Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (38)

5 Januari 2012   11:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:18 135 0
Novel Muhammad Subhan

Hari sudah hampir sore. Tapi belum juga ada tanda-tanda orang akan menjahitkan sepatu atau sendal mereka yang rusak. Benarlah, pekerjaan yang paling membosankan itu bernama menunggu. Aku hampir putus asa. Sungguh berat sekali bekerja. Bukan pekerjaannya yang berat, tetapi menunggu rezeki itu datang. Andai tidak sabar, aku ingin cepat pulang.

Ketika aku memutuskan hendak menutup peti sepatu dan pulang kembali ke Kruenggeukueh, seorang perempuan setengah tua dan seorang anak lelakinya menghampiriku. Wajahnya terlihat kusut. Agaknya dia sedang punya masalah. Entahlah, aku tak memedulikan sikapnya itu. Aku berharap dia mau memanfaatkan jasaku.

“Eh, kau. Mana bapak yang biasa menjahit sepatu di sini?” tanyanya ketus.

Aku berusaha tersenyum ramah.

“Maaf Bu, saya mengantikan bapak saya, beliau lagi sakit di rumah.”

“Oh, kau bisa menjahit?” tanyanya lagi.

“Bisa Bu, baru belajar. Boleh saya tolong menjahit sepatu ibu bila ada yang rusak?” tawarku ramah.

“Kau baru belajar, ya? Ah, besok sajalah!”

Tanpa melihatku lagi perempuan itu berlalu pergi. Anak lelakinya yang berusia sekitar 7 tahun menoleh ke arahku. Tersenyum. Aku balas dengan senyum pula dan anggukan kepala. Ah, mungkin belum rezekiku lagi.

Tak lama kemudian, datang seorang bapak-bapak membawa sepatu yang baru dibelinya. Sepatu berwarna hitam itu terlihat berkilat.

“Eh, kau yang menjahit sepatu?” tanyanya, sama pertanyaan dengan perempuan setengah tua tadi.

“Iya, Pak. Ada yang dapat saya bantu?”

“Ini tolong jahitkan sepatu saya, yang rapi ya? Saya baru beli, biar lebih kuat,” katanya sembari menyodorkan sepatu itu.

Alhamdulillah, rezeki datang ketika hendak pulang. Cepat aku raih sepatu itu. Aku perhatikan telapaknya. Sepatunya mudah dijahit, tidak keras. Mulailah aku beraksi, pertama kali seumur hidupku menjahit sepatu orang.

Setengah jam berlalu begitu cepat. Sepatu itu selesai aku jahit. Alhamdulillah. Berpeluh juga dahi dan tubuhku.

“Ini sepatunya Pak.” Aku menyodorkan sepatu itu kepada si bapak yang duduk memerhatikan aku kerja sejak mula ia membawa sepatu barunya.

“Terima kasih, berapa upahnya?”

Aduh. Berapa ya? Aku tak tahu berapa uang yang harus aku minta sebagai upah atas jasaku itu. Aku memang sering melihat bapak menjahit, tapi jarang aku perhatikan berapa pembayaran upahnya.

“Berapa saja deh, Pak.” Spontan aku mengucapkan kalimat itu.

“Lho, kok begitu?” tanyanya heran.

“Iya, karena sudah sore, Bapak boleh membayar berapa saja. Saya ikhlas,” jawabku sembarangan.

Bapak itu tersenyum. Dia rogoh isi kantongnya. Diberinya aku uang lima ribuan.

“Ini, cukup ya?”

“Alhamdulillah, cukup pak. Terima kasih banyak.”

Aku terima uang itu. Upah pertama kali bekerja sebagai tukang jahit sepatu.

Aku pulang ke Kruenggeukueh sudah agak sore. Tiba di rumah dengan seragam sekolah ketika hari hampir magrib. Ibu kaget melihat aku pulang sesore itu. Biasanya pulang sekolah paling telat jam 3 sore. Kali ini tidak.

“Kau kemana saja sesore ini baru pulang?” selidik ibu.

“Main bola Bu, diajak kawan-kawan.” Aku berbohong. Ada rasa bersalah di hati.

“Tahunya kau bermain saja. Tak kau lihat bapak kau terbaring sakit di kamar? Anak macam apa kau ini?” Suara ibu meninggi. Agaknya ibu marah sekali. Itu kemarahan pertama yang aku lihat sejak pindah di Kruenggeukueh. Aku yakin kemarahan ibu lantaran beban ekonomi, sebab sejak bapak sakit ibu tak punya uang untuk memenuhi kebutuhan dapur yang setiap hari harus ada. Tapi ibu tidak tahu, kalau hari itu aku bolos sekolah dan kerja menggantikan bapak menjahit sepatu. Mencari uang. Lalu bagaimana caranya aku menyerahkan uang lima ribuan hasil jerih payahku hari ini?

Entahlah, aku bingung. Aku terus ke dapur. Kusambar handuk yang menggantung di tali jemuran belakang rumah. Menimba air di sumur lalu mengangkutnya ke kamar mandi di belakang rumah yang dindingnya dibatasi oleh teriplek usang dan ditempeli goni beras bekas. Aku mengguyur tubuhku yang penat usai bekerja seharian. Dari kamar mandi itu masih aku dengar suara ibu berceramah tak karuan, diantara sayup suara batuk bapak di dalam bilik kamarnya yang pengap dan gelap.

Malam itu aku tertidur lelap.

***

Pagi-pagi sekali aku berpamitan lagi kepada bapak dan ibu. Kali ini aku tak berseragam sekolah. Aku tidak mau berbohong lagi. Aku katakan kepada bapak dan ibu kalau kemarin aku bolos, pergi ke Lhokseumawe bekerja menggantikan bapak menjahit sepatu. Aku perlihatkan kepada ibu uang lima ribuan dan sisa uang yang diberi Ustad Ismail pengurus musala.

Bapak tampak marah dalam diamnya ketika aku tetap bekerja menggantikan dirinya yang sakit. Tapi kemarahan itu tak ditumpahkannya kepadaku layaknya ibu bila marah. Melihat uang lima ribuan di tanganku ibu sangat terharu. Uang itu aku serahkan kepada ibu. “Untuk beli beras,” kataku.

Perempuan yang melahirkanku itu memeluk tubuhku dengan erat. Ia menangis. Aku tahu ia sangat menyayangi aku, anak satu-satunya di rumah ini. Bapak memalingkan wajahnya, aku yakin bapak menangis. Bapak sangat mudah tersentuh, apalagi ketika ia tahu aku yang belum cukup dewasa sudah mulai bekerja.

“Hari ini izinkan Agam bekerja lagi, Bu.”

Bapak dan ibu tak menjawab. Masih larut dalam keharuannya.

“Sayang sekolah bila kau tinggalkan, Nak.”

Ibu mengelus kepalaku. Ia tak marah lagi.

“Hanya beberapa hari ini saja, Bu. Aku akan kejar ketertingalan itu nanti. Aku janji akan memberikan nilai terbaik.”

Sekali lagi ibu memeluk tubuhku dengan erat. Aku salami bapak dan ibu. Aku berangkat ke Lhokseumawe lagi. Aku berharap akan dapat uang lebih banyak lagi. Aku siap bekerja keras.

Benarlah, hari itu beberapa orang datang mengupahkan sepatu mereka untuk aku jahit. Hatiku sangat gembira. Walau beberapa orang lainnya yang datang tidak jadi menjahitkan sepatunya lantaran aku anak kemarin sore, tak jadi soal bagiku. Aku yakin rezeki Tuhan tak berpintu. Ustad Ismail melihat semangat kerjaku tersenyum bangga. Dia orang paling baik di dunia menurutku. Betapa tidak, dia datang siang itu seusai salat Zuhur mengantar rantangan dari rumahnya untukku. Istrinya memasak gulai ikan yang sangat lezat.

“Ini untukmu, makanlah,” ujarnya.

Siapa yang tak berbesar hati menerima nikmat yang luar biasa itu? Sudah lama aku tak makan daging ikan. Hari itu Tuhan memberikannya lewat tangan Ustad Ismail, pengurus musala yang baik hati itu.

Sedang asyik menunggu orang datang membawa sepatu atau sendalnya untuk dijahit, tiba-tiba aku berjumpa dengan seorang anak laki-laki jangkung yang wajahnya sangat aku kenal. Anak itu terkejut melihat aku duduk menunggui peti sepatu di antara gang pertokoan di tengah kota yang terik. Anak itu Andi, kawan sekolahku.

“Kau ada di sini? Sudah pulang sekolah?” tanyaku kepadanya.

“Sudah. Kau sendiri tidak sekolah. Guru menanyai kau. Aku mencari ke rumah tadi. Kata ibumu, kau kerja jahit sepatu di sini menggantikan bapak yang lagi sakit,” ujarnya. Matanya awas melihat sepatu-sepatu bekas di atas peti yang aku tunggui.

Aku diam. Ada rasa malu ketika kawan sekolahku tahu pekerjaanku sebagai tukang sol sepatu.

“Ini pilihan yang berat, Kawan. Aku sangat ingin sekolah, tapi aku juga ingin membantu bapak yang lagi sakit. Ini saatnya aku berbakti kepada kedua orangtua,” wajahku menunduk. Ada rasa sedih di sana.

Andi duduk di sampingku. Dia menepuk pundakku lembut. Dia juga terharu melihat aku bekerja menjadi tukang sol sepatu. Seharusnya aku dan dia bermain di lapangan sepakbola, bersenang-senang bersama anak-anak lainnya.

“Besok kau latihan Pramuka, kan?”

Aku menggeleng.

“Kenapa?” tanyanya lagi.

“Aku tak punya kacu,” jawabku.

“Kau tunggu di sini,” katanya tiba-tiba.

“Kau mau kemana?”

Andi tak menjawab. Anak itu terus pergi meninggalkanku sendiri. Tubuhnya menghilang di antara pertokoan. Tapi tak lama kemudian dia sudah berdiri lagi di hadapanku sembari menyodorkan sesuatu.

“Apa ini?” tanyaku. Aku buka bungkusan kertas koran yang disodorkannya. Aku terkejut sebab benda itu adalah kacu Pramuka. Dia membeli kacu itu dengan uangnya sendiri.

“Kau harus latihan Pramuka besok. Aku tunggu.”

Aku terharu. Besar sekali perhatian anak itu kepadaku. Aku tersenyum. Dia juga tersenyum. Dalam hati aku berjanji, suatu saat nanti giliran aku yang akan menolongnya. (bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun