21
KACU PRAMUKA
Suatu hari di Sabtu pagi, dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan berseragam Pramuka masuk ke kelasku di I-3. Ketiga anak itu kelas dua. Mereka anggota Pramuka di SMP Palda. Berseragam Pramuka seperti itu, membuat mereka tampak gagah dan berwibawa. Mereka masuk mengetuk pintu lalu minta izin kepada guru kelas untuk menyampaikan sesuatu kepada kami warga kelas.
Yang paling tegap dan tinggi badannya memperkenalkan diri sebagai Yono. Dia orang Jawa. Temannya Lim, dan yang perempuan Linda. Kami memanggil mereka dengan sebutan Kakak, disamping mereka memang lebih tua usianya dari kami yang masih kelas satu. Kak Yono menyampaikan bahwa Pramuka SMP Palda setiap tahunnya menerima siswa yang ingin menjadi anggota Pramuka. Saat itu juga direkrut siswa yang berminat. Tidak ada pemaksaaan. Siapa yang mau saja.
Aku tolehkan pandangan kiri kanan. Andi, kawanku yang duduk di pojok tengah kelas mengacungkan tangan. Lalu disusul Susi, anak yang paling cantik di kelas dan rambutnya berkepang dua juga mengacungkan tangannya. Said, kawanku yang paling pendek dan kecil tubuhnya mendaftar juga. Lalu disusul beberapa kawan yang lain. Karena banyak di antara kawan-kawanku yang minat menjadi anggota Pramuka, spontan juga aku mengacungkan tangan mendaftarkan diri. Aku ingin mencari pengalaman dan tentu juga kawan pada setiap latihan.
Nama-nama yang mengacungkan tangan itu dicatat oleh Kak Linda yang bertugas sebagai pendata anggota baru. “Kamu siapa namanya?” tanya Kak Linda sembari menoleh ke arahku.
“Agam,” jawabku.
“Mulai Sabtu depan, sore jam 3 kita latihan. Adik-adik anggota baru diharapkan berseragam semuanya. Silakan beli atribut Pramuka di toko peralatan Pramuka terdekat,” ujar Kak Yono. Dia tersenyum memandangi kami satu persatu. Tak lama kemudian ketiga anak Pramuka itu pamit dan beranjak ke kelas sebelah.
Pelajaran pun dilanjutkan kembali. Tapi pikiranku tidak fokus. Yang terbayang-bayang di benakku, dari mana uang untuk membeli peralatan Pramuka itu? Aku tak berani meminta uang kepada bapak atau ibu. Sebab akhir-akhir ini, sejak pindah ke Kruenggeukueh, pendapatan bapak semakin berkurang. Ibu pun tidak berjualan kue lagi. Ibu hanya membantu mencuci dan menggosok di rumah seorang camat di dekat rumah. Tak ada pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang tambahan.
Di saat jam istirahat aku duduk di pojok ruang laboratorium. Kawan-kawanku yang lain bergerombolan ke kantin yang berada di samping sekolah. Jajan tentunya. Hari itu aku tak punya uang jajan. Saat duduk-duduk, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. Andi, kawan sekelasku.
“Ngapain kau di sini?” tanyanya. Dia datang dengan membawa dua buah pisang goreng. “Ini untukmu satu.”
“Terima kasih. Aku duduk-duduk saja,” jawabku sembari menerima pisang goreng yang disodorkannya.
“Kau ikut Pramuka kan? Tadi aku lihat kau mendaftar juga.”
“Ya. Kau juga tentu.”
Dia mengangguk. Kami duduk bersama sambil bercengrama. Tiba-tiba aku menjadi akrab dengan anak itu.
Andi tubuhnya hampir sama tinggi dengan tubuhku. Kami sama-sama jangkung. Dia dan orangtuanya tinggal di sebuah rumah kontrakan di depan Pabrik PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). PT ASEAN dan PT PIM berdampingan. Sama-sama memproduksi pupuk Urea. Di depan pabrik PT PIM berdiri megah Komplek Perumahan, rumah-rumah yang dihuni oleh pejabat dan karyawan pabrik itu. Saat aku bermain di rumah Andi kawanku, sesekali ia mengajakku bermain ke komplek perumahan PT PIM. Sering pula kami dikejar satpam yang menjaganya. Aku dan Andi sama-sama berasal dari keluarga yang sederhana, tetapi ekonomi keluarga Andi masih lebih baik dari ekonomi keluargaku.
***
Hari Sabtu yang ditunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga. Sehabis pelajaran sekolah aku bergegas pulang ke rumah. Aku sampaikan kepada ibu bahwa sore itu aku akan mengikuti latihan Pramuka. Ibu memberi izin. Setelah makan siang dan salat Zuhur, aku bersiap kembali ke sekolah. Seragam Pramuka yang aku kenakan tidak aku lepas. Di sekolah kami, setiap hari Jumat dan Sabtu diwajibkan memakai pakaian Pramuka yang berwarna cokelat itu.
Aku ke sekolah hanya berpakaian Pramuka saja, tanpa atribut lainnya. Aku kira kakak-kakak yang melatih kami akan maklum karena kami anak baru. Aku keluar rumah berjalan kaki ke sekolah. Di sepanjang jalan aku bersiul-siul untuk menghilangkan lelah. Perjalanan sejauh 3 kilometer aku kira tidak pendek, jadi dengan bersiul-siul begitu jarak yang jauh dari rumah dan sekolah terasa singkat.
Setibanya di sekolah aku lihat banyak anak-anak baru yang akan menjadi anggota Pramuka. Sebagian mereka berseragam atribut lengkap, memakai topi Pramuka, kacu yang berbentuk dasi di leher mereka, juga ada tali komando yang bergantung peluit diselipkan di saku baju. Berseragam seperti itu, semua kawan-kawanku terlihat gagah-gagah. Yang perempuan tentu cantik-cantik. Aku merasa iri kepada mereka sebab tubuhku tidak dilengkapi atribut semacam itu. Walau demikian aku tetap diterima masuk menjadi anggota baru di regu Pramuka muda SMP Palda.
Di hari pertama itu dimulai dengan perkenalan semua anggota baru. Pelatih kami bernama Kak Rudi. Dia alumni SMP Palda juga. Dia orang Medan. Suaranya besar bila berteriak. Badannya tegap dan berisi. Matanya tajam. Kami semua segan kepadanya. Dialah yang menyebutkana bahwa regu laki-laki adalah Regu Badak, dan yang perempuan Regu Padi. Nomor Gugus Depan (Gudep) Pramuka kami B. 073-074. Dalam barisanku satu regu berjumlah 10 orang. Urutan barisannya yang paling tinggi di depan. Aku dan Andi sama tinggi. Kadang dia di depan, kadang juga aku yang di depan. Selalu bergantian. Yang paling belakang Said, karena dia paling kecil dan pendek. Pemimpin regu kami bernama Yudha, anak kelas I-1, badannya tegap dan berisi tapi lebih pendek dari tubuhku.
Sehabis perkenalan, hari itu kami latihan baris berbaris. Kak Rudi setiap saat berteriak, jalan harus tegap dan langkah harus serentak. Bila salah hukuman kena push-up atau lari keliling lapangan. Semua kami takut kena hukuman. Yudha, Pinru kami paling lantang suaranya bila memberi perintah siap dan hormat. Geraknya juga gesit, dia menjadi perhatian siswa-siswa di sekolah kami, khususnya anak-anak perempuan. Setiap kali upacara bendera, dia selalu yang menjadi komandan upacara. Kehebatannya itu sering membuat aku iri. Tapi aku tak bisa menyaingi dia, sebab aku benar-benar anak yang minder, pemalu dan pendiam di sekolah.
Ketika jam latihan akan berakhir, aku dipanggil Kak Rudi. Dia menepuk-nepuk pundakku. Kedua matanya tajam menatap ke arahku. Aku menunduk dan tak berani menentang wajahnya.
“Kau mau ikut latihan?”
“Siap, mau Kak,” jawabku.
“Keraskan perutmu!” perintahnya.
Spontan aku mengeraskan perutku. Entah untuk apa. Tapi tiba-tiba dia mengayunkan tinjukan ke perutku.
“Hegh!”
“Sakit?”
“Siap, tidak, Kak!” jawabku berdusta. Walau tinjunya tidak terlalu kuat, tapi lumayan sakit juga.
Dia mengayunkan tinjunya lagi hendak mendarat ke perutku. Tapi sebelum tinju itu mengenai perut, aku sudah mengeluarkan suara “Hegh!”
Tiba-tiba Kak Rudi tertawa keras. Tinjunya ditarik kembali tak jadi memukul perutku. Semua kawan-kawanku yang berada di bawah pohon rindang di dekat musala sekolah sehabis latihan memalingkan wajah melihat ke arah kami.
“Siapa nama Kau?” tanya Kak Rudi sembari menepuk-nepuk pundakku.
“Siap, nama saya Agam, Kak!”
“Kau pendiam, tapi lucu, ya?”
Aku tersenyum. Posisi tubuhku tetap dalam keadaan siap. Kedua tangan lurus merapat di samping paha. Jari-jari mengepal dalam posisi siap.
“Banyaklah kau makan. Lihat perut kau kempes begitu. Oke!”
“Siap, oke, Kak!”
“Satu lagi, Sabtu depan pakai Kacu Pramuka !” Perintahnya sembari membetulkan krah bajuku yang dilihatnya tidak rapi.
Sesudah itu dia pergi ke ruang Pramuka di dekat musala. Tak lama keluar lagi. Semua kami diperintahnya berkumpul. Posisi kami dalam keadaan berdiri istrahat. Kak Rudi memberi arahan-arahan penutup latihan. Setelah itu kami bubar dan kembali ke rumah masing-masing. (bersambung)