Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (30)

21 Desember 2011   06:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:57 137 0
17
SI JAGO GAMBAR TELAH TIADA


Ketika aku duduk di bangku kelas enam, Darmawi sahabat karibku yang dikatakan orang sebagai anak idiot itu jatuh sakit. Dia mengidap penyakit ayan. Di saat jam istirahat, tiba-tiba anak berbadan besar itu terjatuh. Sebelum ia tak sadarkan diri ia mengatakan kepalanya terasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Tubuhnya berkeringat dingin yang membasahi pakaian seragam putih merah yang ia kenakan. Saat Darmawi terjatuh, dari mulutnya keluar busa putih yang kental.

Siang itu terpekiklah seluruh murid perempuan di kelasku melihat kondisi Darmawi demikian. Aku berlari mendekati tubuh anak itu. Aku guncang-guncang badannya. Tapi dia tidak bergerak, sementara kedua matanya tetap terbuka. Kawan-kawanku yang perempuan sebagian histeris dan menangis. Darmawi sudah tak sadarkan diri.

Semua murid takut melihat kondisi Darmawi yang sangat ngeri itu. Aku berlari ke ruang kepala sekolah. Berteriak-teriak. Hebohlah seluruh guru. Murid-murid di kelas lain ikut pula datang berkerumun ke kelasku, melihat apa yang terjadi. Kepala sekolah dan seluruh guru datang melihat dan cepat melakukan pertolongan. Akhirnya Darmawi dilarikan ke rumah sakit.

Tiga hari Si Jago Menggambar itu tak sadarkan diri. Dia terbaring lemah di ranjang yang berkain putih. Sekali sadar dia kejang-kenang lagi. Kasihan aku lihat ayah ibunya yang menunggui dia dengan teramat sedih. Ibunya tak henti-henti menangis. Terdengar pula bisik-bisik kedua orangtua itu dengan apa biaya rumah sakit akan dibayar. Mereka orang susah seperti juga keluargaku. Mendengar itu aku hanya bisa termenung dan menahan kesedihan lantaran aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Hanya kepada Tuhan aku berdoa semoga sahabatku itu diberikan kesembuhan kembali.

Beberapa hari Darmawi tidak masuk sekolah, ada suasana yang berbeda dari hari-hari biasanya. Ruang kelas terasa sepi tanpa sosok anak itu. Aku pandangi bangkunya yang kosong. Wajah-wajah kawanku pun seolah terlihat lesu. Guru mengajar di depan kelas juga lesu.

Aku teringat bagaimana Darmawi dizalimi oleh kawan-kawanku yang tidak menyukai dia. Anak itu diejek karena kekurangan dirinya.

“Hooiii... lihat tuh telinga Darmawi, tungkiknya meleleh...!”

“Pergi kau anak dungu, jangan dekat-dekat aku!”

“Jangan mau berkawan sama dia, nanti buku kau diconteknya!”

Begitulah anak itu mendapat perlakukan yang tidak adil oleh teman-temanku di sekolah. Kadang dia terlihat marah dihina begitu, tapi lebih banyak diam lantaran ia sudah sering ditegur guru agar tidak berbuat onar lagi. Tapi sebenarnya Darmawi tidak pernah memulai, malah kawan-kawanku yang memulai dahulu, atau tepatnya berbuat onar kepada Darmawi. Siapa yang tak sakit dilecehkan? Tapi posisi Darmawi serba sulit. Tidak melawan ia akan terus menjadi bahan hinaan. Melawan dia pula yang dianggap bersalah karena memukul anak orang, sampai menangis dibuatnya. Ah, hidup ini kadang tidak adil.

Ketika Darmawi telah keluar dari rumah sakit, anak itu mulai jarang masuk sekolah. Kadang masuk kadang tidak. Bapaknya yang buka bengkel sepeda di depan masjid tak jauh dari sekolah kami, sering aku lihat mengantar dia sekolah. Bila anak itu tidak datang, bapaknya yang datang menemui guru kelas mengantarkan surat bahwa anaknya sakit lagi. Begitu selalu. Kondisi kesehatan sahabatku itu semakin menurun.

Suatu hari di hari minggu, aku minta izin kepada bapak untuk tidak ikut menemani bapak menjahit sepatu. Aku ingin main ke rumah Darmawi, melihat kawanku itu.

“Kau tahu rumahnya?” tanya Ibu.

“Tahu Bu, dulu pernah diajaknya main ke rumahnya di Ujongblang.”

“Apa, Ujungblang? Itu jauh sekali.”

Kening Bapak tampak berkerut ketika aku menyebut nama daerah tempat tinggal Darmawi.

“Sebaiknya jangan kau pergi ke sana. Ikut Bapak saja.”

“Sebentar saja, Pak. Darmawi sakit. Aku ingin melihat dia apakah baik-baik saja. Aku mohon Bapak dan Ibu mengizinkannya,” pintaku mengharap belas kasihan Bapak dan Ibu.

Keduaorangtuaku itu saling pandang. Diam. Menarik napas dalam-dalam.

“Ya sudah. Kau harus berjanji jangan lama-lama di sana. Sehabis dari rumahnya langsung ke tempat Bapak. Bapak antar sampai simpang Masjid Raya, sesudah itu nanti kau naik angkot ke Ujongblang.”

Alhamdulillah, bapak akhirnya memberi aku izin. Aku gembira sekali. Aku salami tangan kedua orangtuaku itu. Hari minggu ibu tidak berjualan kue. Ibu mencuci pakaian orang yang sudah menumpuk di kamar mandi rumahku.

Pagi itu bapak mengeluarkan sepeda ontanya. Bapak berbaju kemeja dan bercelana panjang kain kasar yang dia jahit sendiri waktu menjadi tukang jahit di Medan. Sejenak bapak memeriksa ban sepeda ontanya, apakah baik-baik saja atau kurang anginnya. Sepeda itu masih baik. Bapak kemudian menyuruhku naik di tempat duduk bagian belakang. Bapak mengayuh sepeda itu pelan.

“Hati-hati di jalan, Pak,” teriak ibu melepas kepergian kami.

Bapak membunyikan bel sepedanya yang bersuara kring-kring. Sepeda itu terus melaju keluar Kampung Jawa Lama. Terus ke jalan besar yang di kiri kanannya berdiri rumah-rumah batu, beberapa diantaranya terdapat kedai-kedai kopi yang di halamannya duduk kaum bapak menikmati kopi pagi sembari membaca koran Serambi Indonesia. Koran itu satu-satunya koran di Aceh yang sangat diminati.

Sesampainya di simpang Masjid Raya, bapak menurunkan aku. Bapak menunggu sejenak angkot jurusan Ujongblang. Aku dinaikkan bapak ke dalam angkot itu. Bapak juga memberi sedikit uang untuk jajan dan ongkos pulang. Setelah angkot yang kutumpangi jalan, bapak terus mengayuh sepedanya ke Jalan Perdagangan, tengah kota Lhokseumawe, beraktivitas seperti hari-hari biasa, sol sepatu.

Kurang setengah jam sampailah angkot yang aku tumpangi itu di depan rumah Darmawi di Ujongblang. Rumah itu terlihat lengang. Entahlah apa ada orang atau tidak. Yang pasti ayah Darmawi sedang bekerja di bengkelnya. Ibunya yang kutahu bekerja di ladang orang. Tapi biasanya ibunya ada di rumah.

Aku berdiri di muka pintu dan pelan mengetuknya sembari mengucapkan salam. Tiga kali aku ketuk pintu tak juga dibuka. Jangan-jangan rumah Darmawi memang kosong. Tapi kemana anak itu?

Karena lama menunggu tak juga dibuka pintu, aku memutuskan hendak pulang. Tapi dari samping rumah itu muncullah ibu Darmawi yang tersenyum ramah kepadaku. Aku salami orangtua itu dan menanyakan apakah Darmawi ada di rumah atau tidak.

“Darmawi ada di kamarnya. Lagi tidur. Masuklah,” ujar Ibu Darmawi sembari mempersilakan aku masuk.

Aku mengangguk lalu masuk dan duduk di kursi tamu yang terbuat dari rotan.

“Sebentar, ibu panggilkan Darmawi ya?”

Orangtua itu masuk ke dalam kamar Darmawi. Terdengar pelan suaranya memanggil nama Darmawi. Terdengar juga suara anak itu menyahut. Sesaat hatiku gembira mendengar suara kawanku itu lagi.

Darmawi keluar kamarnya dan melihat aku dengan senyumnya yang lebar. Dia dipapah ibunya. Anak itu duduk di depanku. Tapi wajahnya terlihat sangat pucat. Tak tampak cahaya hidup di sana. Bibirnya kering. Senyumnya pun terkesan dipaksakan. Iba aku memandang keadaannya.

“Kau jangan dekat aku, duduklah di sana. Sudah tiga hari aku belum mandi,” katanya. Aku tertawa. Dalam kondisi sakit pun dia masih bisa melucu.

“Bagaimana keadaan kau, Mawi? Sudah baikan kah?” tanyaku.

“Entahlah, rasanya semua badanku sakit. Tadi aku dengar kau mengetuk pintu, tapi tak dapat aku jawab. Bangkit pun aku susah. Untunglah datang ibu yang membawa kau masuk. Aku minta maaf,” ujarnya dengan tatapan mata kosong.

“Ah, tidak apa, kawan. Aku maklum keadaan kau. Sudah minum obat, kan?”

Dia mengangguk. Kemudian dia menoleh ke belakang. Memanggil ibunya dengan suara yang berat.

“Ada apa, Mawi?” tanya Ibunya yang tergopoh-gopoh datang.

“Tolong ambilkan buku gambarku, Mak.”

Ibu Darmawi masuk ke dalam kamar anak itu. Tak lama kemudian perempuan itu datang lagi sembari membawa sebuah buku gambar. Buku itu diserahkan kepada Darmawi.

Anak itu membalik-balik buku gambarnya sejenak. Di lembar tengah ia berhenti, ada sesuatu yang ingin dia perlihatkan kepadaku. Tiba-tiba dia merobek selembar kertas buku gambar itu, lalu memberikannya kepadaku.

“Ini buat kau, ambillah.”

“Apa ini?” tanyaku penasaran.

“Itu gambar kapal terbang. Bagus, kan?”

Aku mengangguk. Aku pandangi gambar itu. Sebuah pesawat udara dengan dua sayapnya yang lebar. Ada awan di atasnya. Ada dua ekor burung terbang di sisinya. Di sudut gambar ada matahari.

“Bagus sekali. Terima kasih, kawan,” jawabku.

“Kelak, ketika kau besar, bercita-citalah naik kapal itu. Terbanglah kemana kau suka. Kalau kau sudah jadi orang hebat, tentu kau tak lupa aku kan?”

Aku tersenyum ketika ia mengucapkan kalimat itu. Aku pandangi wajahnya yang semakin pucat.

“Ah, kau bisa saja, kawan. Kau dan aku harus naik kapal ini nanti,” jawabku. Dia pun tertawa dengan lemah. Aku ikut tertawa.

Karena aku berjanji hanya sebentar, aku segera pamit pulang. Darmawi dan ibunya menahan, dan aku disuruh makan siang dulu. Tapi aku tolak, takut bapak marah lantaran aku terlalu lama di Ujongblang. Dengan berat hati ibu dan anak itu melepas aku pergi. Itulah terakhir kali aku bertemu Darmawi, bertatap muka dengannya, bercanda dan tertawa bersama.

Keesokan harinya sekolah kami heboh. Bu Fauziah, kepala sekolah dengan tergesa-gesa masuk ke ruang kelas. Ia berbisik sejenak dengan wali kelas dan minta izin berbicara di depan kami. Seisi kelas hening dan penasaran gerangan kabar apa yang hendak disampaikan Bu Fauziah.

“Anak-anak, kawan kalian Darmawi telah tiada. Tadi malam sakitnya kambuh lagi, dan nyawanya tak tertolong. Ia telah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya...”

Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun...

Semua murid terkejut. Apalagi aku, jantungku berdegup kencang mendengar kabar itu. Wali kelas aku lihat menangis. Beberapa kawan-kawanku yang perempuan juga ikut menangis. Sementara kawanku yang laki-laki yang biasa menjahili Darmawi menundukkan wajahnya. Semua bersedih. Sungguh begitu cepat Tuhan memanggil anak itu. Tanpa aku sadari telah jatuh saja air mata di kedua pipiku. Aku ikut menangis. Betapa tidak. Baru kemarin kami berjumpa, tapi kini Si Jago Gambar itu telah tiada.

Aku pandangi kertas gambar yang terlukis sebuah kapal terbang yang mengudara di angkasa raya. Darmawi, sahabatku itu, telah mendahului aku menaiki kapal itu, terbang tinggi menembus berlapis-lapis langit menemui Tuhannya. Aku berdoa, semoga Tuhan membangunkan sebuah istana buatnya di sorga. (bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun