20
RUMAH BARU SEKOLAH BARU
Aku menemui Din Patuk di rumahnya. Anak itu sedang menggulung benang layang-layang. Sekarang memang sedang musim layangan. Anak-anak bermain layangan di pinggir laut. Mereka bisa memanfaatkan angin darat ataupun angin laut. Hamparan pantai yang yang luas dan landai memungkinkan bermain layangan, apalagi bila laut sedang tenang dan tidak berombak besar.
Ah, terkenang aku masa kecil di Tembung dulu ketika aku dan Bondan, kawan karibku, menang adu layangan dengan anak-anak kampung tetangga yang sombong. Entah bagaimana kabar anak itu sekarang. Tentu dia akan masuk SMP pula seperti aku, atau tidak sama sekali mengingat ekonomi kedua orangtuanya tak jauh beda dengan keluargaku. Tapi aku berdoa dan berharap Bondan meneruskan sekolahnya.
“Aku dengar kau akan pindah, Gam?” tanya Din Patuk ketika aku telah masuk dan duduk di ruang tengah rumahnya. Di rumah itu dia sendiri saja. Bapaknya pergi melaut. Ibunya ke pasar.
“Iya, Din. Bapak dan ibuku akan pindah rumah, tentu aku akan ikut serta. Katanya ke Kruenggeukueh, di mana itu?”
Aku duduk mendekat Din Patuk. Kerjanya menggulung benang layangan hampir selesai. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore.
“Aku pernah sekali lewat kampung itu. Dibawa bapakku ke rumah paman di Bireuen. Kruenggeukueh dekat pabrik ASEAN, itu pabrik pupuk paling besar di Aceh,” jawab Din Patuk.
“Apakah di sana seramai di kampung ini, Din?”
“Sama sajalah aku kira, tapi lebih ramai Lhokseumawe tentunya. Ini kan kota. Di sana hanya kampung saja.”
Aku mengangguk. Anak itu terus menyelesaikan kerjanya.
“Kau bisa main layangan?” tanya Din Patuk mengalihkan pembicaraan.
“Waktu aku kecil di Tembung, aku sering main layangan. Adu layangan juga. Tapi aku jarang menang. Sekarang lagi musim layangan, ya?”
“Iya, sore ini di pantai banyak anak-anak adu layangan. Kau mau ikut?”
“Ah, aku lihat-lihat saja kau mainlah,” jawabku.
“Kenapa?”
Nanti aku harus cepat pulang. Aku mau bantu Ibu mengemasi barang yang akan dibawa pindah,” jawabku.
“Apa bapak kau sudah dapat rumah di sana?”
“Belum. Tapi sore nanti bapak akan mendapat jawaban dari Pak Fakhurudin, teman bapakku. Pak Fakhrudin yang membantu mencarikan rumah kontrakan di sana.”
Din Patuk diam. Kerjaannya telah selesai.
“Kau masuk ke SMP mana?” tanyaku kepada anak itu. Sesaat dia memandang ke arahku. Lalu tersenyum.
“Inginnya sih SMP Negeri 1, tapi sainganku di sana hebat-hebat. Pintar-pintar. Anak orang kaya semua. Tak mungkinlah aku bisa lulus masuk ke situ. Paling bisa masuk ke SMP 2.”
“Cobalah dulu, jangan kalah sebelum berjuang, kawan?”
Din Patuk tertawa. Dia mengangguk-anggukkan kepala.
“Tentu. Kemarin aku sudah mendaftar. Kau doakanlah semoga aku bisa sekolah di sana,” katanya kemudian. “Nah, kau sendiri sekolah dimana?” tanya Din Patuk kepadaku.
“Belum tahu. Mungkin di salah satu SMP di Kruenggeukueh itu. Aku tidak tahu apakah sekolah di sana jauh atau tidak.”
“Ya, aku kira di sana juga ada sekolah.”
“Semoga saja, dan mudah-mudahan bapakku punya uang untuk mendaftarkan aku masuk sekolah,” jawabku.
Hari terus beranjak. Din Patuk mengajakku ke pantai. Dia mau ikutan adu layangan. Tentu saja aku senang. Setidaknya aku bisa terkenang ingatan lama ketika masa-masa kecil dulu bermain layangan di Tembung. Tapi aku tak boleh lama-lama. Aku sudah berjanji kepada ibu akan membantunya mengemasi barang-barang yang akan dibawa pindah ke Kruenggeukueh, tempat tinggal baru kami. Beberapa hari lagi masa kontrakan kami habis. Kalau belum pindah, tentu kami harus membayar uang sewa untuk bulan berikutnya.
Di pantai landai berpasir putih kekuningan aku lihat banyak anak-anak seusiaku menerbangkan layangan. Tidak hanya anak laki-laki, tapi juga beberapa diantaranya anak perempuan. Wajah-wajah mereka ceria. Di langit puluhan layangan bermancam rupa dan warna mengudara. Indah sekali pemandangan sore itu.
Din Patuk segera menerbangkan layangannya. Dalam sekejap melayanglah layangan kertas minyak berwarna merah menyala milik Din Patuk di angkasa. Layangan itu naik melenggak-lenggok dengan anggunnya. Senyum Din Patuk mengembang. Dia terus mengulurkan benang layangannya hingga layangan itu terbang tinggi sekali. Dari jauh terdengar teriakan beberapa orang anak-anak yang mengajak Din Patuk bertanding, adu layangan. Din Patuk menyambutnya dengan menganggukkan kepala.
Aku menyaksikan Din Patuk dengan lihainya memainkan layangan. Ternyata dia ahli juga mengadu layangan. Dalam sekejap dua-tiga layangan lawan putus dibuatnya. Tapi dia harus menyerah kalah ketika tiga layangan lawan secara bersamaan menyerang layangannya, lalu tiba-tiba putuslah benang layangannya dan layang berwarna merah itu jatuh meliuk-liuk ke laut. Tak ada yang mengejar, karena angin sepoi bertiup ke laut dengan sangat tenangnya.
“Sial! Aku kalah!” teriaknya sembari membanting gulungan benangnya.
Aku tersenyum. Aku rangkul pundak kawanku itu.
“Kau sudah menang, kawan. Bukankah tadi tiga layangan lawan sudah kau jatuhkan? Kau hebat!” pujiku menenangkan dirinya.
“Tetap saja sekarang aku kalah!”
“Ya, layangan kau dikeroyok tiga lawan, tentu tidak imbang dong. Kalau satu lawan satu aku yakin kau akan menang terus,” ujarku lagi. Wajahnya masih terlihat dongkol.
“Sudahlah, ayo kita pulang,” ajaknya.
Gulungan benang yang dia campakkan tadi dia pungut kembali. Aku senang melihat dirinya mulai tenang.
“Kau kan punya dua layangan?” tanyaku sembari mengamati satu layangan lagi yang menggantung di punggungnya.
“Tapi kau kan mau cepat pulang?” dia balik bertanya.
Aku tersenyum. Mengangguk.
“Aku main ke rumah kau saja,” kata Din Patuk lagi.
“Ayolah.”
Kami pulang meninggalkan pantai. Di jalan kami tak banyak bicara. Aku tahu hatinya belum dapat menerima kekalahan itu. Tak lama kemudian tibalah kami di rumahku.
“Masuklah,” ajakku.
Din Patuk masuk sesudah mengucapkan salam. Ibu di dapur melihat kami datang. Sebagian isi rumah sudah kosong. Ibu yang mengemasinya. Kemarin bapak juga membantu mengemasi barang-barang lainnya. (bersambung)