Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Cinta Regu Badak (27)

14 Desember 2011   07:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:18 110 0
Novel Muhammad Subhan

Lusa lebaran tiba. Jemaah yang melaksanakan salat tarawih di masjid tetap ramai, terutama anak-anak seusiaku.

Sekali-sekali aku dan teman-temanku berbuka puasa di masjid. Pengurus masjid menyediakan penganan berbuka puasa bagi jemaah yang ingin berbuka di masjid. Sebab waktu magrib yang pendek dan keutamaan salat berjemaah di masjid, sangatlah bagus bila berbuka puasa dilakukan di masjid.

Beberapa kali aku ikut berbuka puasa di masjid. Tentu saja aku senang, walau minumannya hanya kopi atau teh hangat, tapi kue-kuenya enak-enak dan nikmat. Biasanya jemaah sekitar masjid yang mengantar kue-kue itu. Ketika beduk berbuka tiba, akulah yang paling duluan dan paling banyak memakan kue-kue yang terhidang itu.

Di Aceh mayoritas orang salat tarawih berjemaah 23 rakaat. Di masjid kampungku juga 23 rakaat. Bacaan imamnya panjang-panjang. Sering aku terkantuk-kantuk lantaran lamanya berdiri. Belum lagi setiap rakaat seusai salam diselingi salawat nabi dan doa. Salat baru selesai pukul 11 malam. Walau demikian orang tetap ramai datang ke masjid. Suasana ibadah benar-benar terasa dan indah.

Ramainya masjid ketika itu, mungkin juga karena layar televisi belum banyak di rumah-rumah warga. Apalagi di rumahku, kami tidak punya televisi. Tetangga pun satu dua rumah saja yang didalamnya ada televisi. Sebagian besar warga di Kampung Jawa Lama itu tidak punya televisi. Jadi daripada tidak ada kerjaan di rumah, maka ramailah orang datang ke masjid. Di samping memang ibadah di masjid keutamaannya sangat besar di bulan Ramadhan.

Di saat salat tarawih kawanku Din Patuk sering berbuat usil. Dia suka menukar-nukar sendal jemaah. Tak heranlah kalau seusai salat tarawih banyak jemaah yang mengeluhkan sendalnya hilang. Sebenarnya tidak hilang, tapi sendal itu posisinya dipindah-pindah oleh Din Patuk. Pasangan sendal satu ditukar dengan pasangan sendal yang lain. Kelabakanlah orang yang punya sendal dibuatnya.

Beberapa kali Din Patuk tertangkap basah pengurus masjid ketika melakukan aksinya, tapi dia santai saja dan cengengesan setiap kali ditanya. Nakalnya minta ampun. Aku pernah diajaknya beberapa kali berbuat demikian. Tentu saja aku menolak. Dia marah kepadaku. Aku tak peduli. Habis salat aku berlari pulang meninggalkan dia seorang diri.

Disaat malam lebaran, suasana Kampung Jawa Lama teramat semaraknya. Di masjid dikumandangkan suara takbir. Alunannya bergema ke seantereo kampung. Di rumah-rumah terlihat sangat suka citanya orang-orang menyambut lebaran datang keesokan harinya. Sejak beberapa hari sebelumnya, rumah-rumah itu sudah dibersihkan, dicat yang rapi, bila perlu perabotan ditambah. Ibu-ibu dan anak-anak gadis memasak kue lebaran di dapur. Keluarga yang di rantau telah pulang pula ke kampung menjenguk kedua orangtua mereka. Pokoknya wajah-wajah ceria saja yang terlihat di dalam rumah-rumah itu.

Bagaimana di rumahku? Biasa saja. Ibu hanya membuat kue kembang loyang dan kue wajik bandung. Itu saja. Sebagai minumannya bapak membeli dua botol sirup. Tirai jendela tak berganti, tampak kusam. Ruang tamu hanya dialasi tikar saja. Perabotan tak ada, kecuali sebuah kalender usang bergantung di dinding dan radio butut di sudut ruang. Rumah tak bercat, sebab bapak tak cukup uang membeli cat. Yang punya rumah tentulah tak mau mengeluarkan uang membeli cat yang harganya melebihi uang sewa kontrakan rumah kami sebulan.

Usai salat magrib, bapak dan ibu mengajakku duduk di kursi meja makan. Ibu sudah memasak sejak sore tadi. Ibu membuat sayur tumis kangkung kesukaanku, goreng ikan pari asin kering dan cabai merah kasar campur terasi. Walau lauk pauk itu sederhana, tapi nikmatnya mengundang selera. Tentu saja itu tak lepas dari kepandaian ibu memasak. Kami sangat lahap makan masakan ibu, bahkan bapak bertambah dua-tiga kali nasi di piringnya. Apalagi aku yang paling banyak makan bila di rumah.

Usai makan kami duduk di ruang tengah. Menunggu salat Isya. Ibu masuk ke kamar, membuka almari pakaian dan mengambil sesuatu. Benda itu dibungkus dengan kertas koran. Ibu membawa benda itu ke ruang tamu.

“Apa itu, Bu?” tanyaku penasaran.

“Baju lebaran, buat kau.”

Mataku berbinar. Sungguh aku senang mendapat baju baru untuk dipakai saat lebaran besok.

“Alhamdulillah, Bapak ada rezeki sedikit sehingga dapat membelikan Agam baju,” ujar Bapak kemudian.

“Terima kasih, Pak,” jawabku.

Aku mengambil baju dan celana baru yang sudah dibuka ibu dari bungkusnya. Aku amati baju itu. Bagus sekali. Baju kemeja kotak-kotak dan celana panjang merek Lee. Aku cocok-cocokkan baju dan celana itu ke tubuhku. Pas sekali. Bapak dan ibu tersenyum melihat aku sangat bergembira.

Tak lama kemudian terdengarlah suara azan Isya berkumandang di masjid. Bapak dan ibu mengajakku ke masjid. Kami salat berjemaah di masjid. Malam itu salat terasa nikmat. Ada suasana yang berbeda dibanding malam-malam sebelumnya. Salat terasa khusyuk sekali, walau aku sering garuk-garuk kepala lantaran bacaan imam sangat panjangnya. Ayat rakaat pertama dibaca imam surat Ar-Rahman. Ayat di rakaat kedua surat Al-Waqi’ah. Panjangnya minta ampun. Syukurlah suara imam merdu. Terasa dibuai jemaah dibuatnya.

Sehabis salat Isya imam memimpin takbiran. Jemaah ikut takbir. Semarak sekali. Sehabis itu anak-anak berkumpul di halaman masjid. Beduk disediakan pengurus masjid. Pemuda-pemuda kampung memukulnya dengan suara beduk yang berirama. Semua orang bertakbir. Kampung bertakbir. Ombak di laut ikut bertakbir.

Kebiasaan di kampung itu, di malam lebaran digelar arak-arakan. Ada yang bersepeda. Ada yang berkereta mesin. Beduk ditabuh di atas bak mobil pick-up. Anak-anak membawa obor. Laki-laki perempuan. Warga yang tidak ikut takbiran berdiri di halaman rumah-rumah mereka. Menonton iringan-iringan itu.

Allahu akbar... Allahu akbar... Allahu Akbar. Laa ilaaha illallahuwallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.

Hingga larut malam kami baru pulang ke rumah.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, orang lebih ramai lagi. Semuanya menuju ke masjid. Salat ‘Id berjamaah. Usai Subuh sebelum salat ‘Id, bapak pergi ke rumah tetangga yang hidupnya lebih kurang dari kami. Bapak membawa beras. Kata bapak beras itu untuk zakat fitrah yang wajib dikeluarkan. Bapak selalu mengantar beras sebagai zakat fitrah menjelang salat ‘Id. Kata bapak itu saat-saat yang paling afdhal membayar zakat fitrah.

“Zakat fitrah untuk membersihkan diri kita dan harta kita. Semoga Allah menjauhkan bala dan marabahaya di rumah kita,” ujar Bapak menyebut keutamaan zakat fitrah. Aku hanya menganggukkan kepala.

Usai salat ‘Id, kami mendengarkan khatib berkhutbah. Isi khutbahnya panjang sekali. Khatib menyebut, Rasulullah Muhammad SAW adalah seorang yatim piatu yang sangat sayang kepada fakir miskin. Walau Nabi serba kekurangan, tetapi apa yang ada di rumahnya selalu dibagikan kepada tamu dan tetangga yang membutuhkan. Nabi tidur bukan di kasur empuk, melainkan beralas pelepah kurma sehingga tampak bekas-bekas pelepah itu menempel di kulitnya yang putih. Kesederhanaan Rasulullah pantaslah menjadi cermin bagi umat agar tidak berlebih-lebihan di dalam hidup, dan suka menyedekahkan hartanya kepada fakir dan miskin.

Itulah isi khutbah yang sering aku dengar setiap kali salat Idul Fitri yang aku ikuti. Sebuah potret kehidupan Nabi yang sangat pantas kita teladani. Entah mengapa, ingin sekali aku bermimpi bertemu Sang Nabi. (bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun