Tapi itu adalah kenyataan. Din Patuk sudah mendapatkannya. Dia mengantongi uang itu. Lalu mencari lagi, mengorek-ngorek tanah di sekitar tiang penyangga rumah. Uang berikutnya dapat lagi. Dia juga menemukan beberapa koin bergambar seorang ratu, disitu tertulis nama Wilhelmina. Uang yang beredar di masa Belanda. Ada juga koin-koin yang di tengahnya berlobang. Entah uang apa itu. Sangat asing sekali. Semua koin itu dikumpulkannya.
“Kau kok bengong saja? Gak mau uang?” tanyanya kepadaku yang masih bingung memikirkan perbuatannya.
Aku mengangguk.
“Kau koreklah tanah di tiang sebelah itu. Tapi kau jangan berisik. Kalau ketahuan yang punya rumah, kau bisa dihardik,” kata Din Patuk lagi. Wajahnya tampak serius.
Rupanya, sejak awal bekerja Din Patuk tak mengeluarkan suara, takut kalau-kalau si empunya rumah tahu perbuatannya mengorek tiang penyangga rumah di tepi pantai itu. Tentu saja perbuatannya sangat merugikan yang punya rumah. Kalau semua tiang penyangga rumah itu dikorek sedalam mungkin, bisa-bisa rumah akan rubuh atau miring. Atau posisi rumah akan semakin rendah. Itu sangat berbahaya sekali.
“Ah, aku tak mau mencari uang disitu, berbahaya!” kataku kemudian.
Din Patuk tak segera bersuara. Dia pandangi wajahku dengan tatapan mata tajam. Sepertinya dia marah. Tangannya terus mengorek tanah, meraba-raba kalau-kalau ada uang lainnya yang dia dapat. Memang benar, tak lama kemudian ia berhasil menemukan beberapa rupiah lainnya.
“Ah, kau payah,” katanya kemudian. “Apanya yang berbahaya?”
“Kau bisa merubuhkan rumah-rumah ini, Din?”
“Tidak mungkinlah, penyangganya cukup kuat,” jawabnya enteng.
“Iya, tapi kalau sering kau lakukan, terus menerus, lama kelamaan rumah ini akan miring, lalu rubuh, dan penghuninya bisa celaka.”
Din Patuk diam. Dia tampak cuek tak memedulikan apa yang aku utarakan. Anak itu bengal sekali.
“Ya sudah, kau tunggu saja disitu,” ujarnya.
Aku tak berkata lagi. Pandanganku lepas menatap laut luas. Ombak mulai reda keangkuhannya. Air laut lama kelamaan surut. Laut tenang kembali.
Aku berjalan-jalan di pinggir pantai. Dari jauh aku lihat Din Patuk mulai bosan dengan pekerjaannya. Sepertinya dia tak menemukan koin lagi. Ketika laut benar-benar surut hingga beberapa meter jaraknya, Din Patuk mendekati aku.
“Kau dapat koin?” tanyanya.
“Tidak.”
“Kenapa tak kau cari?”
“Kan sudah aku bilang, apa yang kau perbuat itu sangat berbahaya. Coba kau bayangkan, kalau rumah itu rubuh, bukan saja di pemilik rumah yang celaka, bisa-bisa kau yang sedang berada di bawah rumah itu juga ikut celaka. Bisa mati kau ditimpa rumah!”
Din Patuk tertawa. Kulit hitamnya berkilat diterpa sinar matahari.
“Tidaklah. Tak mungkin itu,” selanya enteng.
Tentu bukan kali itu saja Din Patuk mencari uang receh di bawah rumah-rumah berkaki milik nelayan itu. Pekerjaan nekad tersebut sudah lama dilakukannya. Sebagian besar anak-anak seusia kami di kampung itu, kata Din Patuk, semuanya pernah mencari uang receh di tanah-tanah di kolong rumah nelayan. Uang-uang itu bisa saja jatuh dari rumah-rumah nelayan itu yang lantainya papan dan berlobang. Ombak menyapunya hingga menyembunyikan uang-uang logam itu disela-sela tiang penyangga rumah.
“Air sudah surut. Ayolah kita jalan menyisiri pantai ini,” kata Din Patuk kemudian.
“Ngapain, Din?” tanyaku.
“Cari uang lagi.”
“Di bawah rumah-rumah itu lagi?”
“Tidak. Kau lihat saja uang itu di sepanjang pantai ini. Biasanya uang-uang logam itu terdampar di sapu ombak sehabis air pasang,” terangnya.
“Memang bisa?”
“Ah, kau terlalu banyak bertanya. Kita buktikan saja nanti,” ujarnya tampak kesal.
Kami berjalan menyisiri pantai. Jalan perlahan-lahan sembari pandangan mata diarahkan ke bawah, melihat-lihat ke tanah kalau-kalau ada uang logam yang terdampar atau menyembul ke permukaan pasir basah. Ternyata benarlah, tak jauh kami berjalan, terlihat beberapa uang logam 25 rupiah dan 50 rupiah. Aku memungut uang itu dengan senang. Uang itu juga sudah berkarat. Aku gosok-gosok kedua sisi uang itu dengan tanah. Lama kelamaan angka nominal uang itu terlihat jelas.
“Nah, apa aku bilang. Uang tidak hanya ada di bawah rumah, tapi juga di pinggir pantai ini, kan?” kata Din Patuk merasa menang.
Aku mengangguk saja. Kami terus berjalan. Mencari uang lainnya. Tapi telah jauh kami berjalan, tak juga bertemu uang berikutnya. Tenggorokan mulai terasa kering. Kami tolehkan pandangan ke belakang, ternyata kami sudah sangat jauh meninggalkan pemukiman tempat kami awal melangkah. Tanpa ada komando, kami balik kanan pulang ke rumah.
Setibanya di rumah hari sudah terlalu sore. Ketika aku sampai di rumah, bapak baru saja selesai mandi. Bapak baru pulang kerja.
“Dari mana, kau?” tanya Bapak dengan handuk masih membalut pinggangnya.
“Main di laut, Pak,” jawabku takut.
Wajah bapak memerah. Marah.
“Berapa kali Bapak harus ngomong kau jangan sering main ke laut?”
Aku menunduk. Takut menantang wajah bapak. Ibu datang, merangkul bahuku. Aku disuruh ke belakang, berganti pakaian dan mandi.
“Ibu selalu saja bela anak!”
Bapak kesal melihat aku mendapat pembelaan ibu. Di dalam kamar masih aku dengar suara bapak bagai orang berceramah. Bapak paling tidak suka perintahnya dibantah. Tapi kalau bukan ke laut kemana juga aku akan bermain di kampung pesisir itu? Aku juga tidak sering mandi laut, kok. Aku hanya bermain di pinggirnya saja. Ah, aku tak ingin jadi anak durhaka. Makanya apa yang dikatakan bapak tak berani aku jawab, walau kadang apa yang diperintahkan bapak tak aku jalankan.
Malamnya aku diajarkan ibu mengaji Alquran. Sehabis salat magrib. Aku mengaji dengan mengeja huruf-hurufnya. Alif, ba, ta, tsa... dan seterusnya. Alif di atas A, alif di bawah I, alif di depan U, bacanya A-I-U. Alif di atas An, alif di bawah In, alif di depan Un, bacanya An, In, Un. Bacaan itu kadang aku lagukan agar terdengar enak di telinga. Syukurlah aku tergolong anak yang cepat membaca huruf-huruf Alquran. Maka sebulan dua bulan berikutnya aku sudah mengaji ayat-ayat pendek, semisal surat Al-Fatihah, An-Naas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, dan ayat-ayat pendek lainnya. Yang rutin mengajarkan aku baca Alquran adalah ibu. Bapak hanya sekali-sekali saja, karena habis salat biasanya bapak berzikir lama sekali. Habis berzikir waktu Isya sudah masuk, lalu bapak salat Isya dan berzikir lagi hingga menjelang tidur. (bersambung)