Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ketika “Gadih Gadang” di Minang "Betah" Berstatus Lajang

29 Desember 2011   08:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:37 397 0
Oleh: Muhammad Subhan

Di kalangan mahasiswa ada gurauan yang cukup relevan. Kata mereka, gadis-gadis yang baru jadi mahasiswa menganut prinsip “siapa saya” dalam menentukan pilihan. Mereka masih merasa cantik dan memilih-milih. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa dan merasa lebih mapan, mereka mengatakan “siapa kamu”. Ketika itu mereka mulai serius memikirkan laki-laki dan menimbang-nimbang masa depan. Ucapan mereka berubah jadi “siapa mau” setelah mau jadi sarjana, namun belum juga beruntung dapat pasangan. Setelah dua tahun jadi sarjana mereka mulai menyerah dan mengatakan “siapa saja”. Suami orang boleh, duda juga boleh, apalagi perjaka!”

Pameo di atas saya kutip dari catatan kaki tulisan Emeraldy Chatra berjudul “Gadih Gadang Indak Balaki: Pengorbanan Perempuan untuk Ideologi Monogami” yang dimuat dalam SIGAI Jurnal Sosiologi, Vol. 1, No. 2/2000 yang diterbitkan Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Padang (Mohon izin bang Emeraldy, he-he… Lanjutkan!). Meski sebuah pameo yang hanya gurauan, namun bukan tidak mungkin hal itu terjadi pada perempuan-perempuan di Minangkabau (Sumatera Barat). Dan, “Gadih Gadang Indak Balaki” (gadis tua tidak/belum bersuami atau perawan tua—pen) yang ditulis Emeraldy Chatra ini benar-benar akan menjadi isu kebudayaan pada masa-masa mendatang di Sumatera Barat.

Belum ditemukan data penelitian berapa banyak kaum perempuan di Sumatera Barat yang berusia di atas 25 tahun (pemerintah menetapkan usia pernikahan ideal untuk perempuan 20 tahun dan laki-laki 25 tahun—pen) namun belum mendapatkan pasangan hidup (suami). Fakta di lapangan sering ditemui bahwa kaum perempuan di Sumatra Barat menikah di atas usia ideal itu sehingga seringkali terungkap kata-kata “terlambat”. Kata “terlambat” ini pula sering diidentikkan sebagai “perawan tua”.

Jika di masa “saisuak” gadis-gadis Minangkabau dinikahkan pada usia yang sangat muda (antara usia 14 tahun hingga 18 tahun), namun di era modernisasi sekarang ini semua itu berubah 180 derajat. Hal ini terjadi akibat memudarnya peran mamak pada kemenakan. Sairin (1992) menyoroti masalah perawan tua di Minangkabau dalam konteks perubahan eksistensi ”mamak” dengan berubahnya penyebutan menjadi “oom”, “etek” jadi “tante”, “mande” dan “amai” jadi “mami”. Begitupula peran orang tua pada anak-anaknya semakin besar terhadap anak dibanding peran mamak.

Terjadinya “gadih gadang indak balaki” sekarang ini lebih menonjol akibat faktor ekonomi. Seorang perempuan cenderung memilih pasangan hidup jika pekerjaan calon suaminya mapan (apalagi berstatus PNS) dan berpendidikan tinggi. Faktor lain yang cukup penting, mamak tak lagi berperan kuat dalam menentukan jodoh kemenakannya sehingga mamak sering terkesan merestui saja.

Dan, “gadih gadang indak balaki” ini pun menjadi kecemasan tersendiri di kalangan kaum perempuan. Tak heran jika sebagian perempuan yang belum bersuami memberanikan diri mengirim surat ke media massa agar niatnya mendapatkan suami dimuat di kolom Biro Jodoh (di Sumatera Barat, di masa lalu, hanya koran Haluan yang masih bertahan dengan kolom Biro Jodohnya—pen). Dan, menunggu jodoh itu datang, kaum perempuan mencoba masuk ke berbagai lapangan pekerjaan; mulai dari guru, dosen, staf perkantoran, perhotelan, pengusaha, pekerja media, hingga pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dilakoni kaum lelaki pun mulai dicoba untuk digeluti.

Terakhir, tulisan ini hanya sebuah refleksi; renungan untuk kita semua. Tidak ada maksud untuk menyudutkan kaum perempuan. Piss, deh! (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun