18
LULUS SEKOLAH
Kepergian Darmawi yang tidak disangka-sangka itu sangat memukul batinku. Itulah pertama kali aku melihat jasad manusia terbujur kaku tak lagi bernyawa dan dikuburkan ke dalam liang lahat. Tubuhnya berbalut kain kafan putih. Usianya sangat muda untuk kembali ke pangkuan Tuhan. Di dunia ia sering dihina anak-anak seusianya, di akhirat kelak tentu ia manusia mulia lantaran belum berdosa.
Ibu Darmawi tak sadarkan diri sejak ia ketahui anak satu-satunya itu telah meninggal dunia. Semua guru dan murid di sekolah kami datang melayat, tak terkecuali penjaga sekolah. Semua ikut berduka atas kepergian Darmawi, anak yang paling jago menggambar dan selalu memenangkan setiap perlombaan menggambar di kota Lhokseumawe. Dia anak yang disebut-sebut idiot, dungu, tapi hanya dia yang dapat mengharumkan nama baik sekolah, tidak anak-anak lainnya.
Darmawi, aku bangga kepadamu.
Sepeninggal Darmawi, aku tetap bersekolah di SD Negeri 1 Lhokseumawe. Duduk di bangku kelas enam, tentunya tak lama lagi aku akan meninggalkan sekolah. Aku bertekad meraih peringkat terbaik. Aku ingin membuat bapak yang tukang sol sepatu itu bangga. Aku ingin melihat ibu yang tukang cuci dan penjual kue tersenyum haru menatapku. Ah, aku sudah tak sabar segera tamat dari sekolah ini.
Waktu terus berlalu. Gambar kapal terbang yang dihadiahkan almarhum Darmawi sahabatku aku gantung di dinding kamar. Aku meminta bapak membingkai gambar itu. Setiap malam sebelum tidur aku selalu memandangi gambar kapal terbang yang bersayap lebar. Aku berkhayal kalau-kalau aku duduk didalam kapal terbang itu sembari melambaikan tangan keluar jendela dan tersenyum bangga kepada dunia. Aku ingin menjelajahi negeri-negeri jauh yang aku lihat pulau-pulaunya di buku peta yang ada di perpustakaan sekolah. Di buku-buku ensklopedia dunia untuk anak-anak yang paling suka aku baca, aku lihat kekayaan alam negara-negara di Asia dan Eropa. Aku ingin menjelajahi semua itu. Aku yakin aku bisa. Aku harus menunjukkan kepada dunia bahwa anak tukang sol sepatu dan tukang kue ini mampu menjadi yang terbaik untuk Indonesia.
Di dalam mimpi aku sering bertemu Darmawi. Anak itu datang sembari tersenyum. Ia selalu membawa kertas dengan gambar-gambar terbaru. Dia melukis taman-taman yang indah di sorga.
***
Ketika akan tamat sekolah, aku dengar perbincangan serius antara bapak dan ibu. Bapak mengatakan kami akan pindah rumah. Pemilik rumah menaikkan harga kontrakan yang dua kali lipat besarnya dari harga semula. Tentu saja bapak dan ibu tidak sanggup membayarnya. Rumah-rumah kontrakan di tengah kota Lhokseumawe kian hari kian bertambah mahal saja. Kami tidak pernah bermimpi membangun rumah sendiri, membeli tanah misalnya lalu mendirikan rumah. Mustahil itu, sebab untuk makan saja susah.
“Kemana lagi kita akan pindah, Pak?” tanya ibu dengan wajah murung.
“Kita cari rumah yang jauh dari kota, tentu lebih murah harga sewanya,” jawab Bapak.
Ibu menarik napas dalam-dalam. Lalu melepaskannya pelan. Aku sangat merasakan betapa beratnya pikiran bapak dan ibu saat itu.
“Bapak punya kenalan di Kruenggeukueh, sebuah kampung dekat pabrik pupuk ASEAN. Nanti bapak coba menanyakan apakah ada rumah di sana yang bisa disewa.”
“Berapa jauh kampung itu dari tempat kerja Bapak?”
“Sekitar setengah jam naik bus kota.”
“Jauh sekali. Bagaimana dengan pekerjaan Bapak nanti?” tanya ibu bertambah was-was.
“Aku akan tetap kerja di Lhokseumawe, karena hanya pekerjaan itu yang aku bisa. Aku naik bus saja.”
“Tentu uang keluar akan bertambah, untuk ongkos bus pulang pergi, Pak?”
“Ya, mau bagaimana lagi. Kita harus berhemat, Bu. Semoga di daerah yang baru Allah menambah rezeki kita,” jawab Bapak dengan penuh keyakinan.
Aku hanya menyimak saja berbincangan antara ibu dan bapak dari bilik kamar tidur. Aku bayangkan bapak setiap pagi dan petang pergi pulang naik bus kota ke Lhokseumawe. Kalau bapak lagi dapat uang aku maklumkan keadaan itu, tapi bagaimana bila dalam sehari itu tak seorang pun yang memanfaat jasa bapak? Tentu tak ada uang yang akan dibawa pulang. Mungkin saja bapak akan meminjam uang kepada kawan-kawannya, tapi bila sering dilakukan hanya akan menambah beban pikiran bapak dan ibu. Oh, Tuhan. Bukalah pintu rezeki kedua orangtuaku.
Bulan berganti bulan dan waktu yang ditunggu-tunggu itu datanglah juga. Aku mengikuti ujian akhir. Hasilnya, alhamdulillah aku lulus. Bapak tidak bekerja seharian itu. Bapak datang ke sekolah bersepeda onta dari rumah. Berdebar-debar bapak menunggu hasil pengumuman kelulusan. Itu terlihat dari wajah bapak. Bapak khawatir kalau-kalau aku tidak lulus.
Saat namaku dipanggil kepada sekolah, bapak maju ke muka kelas dengan tergopoh-gopoh. Bu Fauziah, kepala sekolahku tersenyum melihat bapak. Bapak menyalami Bu Fauziah penuh takzim dan bapak duduk di depan meja Bu Fauziah yang diatasnya menumpuk raport dan map berisi ijazah.
“Agam lulus, nilainya bagus. Selamat ya, Pak.”
Bapak melihat isi raportku. Paling rendah angka tujuh, paling banyak angka delapan. Bapak menoleh ke belakang dan memandangku sembari tersenyum bangga. Bapak tampak gembira sekali.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak, Bu.”
Bapak kembali menyalami Bu Fauziah, mencium kedua tangannya.
“Ke SMP mana Agam akan meneruskan sekolah?” tanya Bu Fauziah lagi kepada Bapak. Sejenak Bapak diam.
“Kami akan pindah rumah, Bu.”
“Pindah? Kemana?”
“Ke Kruenggeukueh.”
“Oh, jauh sekali. Berarti si Agam akan sekolah di sana, ya?” tanya Bu Fauziah lagi.
“Mohon doa Ibu semoga ada rezeki saya menyekolah anak saya.”
“Amin. Teruslah si Agam sekolah. Dia anak yang baik dan rajin belajar. Jangan sampai terputus di tengah jalan,” pinta Bu Fauziah.
“Insya Allah, Bu. Saya akan berusaha selalu.”
Bapak pamit kepada Bu Fauziah. Sekali lagi bapak menyalami kepala sekolahku itu. Tapi sebelumnya aku disuruh bapak maju ke depan dan menyalami Bu Fauziah juga. Aku berdiri dan maju dengan agak malu. Aku salami tangan Bu Fauziah. Bu Fauziah memandangku sembari tersenyum. Kepalaku diusap-usapnya dengan penuh kasih sayang.
“Kau pasti akan merindukan perpustakaan sekolah ini. Nanti kalau sudah masuk SMP, makin giatlah baca buku di perpustakaan ya?”
Aku mengangguk. Bu Fauziah sering melihat aku membaca buku di perpustakaan sekolah. Ruang perpustakaan berada di samping kantor kepala sekolah.
“Terima kasih Bu,” jawabku sembari berjanji akan mematuhi nasihat Bu Fauziah. Aku suka sekali membaca buku, apalagi buku-buku cerita, komik khususnya.
Bapak memboncengku pulang ke rumah. Di jalan bapak bersiul-siul. Ia tampak bergembira sekali. Di belakangnya aku duduk dengan tersenyum pula. Satu urusan sudah selesai. Tamat sekolah dasar. Aku akan menjadi anak SMP tak lama lagi. Tapi akankah bapak mampu menyekolahkan aku nanti? Ah, entahlah. Macam-macam saja pikiranku ketika menatap masa depan yang terasa buram. (bersambung)