Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (29)

20 Desember 2011   05:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:01 151 0
16
IBU BERJUALAN KUE


Bekerja sebagai tukang sol sepatu tentulah tidak menjanjikan. Rezeki pun rezeki harimau kata orang. Kadang ada, kada pula tidak. Biasanya yang agak lebih pendapatan didapat bapak ketika bulan puasa menjelang hari raya. Banyak orang mensol sepatunya. Di hari-hari biasa, hanya hari sabtu dan hari minggu saja yang agak ramai. Tapi sayangnya yang dijahit hanya sepatu dan sendal yang rusak ringan. Tentu murah pula upahnya.

Tapi bapak sudah memutuskan untuk tetap bekerja sebagai tukang sol sepatu. Bapak tidak mungkin lagi berjualan membuka warung kopi misalnya seperti di Medan dulu, mengingat modalnya besar disamping tempat berjualannya harus ada. Membuka usaha sol sepatu saja yang lapaknya di samping sebuah gang pertokoan di tengah kota Lhokseumawe beberapa kali petugas tantib hendak menggusur bapak. Tapi untunglah pemilik toko di kiri kanan dan pengurus musala di dekat tempat bapak bekerja membela usaha bapak. Akhirnya bapak diizinkan menjahit sepatu di lokasi itu. Andai digusur juga, aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib kami berikutnya.

Kondisi keuangan keluarga yang tidak sehat itu mengharuskan ibu bekerja lebih keras membantu bapak. Bila hari minggu ibu mengambil upah cucian di rumah orang dan kain kotornya dibawa ke rumah kami. Ibu menimba air sumur yang dalamnya lebih 15 meter. Habis dicuci kain itu digosok. Sementara di hari senin hingga sabtu ibu berjualan kue di luar pagar sekolahku. Sebelum azan subuh berkumandang di masjid, setiap hari aku lihat ibu sudah bangun dan memasak kue di dapur. Ibu membuat kue bakwan, risoles, kue lapis, kue dadar, dan jagung grontolan yang dibungkus plastik. Tidak heran di pagi buta itu dapur rumah kami sudah ribut dengan suara gorengan yang dimasak ibu. Setelah masak kue-kue itu dimasukkan ibu ke dalam tampah tempat penampi beras yang ditutup sehelai plastik. Tampah itu dijujung ibu di kepalanya dan dibawa berkiling kampung. Menjelang aku keluar main waktu jam istirahat sekolah, aku lihat ibu sudah menunggu di luar pagar. Kawan-kawanku ada yang membeli kue ibu. Aku hanya memandang dari jauh dan aku lihat betapa letihnya ibu bekerja dengan tubuhnya yang kurus. Dari rumah ibu berjalan kaki ke sekolah untuk berjualan.

Di luar pagar sekolahku itu tentu bukan hanya ibu yang berjualan kue. Ada pedagang lainnya yang disediakan pondok-pondok kecil sebagai tempat berjualan. Mereka telah lama berjualan disitu. Ibu yang baru berjualan tentu saja menjadi gunjingan para pedagang lainnya. Kehadiran ibu yang ikut berjualan dianggap mengurangi pendapatan mereka. Tapi ibu tidak peduli. Ibu tetap berjualan karena aku bersekolah di situ. Tapi hampir setiap hari aku dengar pedagang-pedagang itu mengata-ngatai ibu.

Suatu hari ibu menemui bu Fauziah, kepala sekolahku. Ruang kepala sekolah di samping perpustakaan. Aku sedang baca buku cerita anak-anak di perpustakaan. Di depan ruang kepala sekolah Bu Fauziah berdiri menyambut ibu.

“Ibunya Agam, ya? Ada apa, Bu?”

Ibu mengangguk dan tersenyum sembari menyalami Bu Fauziah.

“Iya Bu, saya ibunya Agam,” jawab ibu.

“Ada apa, Bu?”

Ibu tak segera menjawab. Ibu agak takut-takut bicara pada Bu Fauziah. Aku lihat wajah ibu tampak pucat, mungkin karena lelah.

“Saya... saya berjualan kue di luar pagar, Bu. Tapi... tapi...” ucapan Ibu tergantung.

“Tapi mengapa, Bu?” tanya bu Fauziah penuh selidik.

“Tapi...”

“Ayo, katakanlah. Mana tahu saya bisa membantu.”

“Terima kasih, Bu. Saya dilarang berjualan di situ oleh ibu-ibu yang sudah duluan berjualan di situ, Bu...”.

“Oh, kenapa?” Wajah Bu Fauziah terlihat serius memandangi ibu. Muncul rasa ibanya.

“Entahlah, Bu. Mungkin jualan saya mengurangi pendapatan mereka...”

Bu Fauziah berdiam sejenak. Ia pandangi dari jauh pondok-pondok yang dibangun sekolah untuk pedagang-pedagang makanan dan minuman di luar pagar. Mereka warga di sekitar sekolah yang mendapat kesempatan berjualan di sana. Kemudian Bu Fauziah kembali memerhatikan ibu dan tersenyum.

“Begini saja, Bu. Mulai besok, ibu berjualan di dalam pagar, ya. Ibu duduk di bangku taman itu,” tunjuk Bu Fauziah ke arah bangku taman di bawah sepohon kayu besar yang rindang.

Mata ibu berbinar. Senyumnya mengembang.

“Oh, benarkah Bu, saya boleh berjualan di dalam pagar? Aduh, terima kasih banyak Bu...”

“Iya, boleh.”

Sesaat kemudian wajah ibu tampak murung lagi.

“Tapi...”

“Tapi kenapa lagi, Bu?” tanya Bu Fauziah.

“Saya khawatir ibu-ibu pedagang di luar pagar akan bertambah marah kepada saya, Bu?” terdengar suara Ibu pelan, wajahnya memperlihatkan kecemasan.

Bu Fauziah menepuk-nepuk pundak ibu penuh perhatian. Sangat bersahabat sekali. Bu Fauziah usianya lebih tua dari ibu.

“Ibu jangan khawatir, nanti saya beri penjelasan kepada ibu-ibu pedagang di luar pagar. Rezeki itu Allah yang beri. Semua sudah dibagi. Tak baik bila ada yang mencemburui rezeki pemberian Tuhan itu,” ujar Bu Fauziah dengan bijaknya.

Mendengar ucapan Bu Fauziah ibu tersenyum. Sungguh karunia Tuhan yang sangat besar diberikan kepada ibu yang mendapat kesempatan berjualan di dalam perkarangan sekolah. Tentulah ibu menjadi orang yang paling istimewa saat itu. Ibu berterima kasih kepada Bu Fauziah yang baik hati, kepala sekolahku.

Sejak mendapat izin berjualan di dalam pagar, pagi-pagi sekali sebelum pintu pagar ditutup penjaga sekolah, ibu sudah masuk ke dalam pagar dan duduk di bangku taman. Ibu meletakkan tampah kue-kuenya di bangku taman. Ibu duduk bermenung hingga waktu istirahat tiba. Dari balik jendela kelas aku lihat ibu duduk di sana. Ibu sangat sabar sekali. Mulai hari itu terkenallah aku sebagai anak tukang sol sepatu dan penjual kue di sekolah.

Ada beberapa kawan-kawanku yang meledek ketika kami berada di dalam kelas.

“Hei Gam, lihat tuh ibu kau jualan kue. Minta dong gratis kuenya...” teriak Dudi, anak yang paling necis gayanya di sekolah. Anak orang kaya. Bapaknya dokter. Dia agak sombong dan nakal.

Suaranya yang keras itu didengar seluruh kawan-kawanku di dalam kelas. Terdengar bisik-bisik menyebut namaku. Tentu saja aku malu. Sejak itu aku menjadi anak yang minder karena ibuku berjualan kue di sekolah. Aku juga menjadi anak yang tidak percaya diri.

Setiap kali jam istirahat, aku duduk di perpustakaan sekolah di samping kantor dewan guru. Dari jauh aku lihat kawan-kawanku mengerubungi ibuku, mereka membeli kue yang dijual ibu. Aku sendiri malu meminta kue kepada ibu. Walau ada diberi sedikit uang jajan oleh bapak, tapi aku tidak biasa jajan di sekolah. Uang itu aku simpan saja, dan setibanya di rumah aku beli roti cokelat yang dijual di warung di dekat rumah. Roti cokelat itu paling aku suka.

Ibu berjualan di sekolah hingga jam belajar usai. Kadang kue yang dijual ibu habis, kadang juga tidak. Bila tidak habis biasanya ibu membawa pulang kue itu dan dibagi-bagikan ke tetangga sebelah rumah. Kadang juga aku pulang bersama ibu, tapi lebih sering pulang sendirian. Sebelum sampai di rumah ibu juga menjajakan sisa kue yang tidak habis di jalanan. Kadang ada yang membeli, kadang juga tidak.

Ketika aku pulang bersama ibu melintasi trotar menuju rumah kami di Kampung Jawa Lama, aku lihat wajah ibu murung. Aku tahu masalahnya pasti soal uang kontrakan rumah yang tidak cukup. Beberapa hari lalu aku dengar bapak dan ibu berbincang di kamar soal uang yang kurang itu kemana hendak dicari. Penghasilan bapak begitulah, kadang ada kadang tidak. Dagangan kue ibu pun kadang habis kadang pula tidak.

“Ibu kenapa? Apakah ibu sakit?”

Aku pandangi wajah ibu. Aku minta membawakan tampah kue ibu yang masih bersisa beberapa potong kue. Ibu tidak memberikannya.

“Tidak apa, ibu tidak sakit,” jawab Ibu.

Tapi perasaanku tidak enak. Sepanjang jalan aku dan ibu banyak diam.

“Kau malu ibu berjualan di sekolah, Gam?” tiba-tiba Ibu bersuara. Aku terkejut.

“Siapa bilang, Bu? Aku tidak malu kok,” jawabku.

“Kenapa kau tidak pernah dekat Ibu saat jam istirahat.”

Aku salah tingkah. Aku tak ingin mengatakan kepada ibu bahwa aku sering diledek kawan-kawanku sebagai anak tukang kue. Aku takut ibu akan bersedih. Aku ingin melihat ibu gembira.

“Aku hanya tak ingin mengganggu ibu saja, kok. Ibu jangan berpikir tidak-tidak, ya? Aku baca buku di perpustakaan setiap jam istirahat,” jawabku.

Ibu diam. Wajahnya masih tampak murung. Aku juga diam. Kami terus berjalan melewati Rumah Sakit Cut Mutia yang besar. Di jalan kendaraan berlalu lalang. Tak lama kami sampai di rumah. (bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun