "Nabi membagi bagi sesuatu antara isteri-isterinya, seadil-adilnya dan beliau berkata Ya Allah ini cara pembagianku (yang dapat aku lakukan) maka jangan lah cela aku pada sesuatu yang engkau miliki kecintaan dalam hati) dan itu tak dapat aku miliki (HR. Abu dawud dan Tirmidzi).
Asas perkawinan adalah monogami. Poligami hanya dibenarkan jika dilakukan atas izin isteri dan pengadilan. Pasal 3,4,5 UUP menyatakan : Pasal 3 :(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 : (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 UU ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan didaerah tempat tinggalnya, (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila (a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, (b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, (c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan (lihat pasal 57 KHI). Sementara Pasal 55 KHI menyatakan : (1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan terbatas hanya sampai empat orang isteri, (2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya, (3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang. Memperhatikan pasal 55 KHI ini seakan-akan diterapkan prinsip yang terbalik dari UU Perkawinan, meskipun hakikatnya sama, yaitu bahwa prinsip perkawinan adalah monogami. Dalam pasal 55-59 KHI pada dasarnya poligami hanya dapat dilakukan apabila mendapat izin pengadilan, dan izin pengadilan itu dapat diperoleh apabila ada persetujuan isteri, suami diyakini mampu berbuat adil kepada isteri-isteri dan anak-anaknya, serta mempunyai alasan untuk berpoligami yang disyaratkan oleh aturan perundang-undangan.
Pendapat Para Ulama Tentang Poligami
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum poligami. Masjfuk Zuhdi menjelaskan bahwa Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko atau mudarat daripada manfaatnya; karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dan isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing.
Hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian poligami hanya diperbolehkan bila dalam keadaan darurat, misalkan isterinya mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri.
Poligami Dalam Tinjauan Ushul Fiqih Shighat Amar Dalam Ayat Poligami dan Implikasi Hukumnya
Dafinisi Amar (perintah)Â